28. Kejadian Buruk

17 2 0
                                    

Beberapa jam sebelumnya ...

Dira mendesah kecewa. Lagi dan lagi, El diharuskan untuk lembur karena pekerjaan. Yang lebih membuat Dira kesal adalah El tidak langsung menghubunginya, tetapi Vania lah yang mengabari ini karena wanita itu memiliki insting bahwa El akan lupa mengabari Dira. Vania juga mengucapkan maaf dan membelikan Dira sebuket ayam yang diantar melalui ojek online.

Jadi, Dira tengah merasa bahagia sekaligus kecewa. Mungkin kekecewaannya akan menghilang ketika ia merasakan nikmatnya kulit ayam yang krispi. Ah, memikirkan itu membuat perut Dira bergemuruh lapar. Ia tak sabar menunggu pesanannya datang.

Untungnya, sepuluh menit kemudian yang ditunggu akhirnya datang. Dira tidak tahu bisa menghabiskan semuanya atau tidak, yang pasti ia harus mengucapkan terima kasih banyak kepada si pemberi.

"Gue harus pamer ke Fera, nih, pasti entar dia iri," ujar Dira sembari cekikikan geli. Kalau temannya itu memang mau, Dira akan menyuruhnya untuk datang dan menemaninya sekalian.

Namun, sayangnya Fera sedang tidak aktif. WhatsApp-nya hanya centang satu. Sudah pasti gadis itu tengah sibuk belajar untuk persiapan ujian. Ya, Fera tidak seberuntung Dira karena ia memiliki Raga. Gadis itu harus menyiapkan semuanya sendiri.

Dira tertawa bangga dalam hati. Padahal, jika ingin dibandingkan, maka Fera jauh lebih unggul di atasnya. Fera tidak membutuhkan Raga yang memiliki kepintaran bersaing.

Dira memakan lamat-lamat ayam gorengnya. Ia tengah menonton acara komedi di televisi. Sesekali tawa menghiasi ruang sepi itu. Tiba-tiba listrik di rumahnya padam. Kegelapan menyelimuti seluruh ruangan seketika. Dira berusaha untuk tidak panik dan meraba sofa dan meja untuk mencari gawainya.

"Aduh, mana sih?!" geram Dira karena benda pipih itu belum juga didapatnya. Dirinya sudah hampir menangis karena gelap membuat dadanya menjadi sesak dan pengap.

Lalu, tiba-tiba suara gedoran di pintu terdengar sangat nyaring. Dira membeku beberapa saat. Siapa tamu yang datang ketika listrik padam begini? Sebisa mungkin Dira berpikir positif. Oh, apa mungkin dia adalah kurir yang tadi? Bisa saja ia belum menyerahkan semua makanan yang Vania pesan.

Dira mengangguk setelah menganalisis pikirannya. Ya, sepertinya begitu. Namun, pikiran positifnya buyar setelah mendengar suara pecahan kaca yang membahana di tengah keheningan. Untung saja gadis itu dengan cepat menutup mulutnya dan bergegas mencari ponsel sialan yang menghilang disaat yang tidak tepat.

Dapat!

Seru Dira dalam hati. Samar-samar, ia dapat melihat cahaya bergerak-gerak masuk ke dalam rumahnya. Gadis itu berjalan sambil menundukkan badan. Dengan penerangan dari ponsel—yang Dira setel seminim mungkin cahaya, agar tidak menarik perhatian orang jahat di luar sana—Dira berlari kecil menuju kamarnya. Kemudian menutup pintu rapat-rapat.

Tangan Dira bergetar karena ketakutan. Air mata menetes tanpa henti. Gadis itu sekuat tenaga meredakan isakan tangisnya. Di saat seperti ini, ia lebih membutuhkan bantuan ketimbang berdiam diri dalam kepasrahan. Namun, El, orang pertama yang menjadi harapannya tidak mengangkat satu pun panggilannya.

Fera, Vania—kekasih kakaknya—sama sekali tidak merespons panggilan atau pesan singkat yang Dira berikan. Lalu, harapan Dira jatuh pada satu nomor. Gadis itu takut berharap, tetapi, ia lebih takut lagi dengan orang yang berniat jahat di luar rumahnya.

"Gue mohon, Ga. Angkat," lirih Dira penuh harap.

Rasa syukur Dira panjatkan pada Tuhan ketika sambungan telepon terhubung.

"Raga—"

"Dira? Kenapa?"

Gadis itu ingin menangis sekeras-kerasnya jika tak mengingat nyawanya sedang terancam saat ini. Dira berdiri dan tidak lagi menyandarkan punggungnya pada pintu.

"Raga, ma-maaf, gue ..."

Namun, sialnya Dira menginjak benda kecil keras yang mengganggu keseimbangan perempuan itu. Dira terjatuh dengan kepala yang menghantam ranjang. Dirinya benar-benar tak tahan untuk tidak mengeluh kesakitan.

"Ra, lo masih di sana?"

Terdengar nada khawatir milik Raga. Dira tak sempat menrespons itu karena, suara sepatu terdengar di luar kamar Dira. Siapapun orang itu, dia telah berhasil menemukan keberadaannya.

Orang itu juga sepertinya tidak main-main. Ia bahkan berani bersiul, seolah memberitahu Dira bahwa gadis itu harus berhati-hati dengannya. Dira semakin merinding ketakutan. Suara siulan itu terdengar seperti alarm kematian bagi Dira.

Di tengah kegelapan, Dira berusaha mencari pereembunyiaan yang aman. Sayangnya, gadis itu tak bisa bersembunyi di lemari seperti pada film-film. Pakaiannya sudah memenuhi semua celah yang ada. Satu-satunya yang bisa Dira jadikan persembuyian adalah kolong ranjang.

Tanpa berpikir panjang, Dira masuk ke dalam sana. Walau takut kegelapan pekat, tetapi Dira juga tidak bisa mengambil risiko tertangkap jika menghidupkan lampu dari gawainya.

Bicara soal ponsel, Dira masuk terhubung panggilan dengan Raga. Dapat ia dengar pemuda itu menanyakan kondisinya.

"A-ada orang jahat yang masuk rumah gue. Bang El nggak bisa dihubungi. Gue takut, Ga. Tolongin gue," bisik Dira.

Dari percakapan singkat mereka, Raga sudah menjanjikan akan datang dan menolong Dira. Tak ada kata yang dapat menggambarkan betapa leganya Dira. Raga juga tidak memermasalahkan untuk tidak menutup panggilan mereka.

Kelegaan Dira hanya sampai sana, karena pintunya didobrak paksa oleh orang jahat di luar sana. Menyadari bahwa bersenyembunyi itu sia-sia, karena dia tetap akan menemukan Dira. Gadis itu beralih mencari benda apa saja yang bisa dijadikan senjata.

Pilihan jatuh pada tongkat pramuka yang hanya ia gunakan dua kali dalam hidupnya. Untung saja Dira masih merawat dan menyimpannya di ujung ruangan. Lalu, mimpi buruk Dira berada di akhir klimaks, karena sang penjahat berhasil membuka paksa pintu dan menemukan Dira tengah berdiri kaku.

"Hari ini akan menjadi hari kematianmu, Dira."

Wajah gadis yang masih basah oleh air mata, berusaha untuk tegar walau mendengar ancaman yang tidak main-main. Setidaknya keadaan tidak memperlihatkan wajah menyedihkan Dira.  Yang harus digarisbawahi adalah penjahat itu mengenal Dira, padahal gadis itu yakin tidak pernah berurusan dengan kriminal manapun selama ini.

"Kamu bukan Tuhan yang menentukan kapan saya mati dan saya tidak akan menyerah sampai titik penghabisan. Saya tidak akan membiarkan kamu menang."

"Kamu terlalu banyak bicara."

Tanpa aba-aba, sosok berpakaian gelap dengan wajah yang tertutup rapat—hanya menyisakan bagian mata—mencoba menyerang Dira secara brutal. Gadis itu tidak menyerah dan mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan.

Dira terkena pukulan dibeberapa bagian tubuhnya, penjahat itu juga membawa sebilah pisau. Berusaha keras Dira mencoba untuk melepaskan pisau tajam itu dari sang pemilik. Namun, benda itu malah melukai lengannya dan membuat luka goresan yang cukup panjang dan dalam.

Perih yang hebat Dira rasakan hampir di seluruh tubuhnya. Percayalah demi apa pun, ia sudah berusaha sekuat tenaga. Penjahat itu juga sudah merasakan kuatnya hantaman tongkat pramuka di tubuhnya.

Dira sudah tidak kuat lagi. Tongkat itu jatuh dari tangannya. Ia berjongkok, sedangkan sang penjahat sudah kembali berdiri untuk menancapkan pisau berlumuran darah tersebut di bagian tubuh Dira lainnya.

Namun, Dira tak merasakan sakit tambahan di tubuhnya. Bahkan si penjahat sudah luruh jatuh ke lantai dengan teriakan yang menggema di seluruh ruangan. Dalam gelap, Dira mendongak. Samar gadis itu melihat Raga. Ya, Raga. Pemuda itu menggunakan alat berkekuatan listrik untuk melumpuhkan lawan.

Dira tersenyum lega, sebelum tubuhnya jatuh mengenaskan ke lantai dan hilang kesadaran.

—•—•—

Selasa, 1 Februari 2022
20.25 WIB

RagathaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang