Anindira. Perempuan manis berpipi tirus dan berhidung kecil—tidak terlalu mancung atau pesek—Dira memiliki rambut pendek bergelombang. Dari wajahnya saja, orang bisa menebak bahwa Dira penyayang dan ramah.
Namun, seperti manusia pada umumnya, Dira mempunyai kekurangan dan itu ... cukup menyebalkan.
"Gue nyerah, gue emang bego dari orok. Nggak bisa diubah-ubah lagi udah," ujar Dira sambil mendorong buku tebal di hadapannya. Ia memijat pelan kepala yang panas dan hampir terbakar rasanya.
"Ini bahkan masih secuil dari pelajaran kita. Lo nggak boleh nyerah gitu aja!" seru seorang gadis seusia Dira. Rambut panjangnya terkucir rapi. Matanya menyorot tajam ke arah Dira.
Fera. Begitu orang-orang memanggilnya. Ia memiliki wajah ketus, tetapi hatinya begitu lembut. Walau demikian, ia bisa menyeimbangkan sikap Dira yang menggebu-gebu. Mereka dua sejoli yang saling melengkapi.
"Ra, lo cuma harus fokus," bujuk Fera. "lo mau nyerah sebelum berperang?"
"Tapi gue lagi nggak perang sama siapa-siapa," jawab Dira sekenanya.
"Lo berperang dari kemalasan lo sendiri, bego!" geram Fera mulai tak sabar.
Kalau bisa ia membuka kepala temannya itu dan memperbaiki otak Dira agar dapat berfungsi dengan benar. Siapa tahu ada baut yang kendur di sana.
"Fer, mungkin cara ngajar lo yang kurang tepat. Jadi susah nyangkut di otak gue." Dira mencari-cari alasan agar Fera tidak terlalu marah padanya.
"Ya, mungkin. Tapi apa pun tekniknya kalo lo udah pesimis duluan, nggak bakal bisa, Ra. Ingat, lo harus masuk jajaran lima besar di ujian akhir nanti," papar Fera yang membuat Dira melotot tak terima.
Hell, untuk apa Fera mengingatkan dirinya akan kesepakatan bodoh itu? Dengan kesal, Dira menarik lagi buku yang sebelumnya ia hempas.
Mereka kini tengah duduk lesehan di perpustakaan. Air conditioner membuat udara sejuk. Setidaknya, kepala Dira tidak akan benar-benar terbakar nantinya.
Fera meminta Dira untuk memulai pembelajaran dari awal-kelas sepuluh-yang paling membuat Dira kesal adalah Fera memulainya dari pelajaran yang paling tidak Dira suka.
Matematika.
Bagi Dira, ini adalah simulasi neraka di dunia. Walau begitu, Dira malas untuk berdebat dengan Fera. Temannya itu hanya akan mengungkit-ungkit hal yang membuat mereka berakhir begini.
Karena, setelah keluar dari ruang BK Dira langsung memohon pada Fera untuk mengajar dirinya. For you information, Fera adalah siswa terbaik di kelasnya. Selama dua tahun berturut-turut, Fera menduduki juara satu di kelas dan masuk ke dalam jajaran sepuluh besar di angkatan.
Fera juga akan menjadi saingan Dira. Walau tentu saja Fera tidak menganggapnya demikian. Kemampuan keduanya masih sangat timpang.
"Fer, gue mau ke toilet bentar, ya? Kebelet," pinta Dira dengan ekspresi menahan sesuatu. Fera mengangguk dua kali, kemudian Dira berbalik dan berlari.
Di ambang pintu, Dira berpapasan dengan seseorang. Ia membawa buku—yang dari judulnya saja, Dira tahu bahwa itu adalah bacaan yang cukup berbobot—Dira melengos ketika Raga diam saja.
"Gue mau lewat, tolong," ucap Dira. Tanpa banyak berdebat, Raga mundur selangkah dan membiarkan Dira berjalan lebih dulu. Aneh. Kenapa tidak dari tadi saja?
"Cih, sombong bener jadi orang. Kayak bisa ngubur diri sendiri aja pas mati," gumam Dira. Akan sangat berbahaya jika Raga mendengarnya. Rasa menuntut itu kembali hadir, Dira meringis dan berjalan cepat ke toilet sebelum air seninya keluar di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ragatha
Novela JuvenilKeputusan ayahnya menikah lagi disaat sang ibu belum lama meninggal, membuat Raga kecewa sekaligus tidak menyangka. Hubungan ayah dan anak itu pun merenggang, hingga berpisah tempat tinggal. Di tengah kekacauan yang Raga rasakan, perempuan aneh bern...