22. Kecelakaan

14 2 0
                                    

Perasaan Dira kini terpampang jelas di wajahnya. Tidak ada senyum maupun keramahan. Fera yang mencoba mengajak bicara pun hanya ditanggapi singkat oleh gadis itu. Untung saja, orang tua Fera tidak bertanya macam-macam mengenai Dira yang tiba-tiba menginap di rumah mereka.

Jadi, kegiatan sarapan hanya diisi oleh keheningan. Dira cukup senang karena orang tua Fera tak menanyakan perihal matanya yang sedikit membengkak karena telah menangis semalaman, diam-diam.

Dira membelokkan motornya menuju parkiran sekolah, tetapi ia dikejutkan dengan mobil yang sangat Dira kenali. Beserta sang supir yang tidak asing lagi.

Itu Abangnya. El.

Gadis itu sudah ingin berlalu mengabaikan sang kakak. Apalagi padatnya siswa yang ingin masuk sekolah, akan mengurangi kefokusan El. Dira sangat yakin pria itu tengah mencari dirinya. Dira belum siap untuk sekarang. Dia tidak tahu apa yang harus dibicarakan dengan sang abang.

"Dira!" teriak El, sedikit teredam oleh berisiknya sekitar, tetapi masih terdengar jelas di telinga Dira.

Ia melihat sang kakak berlari menuju ke arahnya. Dira terpaksa menepi. Gadis itu meringis, ketika menyaksikan El menabrak beberapa siswa dan meminta maaf secara cepat karena buru-buru mendatangi Dira.

"Abang kira cukup waktu semalam untuk kamu merenung dan kita bisa bicara sekarang, ya?" tanya El tanpa basa-basi. Ia seolah tak ingin membuang waktu lebih banyak lagi.

"Aku harus masuk kelas, Bang," elak Dira. Ia terus menunduk, tak berani langsung menatap mata sang kakak. Dira pasti akan menangis di detik yang sama jika nekat melakukannya.

"Abang udah izin ke wali kelas kamu. Kita punya waktu sampai jam istirahat nanti," rayu pria itu. Memang benar, ketika malam kepergian Dira El langsung menelepon pihak sekolah dan mengatakan bahwa Anindira akan absen setengah hari.

El tahu Dira tidak akan meninggalkan sekolahnya begitu saja. Dira mungkin seorang siswa cerdas yang mengharumkan nama sekolah, tetapi untuk ketekunan adiknya tidak perlu dipertanyakan.

"Tapi, Bang—"

"Sekarang kamu taruh motormu di parkiran dan ikut naik ke mobil Abang. Abang tunggu di sini," potong El. Jelas pria itu tak menerima penolakan. Sudah cukup ia memberikan Dira waktu semalam. Sekuat tenaga El berusaha agar tidak menghubungi sang adik. Hanya Fera yang ia jadikan perantara untuk mengintai Dira.

Dira bisa saja berlari menuju kelasnya dan mengabaikan El yang menunggunya. Namun, hatinya tidak akan sanggup melakukan hal keji tersebut. Alhasil, Dira melangkah pelan ke halaman depan sekolah. Samar-samar dirinya melihat El berdiri tegak memandangi ke arahnya. Di tengah matahari yang menyengat.

Gawai di saku Dira tiba-tiba bergetar. Ia segera mengecek pesan masuk dari Fera. Dira tersenyum kecut. Sepertinya, Fera sudah bersekongkol dengan El tanpa sepengetahuannya.

El langsung menuntun adiknya untuk masuk ke dalam mobil. Betapa terkejutnya Dira ketika melihat Vania di kursi bagian belakang. Wanita itu tersenyum lembut melalui kaca spion tengah.

"Abang, kenapa dia ada di sini?!" jerit Dira. Ia sama sekali tidak menyangka, tatapan marah mengarah pada El. Dira sudah akan kembali membuka pintu mobil, tetapi El dengan cepat mengunci otomatis semua pintu yang ada. Sehingga Dira tak dapat keluar dari sana.

"Abang, buka pintunya!" pinta Dira masih dengan teriakan yang menggema.

"Enggak Dira, kita harus benar-benar bicara," jawab El dengan lembut.

"Nggak mau! Aku mau turun sekarang!" Dira semakin mengamuk dan Menggedor-gedorkan pintu mobil di sampingnya. Dengan segera El menahan kedua tangan sang adik.

"Abang cuma minta waktu sebentar aja, Ra," tekad El.

Gadis itu tidak lagi memberontak. Sedari tadi, Vania hanya diam memerhatikan. Sampai pada akhirnya dia memberanikan diri untuk menyentuh bahu Dira dengan banyak usaha. Di bawah sentuhannya, tubuh Dira terasa menegang. Gadis itu seolah menganggap Vania setan lewat yang diharapkan kepergiannya.

"Saya nggak punya niat untuk merebut kamu dari kakakmu, Dira."

—•—•—

Dira berlari kecil ketika mendengar suara bel menggema di rumahnya. Ia yakin, bahwa orang itu adalah sosok yang sudah Dira tunggu kehadirannya. Pintu terbuka, senyum Dira mengembang dengan sempurna.

"Hai! Ayo masuk," sapa gadis itu. Kali ini ia telah bersiap diri. Dira sudah menyiapkan tempat yang nyaman dan beragam makanan ringan untuk menemani mereka belajar. Ya, sosok yang dinanti Dira adalah Raga. Terakhir kali mereka pemuda itu datang ke rumahnya, Dira tak sempat beramah tamah dan menyambut Raga layaknya tamu.

Hari ini, Dira akan menebus kesalahannya.

"Lo udah siap?" tanya Raga yang dibalas anggukan kepala oleh Dira.

"Lo pasti haus, 'kan? Naik motor di cuaca panas pasti bikin dehidrasi," oceh Dira. Gadis itu menuangkan minuman dingin rasa cokelat ke gelas di hadapan Raga.

"Nih, minum dulu," lanjutnya. Terdengar gumaman terima kasih dari Raga.

Setelah berbasa-basi singkat, mereka akhirnya memulai pembelajaran. Walau angkuh dan galak, nyatanya Raga tidak segan memuji Dira jika gadis itu berhasil menjawab dengan benar atau ketika Dira memahami materi yang pemuda itu beri.

Kurang lebih empat puluh menit waktu berjalan, tiba-tiba gawai Raga berdering. Awalnya, pemuda itu mengabaikan dan tetap melanjutkan pelajaran, tetapi karena si penelepon tidak juga menyerah Raga terpaksa mengangkat panggilan tersebut.

Ekspresi Raga tiba-tiba berubah 180°. Pemuda itu bahkan berdiri dengan gelisah sambil meremas rambutnya frustrasi. Dira dapat mendengar dengan jelas bahwa ayah Raga mengalami kecelakaan lalu lintas dan kini dilarikan ke rumah sakit. Tidak heran jika pemuda itu panik luar biasa.

Di tengah kegelisahan, Raga merapikan buku-buku di hadapan mereka dan memasukkan ke dalam tas. Tak memedulikan bahwa salah satu buku milik Dira juga ikut terbawa.

"Belajarnya kita akhiri sampai sini. Gue harus pergi sekarang," resah Raga. Dira jelas mengerti.

"Lo harus tenang, Ga. Kalo lo panik, lo juga bisa kenapa-napa. Jadi, biarin gue yang antar lo ke rumah sakit," tawar Dira begitu saja. Setengah sadar ia berkata, tetapi tulus dari dasar hatinya.

"Makasih, Ra. Gue masih bisa sendiri," tolak Raga lembut. Walau otaknya sedang separuh buntu, ia berusaha tidak merepotkan siapapun. Ia juga tidak marah karena Dira telah menguping pembicaraannya. Kini, Raga hanya diselimuti kepanikan.

Sebenci apa pun Raga pada tindakan Rasyid, hal itu sama sekali tak mengurangi rasa sayang yang Raga miliki pada ayahnya. Ia berdoa dalam hati, semoga kondisi sang ayah tidak parah, semoga sang ayah tidak diberikan sakit berlebih.

Ini adalah doa tertulus yang pernah Raga haturkan. Raga tidak memiliki pegangan lain, selain Tuhan.

Tanpa Raga sadari Dira juga telah bersiap diri. Gadis itu mengganti pakaian yang lebih panjang untuk menghindar dari panas yang menyengat di luar.

"Jadi, di mana alamat rumah sakitnya?"

—•—•—

Sabtu, 22 Januari 2022
20.58 WIB

RagathaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang