Suara tawa menggema di sekeliling ruang kamar tidur bernuansa biru langit itu. Dira bahkan tidak bisa menghentikan air matanya yang terus mengalir akibat tawa yang berlebih. Padahal, orang dulu bilang terlalu banyak tertawa, maka akan ada kesedihan yang menanti. Walau tahu bahwa itu hanya sebuah mitos, Dira tetap berusaha meredakan euforia bahagia.
Tawanya sulit berhenti bermula ketika Dira menonton film komedi luar negeri di Netflix. Dira terlarut dalam alur cerita yang ditawarkan. Ia bahkan melupakan waktu. Hari sudah sangat malam, tetapi sang abang tak kunjung datang. Dira segera menyudahi aktivitas menontonnya dan memilih untuk menunggu di ruang tamu.
Tak disangka, tepat ketika Dira keluar dari kamar, pintu rumah terbuka. Menampilkan El yang pulang dengan kondisi berantakan akibat kelelahan. Namun, seulas senyum tetap terbit ketika melihat sang adik berjalan menghampirinya.
"Abang bawain kamu nasi goreng. Kamu belum makan, 'kan?"
Dira meringis sambil mengambil kantongan hitam yang El bawa. "Udah sih, tapi cuma mi instan. Jadi, masih ada ruang buat nasi goreng itu," balas Dira sambil cekikikan.
"Oke, kalau gitu Abang mau mandi bentar. Jangan makan duluan, tunggu Abang," perintah El yang langsung mendapat keluhan dari Dira. Sedangkan El, langsung bergegas ke kamarnya dan berbenah diri. Meskipun mengeluh, Dira tetap menurut untuk tidak makan lebih dulu. Toh, dirinya tidak terlalu lapar.
El duduk di meja makan lima belas menit kemudian. Mereka menikmati makanan dalam diam. Namun, setelah Dira perhatikan kakaknya itu lebih fokus kepada ponsel. Hal itu membuat Dira curiga. Apalagi, ini bukan yang kali pertama. Dira merasa sudah waktunya untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi.
"Akhir-akhir ini Abang sering ketawa-ketiwi ngeliat hp. Ada sesuatu yang lucu?"
Kegugupan Elvano membuat Dira semakin curiga. Sang kakak buru-buru melepas ponsel dan kembali makan. "Nggak ada yang spesial, cuma video lucu aja sih."
Namun, Dira menghela napas panjang. "Abang bohong, 'kan?"
"Ke-kenapa Abang harus bohong?"
"Biar Dira nggak tahu," lirih gadis itu. Ia berdiri karena telah menyelesaikan acara makannya dan mencuci langsung piring yang ada.
"Dek," panggil El yang membuat Dira menoleh sebentar.
"Dira tahu kok, Abang butuh privasi. Dira nggak akan tanya lagi."
Mendengar itu sama sekali tidak membuat El merasa senang atau tenang. Ia gelisah dan merasa bersalah. Sejujurnya, ini bisa saja mengecewakan Dira. Oleh karena itu El merasa ini bukan waktu yang tepat untuk menjelaskanya. Akan tetapi, entah sekarang atau nanti bukankah Dira tetap akan terluka?
Pria itu menghela napas panjang. Ia memijat keningnya dan tiba-tiba terasa memberat. El sama sekali tidak sadar bahwa adiknya telah menyelesaikan sesi cuci piring. Gadis itu mengendap-ngendap menuju ke arah El yang masih terlarut dalam khayalnya. Sampai-sampai dia tidak sadar kalau Dira sudah mengambil ponselnya.
"Dapat!"
El menoleh cepat dan terkejut melihat gawai miliknya sudah berpindah ke tangan sang adik. Dengan panik, El bangkit dan mencoba meraih benda pipih itu. Namun, Dira tak kalah gesit. Ia berlari menuju kamarnya. Mengabaikan panggilan El yang menguruhnya untuk berhenti dan menyerahkan gawai yang seolah menyimpan rahasia negara, dijaga begitu ketat.
Setelah tiba di kamarnya, Dira bergegas untuk mengunci pintu dan bersandar di sana. Untung saja gadis itu mengetahui password ponsel milik sang kakak. Dira memulai dengan memeriksa aplikasi chat. Dahinya berkerut dalam, apa-apaan ini?
Segera Dira membuka pintu dengan kasar. Di hadapannya sudah ada El yang menatapnya was-was. Apalagi kini Dira menampilkan wajah tak bersahabat. Hal ini tentu harus diwaspadai.
"Abang punya pacar?"
"Ra, itu—"
"Dan pacarnya Abang, bos cewek yang Abang bilang ngeselin itu?!" bentak Dira seraya melotot tak percaya.
Ini gila! Dira mengusap kasar wajahnya. Ingat betul, bagaimana sang kakak mengeluhkan atasan yang merupakan seorang perempuan perfeksionis dan tidak suka dibantah. Waktu itu, El benar-benar merasa kesal karena dirinya yang kerap kali disalahkan. Tak disangka, orang yang sama menjadi pelabuhan hati sang kakak.
Dira tak terima. mengingat usia sang kakak, El pasti mulai mencari pasangan yang serius dan mulai membicarakan tentang masa depan. Dira sama sekali tidak bisa membayangkan bahwa ia akan memiliki kakak ipar berperilakuan seperti yang El sering keluhkan.
Bisa-bisa Dira didepak dari hidup mereka dan sebagai suami yang teramat mencintai sang istri, El akan menyetujuinya begitu saja. Oke, mungkin ini adalah bayangan yang terlalu jauh, tetapi bagaimana jika benar-benar terjadi? El merupakan satu-satunya keluarga yang Dira punya. Sampai kapanpun, ia tak akan siap kehilangan abangnya. Memikirkan hal ini, membuat hatinya teriris hingga berdarah.
Gadis itu merasakan sakit yang tak bisa dijabarkan rasanya. Matanya juga sudah mulai berkaca-kaca, El menjadi panik.
"Abang minta maaf, Ra. Abang bakal jelasin, kamu jangan nangis begini," pinta pria itu. Ia mengambil tangan Dira untuk digenggam. Lalu, memeluknya di dada.
Dira membalas pelukan itu tak kalah erat. Tangisannya juga semakin deras, membayangkan skenario yang dibuatnya sendiri benar-benar menyakitkan. El kemudian melepas pelukan mereka, pria itu menghapus jejak basah di pipi sang adik.
"Nanti, Abang bakal kenalin kamu sama dia. Kamu jangan khawatir, dia nggak sejahat yang pernah kita duga," hibur El. Kini sudah tidak ada lagi yang perlu ia tutupi. mungkin, sekarang El harus memikirkan bagaimana menenangkan adiknya.
"Kamu nggak usah mikir yang macam-macam, oke? Abang nggak akan pernah ninggalin kamu. Sampai kapanpun," sambungnya. Entah mengapa, El merasa bahwa ini adalah yang dikhawatirkan oleh Dira. Selama ini mereka hanya berdua, saling melengkapi sebagai keluarga. Pasti sulit bagi sang adik menerima orang baru.
Tangis Dira sudah sepenuhnya reda, hanya menyisakan mata dan hidung kemerahan yang berair. Ia mengembalikan ponsel sang kakak. El meminta Dira untuk tidur karena hari sudah semakin larut. Gadis itu mengangguk dan memasuki kamarnya. Ia hanya diam seribu bahasa, bahkan ketika sang kakak menyelimuti dan mematikan lampu kamarnya.
"Semoga mimpi indah, adeknya Abang," ujar El diiringi senyuman dan kecupan ringan di dahi Dira. Namun, rupanya gadis itu belum selesai meratapi kesedihan. Skenario buruk mulai bermunculan, membuatnya kembali meneteskan air mata. Gadis itu bahkan sudah berpikir bagaimana untuk mulai mencari kerja. Agar suatu saat ketika kakak ipar mengusirnya, ia tidak tunggang-langgang di jalanan.
Khayalannya semakin mengerikan. Dira bahkan tidak peduli jika di pagi hari matanya akan bengkak dan suaranya akan menghilang. Karena, yang ingin ia lakukan sekarang adalah menanagis seolah ia manusia paling menderita di dunia.
—•—•—
Minggu, 2 Januari 2022
08.00 WIB
KAMU SEDANG MEMBACA
Ragatha
Teen FictionKeputusan ayahnya menikah lagi disaat sang ibu belum lama meninggal, membuat Raga kecewa sekaligus tidak menyangka. Hubungan ayah dan anak itu pun merenggang, hingga berpisah tempat tinggal. Di tengah kekacauan yang Raga rasakan, perempuan aneh bern...