10. Meminta Izin

25 4 8
                                        

Hari sudah semakin gelap, tetapi seseorang yang ditunggu Dira belum kunjung datang. Gadis itu merengut, ia mengambil remot tv dan menekannya berkali-kali. Tidak ada saluran yang menarik minatnya.

"Ish, Abang kenapa lama banget sih?!" keluh Dira seorang diri. Walau ini bukan kali pertama, Dira tetap tidak bisa menahan kesal karena jam kerja sang abang yang diluar nalar. Berangkat pagi pulang larut malam.

Ya, walau setiap kali ditanya, kakak laki-lakinya itu akan menjawab bahwa salah seorang karyawan resign dan belum ada yang menghendel pekerjaannya, ia terpaksa mengambil alih. Walau itu menyita banyak waktu, tetapi bonus yang abang Dira terima cukup memuaskan. Selalu seperti itu, terkadang Dira mengkhawatirkan tubuh sang abang yang terlalu dipaksa bekerja. Lama-kelamaan, dia bisa saja tumbang.

Orang yang dikhawatirkan oleh Dira akhirnya pulang. Dira membuka pintu menyambut kakaknya yang berwajah lelah, tetapi senyum terpatri di bibirnya. Pria tersebut mengangkat sekantong plastik yang mengeluarkan aroma sedap makanan.

"Bakso buat kamu," ujarnya. Dira menerima itu dan bergegas menuju dapur. Menyiapkan hidangan.

Dira tidak akan memberondong sang kakak dengan banyak pertanyaan untuk saat ini. Biarlah pria itu menyegarkan tubuh yang pasti penat karena bekerja seharian, belum lagi menyetir di tengah jalanan kota yang macet. Membayangkannya saja, membuat Dira merasa lelah.

Pria itu menghampiri Dira setengah jam kemudian, tubuhnya wangi dan segar. Ia mengeryit melihat Dira masih duduk rapi di depan semangkuk bakso yang masih utuh.

"Kok belum dimakan?"

"Nunggu Bang El," jawab Dira.

Elvano tersenyum tipis. "Abang udah makan. Kamu aja yang habiskan."

"Beneran Abang nggak mau?" tanya Dira memastikan. Ia tidak ingin, disela-sela menikmati bakso ini, kakaknya meminta bagian.

"Nggak, makanya Abang cuma beli satu." Dira mengangguk semangat. Menarik mangkuk agar mendekat ke arahnya dan makan dengan lahap. El mengamati itu dengan tersenyum, walau ia tidak menyuap apapun ke dalam mulutnya. Ia tetap duduk di meja makan, menunggu Dira yang seperti orang kelaparan.

Setelah selesai, Dira membasuh mangkuk yang ia gunakan agar cucian tidak menumpuk banyak. Kemudian, Dira dan abangnya berjalan menuju sofa yang ada di ruang keluarga.

"Bang, ada yang pengin Dira ceritain," ujar Dira memulai percakapan.

El yang tengah fokus menatap televisi, mengalihkan pandang ke arah Dira dan mengangguk sebagai persetujuan.

"Jadi, sebenarnya ada tragedi akhir-akhir ini. Di sekolah."

Pria itu yang semula santai kini menegakkan badan. "Kamu terlibat masalah lagi? Masuk BK lagi?"

Gadis itu berpikir sesaat dan mengangguk. Toh, ia memang membuat masalah dengan menantang Pak Anto bahwa dirinya akan masuk dalam jajaran lima besar. Namun, El salah mengartikan. Ia pikir Dira kembali terlibat aksi heroik yang menyebabkan masalah untuk dirinya.

"Ra, bukannya Abang udah bilang. Kamu jangan selesaikan masalah perundungan sendirian. Kamu harus cari bantuan, itu lah gunanya konseling," papar El.

Dira mengerucutkan bibir. "Bukan itu masalahnya, Bang. Ini jauh lebih darurat dan penting. Beda dari yang lain."

Pria itu sepenuhnya menghadap ke arah Dira. Keduanya kini bersisian dan hanya terpisah dua jengkal. "Apa?" tanya El penasaran.

"Jadi, gini ..."

Dira memulai kisah awal bagaimana dirinya membuat kesepakatan dengan Pak Anto untuk meningkatkan nilai, lalu Fera yang menyerah dengan kebebalan otaknya dan berakhir dengan Raga. Dira menceritakan segalanya tanpa ada yang ditutup-tutupi.

Sedangkan El sendiri, hanya menampilkan ekspresi tercengang. Namun, mengingat bagaimana Dira, El tidak terlalu terkejut, tetapi hal ini tetap saja tidak bisa dibenarkan.

"Abang bisa carikan kamu tutor profesional kalau kamu minta. Nggak perlu mohon-mohon sama orang asing, Ra," jelas El sembari mengelus rambut sang adik. Ia memang tidak marah, hanya sedikit kesal karena kenekatan Dira.

"Dira cuma coba peruntungan aja kok, eh, dianya mau. Ya, masa rezeki ditolak," balas Dira.

"Sekarang Dira mau minta persetujuan Abang buat belajar di rumah ini. Gimana, Bang, boleh 'kan?"

El mengangguk setuju. "Emang harus di rumah kita. Biar Abang bisa pantau. Mau gimanapun, dia cowok. Abang nggak bisa percaya sepenuhnya."

Dira tersenyum cerah dan bergerak memeluk sang kakak. Tidak butuh waktu lama untuk El membalas pelukannya. Pria itu mengelus punggung Dira lembut. Hingga, dering ponsel di atas meja terdengar memenuhi ruangan. El melepas pelukan.

"Sebentar, Abang mau angkat telepon," lontar El. Segera ia mengambil gawainya dan menjauh dari Dira. Gadis itu hanya mengangkat bahunya tak acuh. Walau mencurigakan, Dira terlalu malas untuk berspekulasi. Ia kembali menatap layar televisi.

-•-•-

Di pagi hari, entah mengapa Dira merasa rumahnya sangat berantakan. Ia mengambil peralatan pembersih dan memulai pekerjaan dari ruang tamunya. El yang baru keluar dari dapur terkejut melihat Dira berkerumul dengan alat-alat tersebut.

"Ada apa nih, rajin banget," celetuk El.

Gadis itu hanya menoleh tanpa menjawab. El merasa semakin aneh, tetapi dia memutuskan untuk tidak lagi berkutik dan membiarkan Dira yang tiba-tiba rajin bekerja. Mula-mula, Dira membersihkan debu di benda yang mudah dijangkau dengan kemoceng. El membantu dengan menyapu lantai.

"Serius deh, Abang penasaran kenapa kamu tiba-tiba kek gini. Ada yang mau datang?"

Dira menghentikan kegiatannya dan menjawab, "Nggak ada sih. Cuma ngerasa rumah udah lama nggak dibersihin aja."

"Bukannya setiap dua hari sekali, ada yang datang buat bersihin rumah? Lama apanya?"

Gadis yang mengenakan kaus dan celana pendek itu terdiam. Benar juga, lalu mengapa ia merepotkan diri dengan melakukan ini? Dan sejak kapan Dira peduli dengan kerapian rumah? Pantas saja El bertanya, karena dia melakukan hal yang tidak biasa.

"Kalo gitu, buat olahraga. Cari keringat."

Kakaknya malah menatap Dira semakin aneh. Dira menghembuskan napas panjang. Sejujurnya, tadi malam Dira bermimpi bahwa Raga datang kemari dan merasa jijik dengan rumah Dira yang berantakan. Di dalam mimpi itu, Dira juga merasa heran, karena perabotan rumahnya berserakan di mana-mana. Bahkan kecoa berkeliaran dengan santai. Raga langsung pergi tanpa mendengar penjelasan Dira.

Ketika terbangun gadis itu masih memikirkan mimpinya dan memutuskan membereskan rumah yang minim kotoran itu. Namun, jelas Dira tidak akan menceritakan mimpi konyolnya pada sang kakak. Entah bagaimana reaksinya.

Secara harfiah, semua yang Dira lakukan sekarang adalah demi Raga. Ia punya ketakutan, kalau Raga akan meninggalkannya begitu saja.

"Gue emang aneh," gumam Dira.

-•-•-





Minggu, 14 November 2021

10:44 WIB

Vote and comment, please.

🌻

RagathaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang