23. Kenyataan Raga

10 3 0
                                        

Siapa sebenarnya wanita itu?

Dira tak bisa menghentikan pertanyaan yang sama berseliweran di kepalanya. Ketika mereka baru tiba di IGD, Raga disambut tangis seorang wanita—yang Raga benci setengah mati. Namun, dia juga adalah orang yang telah mengabari Raga tentang kondisi ayahnya.

"Apa penyebab kecelakaan Papa?" Walau Raga tak menyebutkan secara rinci, kepada siapa ia bertanya, wanita di sebelah Dira langsung menjawabnya.

"Untuk saat ini, Papamu diduga mengantuk ketika berkendara."

"Omong kosong! Papa bukan orang yang seperti itu. Papa selalu mementingkan keselamatan diri sendiri dan orang lain. Mana mungkin, Papa nekat berkendara jika dalam kondisi mengantuk," tampik pemuda itu sama sekali tak senang dengan pernyataan wanita itu berikan.

"Polisi masih menduga, keterangan pastinya masih dalam pemeriksaan. Papamu juga belum sadar untuk memberi pernyataan," balas wanita itu menenangkan.

Dira hanya turut mengangguk. Gadis yang terkenal ceria itu bahkan tidak tahu bagaimana caranya mencairkan kecanggungan yang menyiksa mereka. Entah Raga sadar atau tidak, tetapi Dira merasa udara di sekeliling semakin menipis. Dira menepuk-nepuk dadanya, berharap hal itu akan memperlancar oksigen untuk masuk.

"Lo kenapa, Ra? Sakit?"

Posisi Dira diapit dua orang tak saling sapa. Dua orang itu kini memusatkan perhatian ke arahnya. Gadis itu menggeleng, mengisyaratkan bahwa ia tak apa-apa. Wanita dewasa di sampingnya menyentuh bahu Dira lembut, seolah ingin memastikan bahwa apa yang Dira sebutkan memang benar.

"Kalau kamu lelah, kamu bisa pulang dan beristirahat. Raga akan mengantar kamu pulang," tutur wanita itu.

"Nggak masalah Tante, saya baik-baik aja," tolak Dira dengan senyum manis. Kini ia menoleh ke arah Raga yang masih memusatkan perhatian ke arahnya. Untung saja jantung Dira tidak meloncat keluar karena terkejut.

"Kenapa?" Sepertinya Raga juga sadar atas keterkejutannya.

"Lo bikin gue kaget! Ngapain ngeliatin gue sampe segitunya?"

Raga mengernyitkan dahi. "Sampe segitunya gimana? Gue cuma takut lo kenapa-napa. Siapa tahu efek demam beberapa hari lalu, masih bersisa."

Tercengang. Dira sampai tidak tahu harus berbuat apa, atau menjawab apa. Raga sungguh tak terduga. "Gu-gue nggak pa-pa. Demamnya juga udah lama, mana mungkin masih ada sisa."

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Dira melihat bagaimana Raga meremas jemarinya gelisah dan tak sabar. Ya, mereka semua tengah menunggu dokter yang memeriksa ayah Raga keluar.

Kali ini bukan hanya meremas jari-jari, Raga juga sesekali menghentakkan kakinya kesal, kemudian mendengus. Menoleh lebih sering ke dalam. Pemuda itu sungguh tidak sabaran. Tanpa sadar, Dira mengusap  lengan Raga sekadar untuk menenangkannya.

"Jangan ribut dong, Ga. Dokter di dalam entar nggak konsentrasi dengar suara lo," canda Dira dengan tawa kecil yang menyelimuti. Namun, reaksi Raga—seperti yang kita kira—hanya membalas dengan tatapan tajam dan melengos untuk menghindari bertatapan dengan Dira.

"Ish, lo marah ya, Ga?"

"Enggak!"

Tawa Dira terdengar. "Gue baru tau kalo Raga tukang merajuk."

"Apaan sih, Ra?!" Pemuda itu menggeram tertahan. Sedangkan, Dira menutup mulutnya sambil menahan tawa agar tidak membahana. Ada banyak orang sakit yang butuh ketenangan di sini. Dira harus mengerti itu.

"Udah lah, Ga, ngaku aja. Lo kayak cewek sekarang."

"Ck, Dira!" Raga memberi peringatan.

Tak apa jika Dira harus menjadi korban pelarian kemarahan Raga. Selama hal itu mengalihkannya dari kekhawatiran berlebih yang Raga rasakan. Hanya ini yang bisa Dira lakukan. Kalau Raga perempuan, mungkin Dira tak akan segan memeluknya dan memberi beberapa kalimat penenang.

Namun, sekarang yang dia hadapi adalah si temperamen Raga. Mana mungkin pemuda itu mau menerima pelukan hangat darinya. Dira yakin, di saat dia melakukan itu dan di detik yang sama Raga pasti akan menendangnya.

Seorang dokter akhirnya keluar dan mendatangi mereka. Raga langsung berdiri dan berbicara pada dokter tersebut. Tuhan masih berbaik hati pada ayah Raga karena mendapat penanganan yang cepat. Walau mereka juga harus menerima bahwa Rasyid mengalami cedera leher akibat gerakan leher secara maju dan mundur yang cepat dan kuat.

Untuk itu, Rasyid harus menerima rawat inap sampai kondisinya stabil.

Ketika sang dokter pamit undur diri, Raga masuk untuk mengecek langsung kondisi ayahnya. Tinggalah Dira dengan wanita dewasa yang masih asing baginya.

"Kamu sepertinya sangat dekat dengan Raga, ya?"

Mendengar pertanyaan itu membuat Dira menoleh dengan cepat sambil mengerjapkan mata. "Em, nggak juga sih, Tante. Kebetulan Raga itu guru les saya."

"Ngomong-ngomong, Tan. Tante ini siapanya Raga? Maaf, bukan bermaksud lancang atau gimana, karena Raga keliatan—"

"Benci sama saya?" potong wanita tersebut.

Dengan ragu, Dira menganggukkan kepala. Wanita itu sepertinya tak marah.

"Perkenalkan, saya Diana. Ibu tiri Raga."

Wait, what?! Raga memiliki ibu tiri? Apa itu sebabnya Raga sangat membenci wanita di sampingnya ini? Lalu, di mana ibu kandung Raga? Apa orang tuanya bercerai? Astaga! Kepala Dira penuh dengan berbagai spekulasi. Kini, ia sadar bahwa hidup Raga itu rumit. Tak heran, pemuda itu menjadi sosok yang dingin dan pemarah.

"Ibu Raga sudah meninggal setahun lalu, saya menikah dengan ayah Raga belum lama setelah ibu Raga meninggal. Hal itu yang membuat Raga kecewa pada Papanya. Hingga saat ini, mereka masih perang dingin. Raga hanya belum mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Kalau dia tahu ..."

Diana menggeleng lemah. Ia tidak bisa memberitahu ini pada Dira atau Raga sekalipun. Belum saatnya.

"Tante kenapa cerita ini semua sama saya? Saya cuma orang asing untuk Raga," ungkap Dira. Yah, walau jauh dalam dirinya merasa lega karena telah memecahkan misteri "mengapa Raga membenci Diana".

Tanpa diduga, Diana menyentuh kedua tangan Dira dan menggenggamnya. "Saya percaya sama kamu. Kamu satu-satunya perempuan yang dekat dengan Raga. Selama ini, hanya Aldo yang setia berteman dengan Raga. Dengan hadirnya kamu, hidup Raga mulai sedikit berubah. Dia tidak semonoton dulu."

Dira tidak tahu, bahwa Diana memandang hubungannya dengan Raga sedemikian hebatnya. Belum sempat perempuan itu membalas, lengan lebih dulu ditarik kasar oleh seseorang. Hingga Dira mengaduh kesakitan.

"Raga? Kenapa main tarik-tarik aja sih?!"

Tanpa membalas Raga menyeret paksa Dira untuk menjauh dari lokasi. Sampai akhirnya dua sejoli itu berhenti di taman mini yang ada di halaman rumah sakit.

"Kalian ngobrol apa aja? Jangan sampai perempuan itu nyuci otak lo, Dira."

Dira berdecak tak setuju. "Ga, lo nggak bakal terus-terusan berprasangka buruk sama orang lain. Tante Diana itu baik, Ga dan ... lo harus ngehormatin Ibu lo!" tekan gadis itu.

"Jadi, obrolan kalian udah sampe sana?" Raga tertawa sumbang. "Demi Tuhan, Ra. Lo nggak tau sifat asli dia kayak apa."

Dira mungkin punya banyak pembelaan untuk Tante Diana, tetapi disatu sisi, Dira mencoba untuk memahami Raga. Gadis itu tidak lagi mendebat. Hingga akhirnya, Raga  kembali menarik lengan Dira, tetapi kali ini lebih lembut ketimbang yang sebelumnya.

"Makasih atas pengorbanan lo hari ini. Gue bakal antar lo pulang sekarang."

Ya, mungkin memang seperti ini baiknya.

—•—•—

Minggu, 23 Januari 2022
10.39 WIB

RagathaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang