29. Arman

9 2 0
                                    

Raga duduk dengan tegang di ruang tunggu. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Raga mengalami ketakutan yang begitu besar. Rasanya jauh lebih tidak menyenangkan dibanding ketika pemuda itu kehilangan ibu untuk selama-lamanya.

Ia berdiri sesaat untuk mengecek bagaimana dokter sedang berusaha untuk menyelamatkan nyawa Dira. Di tengah penantian panjang Raga, ia dikejutkan dengan jemari seseorang yang merengkuh pundaknya.

Secepat kilat Raga menoleh dan menemukan Diana tersenyum lemah ke arahnya.

"Kamu tenang saja, orang yang berusaha menyelakai Dira sudah diamankan di kantor polisi. Kamu bisa tenang sekarang," ujar Diana sambil membawa Raga untuk kembali duduk. Pemuda itu pun menurut.

Namun, sayangnya sampai keadaan Dira sudah dipastikan membaik, maka sebelum itu Raga tidak akan merasa tenang atau pun senang. Ia menghela napas panjang.

Kalau dilihat-lihat penampilan Raga juga sama mengenaskan. Ia memiliki beberapa titik di bajunya. Bukan miliknya melainkan Dira. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Raga tak henti-hentinya memanjatkan doa pada Sang Kuasa agar dirinya tak terlambat. Agar Dira diberi kekuatan lebih untuk melawan sakitnya.

Wanita di sampingnya pasti mendapat perintah langsung dari Rasyid untuk mengurus permasalahan teman perempuan Raga. Hal itu sudah pasti, Raga tidak meragukannya lagi.

Dokter beserta perawat akhirnya telah selesai merawat Dira. Dokter pria itu mengatakan bahwa gadis itu sudah baik-baik saja. Luka memarnya sudah diobati dan hanya menunggu Dira sadar untuk mengetahui lebih lanjut kondisinya. Namun, tetap saja Dira harus dirawat intensif di rumah sakit, agar pihak medis mampu memantau perkembangan perempuan itu.

Tiba-tiba Diana mendapat panggilan telepon dari seseorang. Raga mengeryitkan dahi penasaran. Wajah wanita itu berubah lebih khawatir ... mungkin lebih tepatnya ketakutan. Entah siapa dan apa pembicaraan mereka.

"Raga, ayo kita datangi papamu lebih dulu. Ada hal yang sangat penting dan harus dibicarakan," ajak Diana ketika sudah mengakhiri panggilan telepon.

"Maaf, tapi saya tidak akan meninggalkan Dira," tolak Raga. Gadis itu tidak ada yang menjaga. Siapa yang berani menjamin keselamatan Dira?

"Akan ada utusan papamu yang menjaga Dira. Kamu tenang saja, Raga. Dia akan baik-baik saja," balas wanita itu yang memang sesuai fakta. Walau Rasyid tengah dilabeli pasien, ia tetap kuat tak terbantahkan untuk memerintah bawahannya.

"Oke," terima Raga setelah menimbang beberapa hal. Ia menoleh ke kiri dan kanan untuk mencari orang yang akan menjaga Dira, menggantikan Raga. Baru pemuda itu sadari, di seberang tempatnya duduk, ada seorang pria berpenampilan misterius duduk diam, tetapi tetap fokus. Raga yakin, dia adalah utusan Rasyid.

Kedua anak manusia itu berjalan berdampingan menuju kamar rawat Rasyid. Wanita itu tampak tak sabar untuk memberitahu hal penting ini kepada Rasyid. Raga menjadi semakin lebih penasaran.

Pria paruh baya itu duduk bersandar di kepala kasur sambil memegang gawai keluaran terbaru. Tampak fokus, tetapi tidak meninggalkan kewaspadaan terhadap sekitar.

"Mas, pengacaraku mengatakan bahwa si penyerang adalah salah satu orang suruhan ..."

Diana tampak ragu untuk mengatakannya. Reaksi Rasyid sama seperti Raga, mengernyitkan dahi tak mengerti. Namun, pria yang memiliki andil besar atas lahirnya Raga ke dunia tampak membuka mulut dan menyebutkan satu nama.

"Arman?"

Wanita di samping Raga menegang dengan raut wajah yang semakin terlihat khawatir. Siapakah Arman ini? Hingga membuat dua orang dewasa di dekat Raga tampak tak suka. Terlebih ayahnya sendiri. Pria itu tampak ingin menghajar siapapun pria bernama Arman tersebut, jika tidak dalam kondisi lemah seperti sekarang.

Otak cerdas Raga mencoba menyatukan semua puzzle yang sudah membuat kepalanya pening. Bagaiamana kalau ...

"Apa dia orang yang sama, yang sudah membuat Papa celaka?"

Pertanyaan itu terlintar begitu saja dari mulut Raga. Ia hanya bisa memastikan jika sang ayah mau menjawabnya.

"Ya," jawab Rasyid singkat.

Raga mengumpat sekeras yang ia bisa. Mengabaikan dua orang tua, yang seharusnya Raga hormati.

"Tapi kenapa Dira? Apa hubungan Dira dengan semua ini, Pa?"

Rasyid menggeleng lemah. "Papa juga belum mendapat jawabannya, Raga.

Jadi, dia harus bersabar menunggu? Baiklah kalau begitu, sebelum menghajar langsung orang yang hampir menghilangkan nyawa Dira, Raga ingin mengenalnya lebih dalam. Mungkin dengan rekaman kejahatan pria itu akan menambah bara api kebencian dalam diri Raga. Sehingga ia tidak akan merasa bersalah karena ingin membunuhnya.

"Bisa Papa jelaskan siapa Arman ini?"

-•-•-

Psikopat. Pelaku KDRT. Pemerkosa. Seorang kriminal.

Yang mengejutkan, Arman adalah mantan suami Diana.

Raga merasa kesulitan bernapas setiap kali sang ayah menceritakan kejadian tak mengenakan yang berhubungan dengan Arman. Pria tersebut benar-benar bajingan yang paling tidak bermoral.

"Papa tidak menyangka dia kembali merencanakan sesuatu yang jahat kepada keluarga kita. Sejujurnya, yang paling Papa tidak mengerti, mengapa dia menyerang temanmu? Padahal kamu lah anak Papa," decak Rasyid.

Bukan berarti dia berharap Arman menyerang dan menyakiti putranya, tetapi kekerasan pada Dira bukanlah suatu hal yang berhubungan dengan dendam masa lalu pria itu.

Rasyid kesulitan untuk menemukan titik terang.

"Sudah berapa lama kamu dekat dengan dia?" tanya Rasyid pada sang putra. Raga langsung mengerti maksud dari pertanyaan tersebut.

"Baru beberapa bulan. Pa, hubunganku dengan Dira tidak sedekat itu. Kami hanya rekan yang ... saling menguntungkan."

Raga bahkan tak tahu harus bagaimana mendeskripsikan dirinya dengan Dira. Mereka memang dekat dan hanya seperti itu. Jika benar kedekatan mereka adalah sumber celaka bagi Dira, maka sudah dipastikan Raga akan sulit memaafkan dirinya sendiri.

"Ini bukan salah kamu, Raga. Arman adalah sosok berkuasa yang menyalahgunakan kekuasaannya. Oleh sebab itu, selama ini Papa mencoba memiliki kekuasaan dan relasi sebesar pria bejat itu agar bisa melawannya."

Benarkah? Raga sama sekali tidak mengetahui tentang itu. Pemuda itu berpikir bahwa selama ini papanya hanya orang yang sangat berlebihan mencintai pekerjaan. Ia tak tahu jika ada hal lain yang mendasari perbuatan tersebut selain uang.

"Papa sudah lama ingin menghentikan kebejatan Arman. Namun, pria itu terlalu berkuasa dan Papa masih memiliki keluarga yang harus dilindungi. Papa tidak bisa mengorbankan orang-orang yang sangat Papa sayang."

Jelas, ada penyesalan disuara pria itu. Entah sudah berapa lama Rasyid merasakannya. Pasti sang ayah sangat tersiksa selama ini dan Raga ... terus-terusan menyalahkan pria itu atas apa yang menimpa ibunya. Untuk sekarang, Raga merasa bahwa dirinya begitu egois dan hanya mementingkan emosi saja.

Namun, menyesal tidak ada gunanya, bukan? Lebih baik, jika Raga mulai membuka hati untuk menerima diri sang ayah. Semua. Baik dan kurangnya.

"Pa, lain kali Papa bisa libatkan aku dalam pertempuran ini. Aku akan membantu dan mendukung Papa. Selalu.

-•-•-

Selasa, 1 Februari 2022
21.54 WIB

RagathaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang