Keputusan ayahnya menikah lagi disaat sang ibu belum lama meninggal, membuat Raga kecewa sekaligus tidak menyangka. Hubungan ayah dan anak itu pun merenggang, hingga berpisah tempat tinggal.
Di tengah kekacauan yang Raga rasakan, perempuan aneh bern...
Dira menguyah lamat-lamat nasi yang ada di mulutnya. Sesekali ia melirik ke samping. Raga kini tengah duduk sambil mengamatinya tanpa berpaling sedetik pun. Sampai gadis itu menghabiskan makannya yang prosesnya dua kali llipat lebih lama dari biasa. Namun, Raga sama sekali tidak protes dan tetap sabar menunggu.
"Sekarang waktunya minum obat," ujar pemuda itu sembari berdiri dan mengambil obat dan dua buah sendok? Wait, sendok? Itu artinya Raga sudah mengetahui kebenaran tentang Dira? Gadis itu merasa was-was dan malu sekarang.
"Gue nggak nyangka cewek seusia lo belum bisa nelan pil utuh."
Raga tertawa kecil sedangkan tangannya sibuk menggerus obat. Informasi ini ia ketahui dari sang asisten rumah tangga yang Raga kenal sebagai Bi Ina. Awalnya, wanita itu yang menawarkan diri untuk meremukkan obat yang akan Dira minum nanti, tetapi Raga menolak dan berkata bahwa ia bisa melakukannya.
"Kalau iya, memangnya kenapa?" tanya Dira dengan nada menantang. Walau tengah dalam kondisi yang lemah, ia tidak akan mudah ditindas. "Awas aja kalo lo ember dan ceritain ini ke orang lain."
Pemuda itu menaikkan bahu tak acuh. "Lo nggak sepenting itu sampe gue gosipin," balas Raga menusuk. Ia berbalik dengan hati-hati karena membawa obat yang telah dilarutkan dengan air di atas sendok dan segelas air mineral. Melalui gerakan kepala, Raga memerintahkan Dira untuk duduk bersandar. Gadis itu segera melakukannya.
Dira membaca doa di dalam hati sebelum membuka mulut dan merasakan pahitnya obat tersebut. Namun, ini jauh lebih baik ketimbang harus menelan obat itu bulat-bulat. Bagi sebagian orang mungkin itu bukan hal besar dan mudah dilakukan, tetapi tidak dengan Dira. Hal itu terasa mustahil untuknya.
"Sekarang lo boleh lanjut tidur," lontar Raga sambil bersiap untuk menyelimuti Dira, setelah itu ia meraba kening gadis itu untuk memeriksa seberapa panasnya.
"Kalau dikompres, demamnya bakal cepat turun," gumam pemuda itu yang sampai di telinga Dira karena jarak mereka sangatlah tipis.
"Nggak usah, gue nggak mau ngerepotin lo lagi. Minum obat juga udah cukup kok," balas Dira dengan keengganan yang nyata. Toh, dirinya benar-benar merasa lebih baik sekarang.
"Hm, oke."
Entah obatnya atau Dira yang terlampau lelah, gadis itu menutup mata dengan cepat. Raga ingin memastikan gadis itu sudah tertidur atau belum. Ia mendekatkan wajahnya ke telinga Dira, kemudian berbisik dengan pelan.
"Lo udah tidur, Ra? Gue mau pamit pulang."
Raga mendengar gadis itu bergumam, tetapi matanya masih tertutup rapat. Pemuda menajuhkan wajahnya sambil berkacak pinggang. "Belum ada lima belas mnit lo minum obat, sekarang udah pulas aja tidurnya." Ia berdecak sambil menggeleng pelan.
Setelah Raga perhatikan lebih teliti, ia menyadari bahwa mata Dira tampak berbeda. Terlihat lebih tebal dari biasanya. Raga tidak menyadari bahwa posisinya terlampau dekat hingga denyutan tak nyaman di kelopak mata gadis itu terlihat di matanya. Setetes air mata jatuh begitu saja, Raga mengerjap tak mengerti. Air mata Dira keluar semakin banyak, tidak hanya itu, Dira juga mulai meracau yang membuat Raga semakin panik.
"Ra?" panggil pemuda itu.
"Abang jangan tinggalin Dira. Abang satu-satunya yang Dira punya. Jangan pergi, Bang. Dira mohon," racaunya.
Raga berusaha tenang, walau Dira tampak semakin gelisah dalam tidurnya. Ia terus-terusan menyebut nama sang kakak. Entah masalah apa yang tengah menimpa mereka, bahkan kini ketika Dira sedang sakit sosok tersebut sama sekali tidak muncul untuk merawatnya.
"Ra, itu cuma mimpi, lo harus bangun sekarang," pinta Raga dengan gerakan kaku. Pemuda itu hanya mengelus-elus lengan Dira yang basah oleh keringat. Raga tidak terbiasa dengan sentuhan fisik, bahkan sejujurnya ini adalah kali pertama ia menenangkan seorang perempuan.
Dira belum berhenti dari racaunnya, Raga tidak bosan mengucapkan kata penyemangat hingga si empunya membuka mata dengan napas berat yang terengah-engah. Dalam diri Raga yang paling dalam, ia benar-benar merasa tenang sekarang.
Gadis itu menoleh ke arah Raga, menatapnya untuk waktu yang lama dan berkata, "Maaf, gue ngerepotin lo lagi."
—•—•—
Suara yang berasal dari papan keyboard terdengar memenuhi ruangan. Raga dengan kaus yang hitam polos dan kacamata anti radiasi tampak begitu serius mengerjakan tugas berupa laporan-yang sebenarnya memiliki batas waktu kumpul seminggu lebih, tetapi keseriusan yang Raga tampakkan seolah tidak ada waktu untuk menundanya. Tiba-tiba gawai yang berada tepat di samping laptopnya bergetar. Pemuda itu melihat nama sang teman di sana, membuatnya sangat enggan untuk mengangkat.
Namun, Aldo adalah sosok yang pantang menyerah, apalagi jika itu menyangkut Raga. Apa pun alasan pemuda itu menghubunginya pasti bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Raga menghela napas sebelum mengambil ponsel dan mengangkat panggilan.
"Ya elah, lama bener angkat telepon doang!" seru Aldo di seberang sana. Raga mendengar suara gemuruh yang berisik, tetapi lama-kelamaan suaranya berubah tenang. Mungkin Aldo berjalan mencari tempat yang damai dari keributan.
"Jangan dong!" cegah Aldo. "Ga, semua orang tahu banget kalo lo itu pinternya sebelas dua belas kek Albert Einstein."
Raga menghela napas, ia yakin ini adalah awal dari obrolan tak jelas yang dilontarkan oleh Aldo. "Terus?"
"Sehari nggak belajar nggak akan bikin lo mati, Ga. Liburan kek, kasian otak lo," cetus Aldo. "Ini malam minggu, malamnya anak muda," tambahnya yang membuat Raga mendengus tak percaya.
Sejujurnya Raga sedikit setuju, tetapi untuk kali ini ia sangat memerlukan pengalihan agar kepalanya tidak terus-terusan memikirkan seseorang. Sejak tadi, Raga mencari banyak hal untuk ia kerjakan agar Dira enyah dari kepalanya dan ia hampir berhasil ketika fokus mengerjakan laporan penelitian. Namun, usahanya gagal karena Aldo. Menyebalkan.
"Tapi gue belum butuh liburan sekarang," elak Raga.
"Udah deh, gue share location. Ke sini cepetan, gue tunggu. Gue bakal buat lo lupa dunia malam ini. Sekarang!" perintah Aldo langsung memutuskan panggilan sepihak.
Raga menggeleng tak acuh. Ia bisa membayangkan hiburan macam apa yang akan Aldo tawarkan nanti. Minumal alkohol, rokok, perempuan dan narkoba-mungkin-pasti sesuatu yang sangat jauh dari pribadi Raga dan bukan berarti dia sok suci. Raga hanya malas menambah masalah hidupnya yang memang sudah pelik.
Dengan pasti Raga mengirim pesan pada Aldo bahwa ia tidak akan datang. Kini, Raga ingin mengikuti kata hatinya. Pertama-tama ia akan menyimpan tulisan yang sudah ia ketik dan menutup laptopnya. Kemudian, ia kembali ke atas ranjang dan membuka aplikasi tukar pesan dan mencari kontak seseorang.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.