Raga sedang duduk tegak di samping sang ayah yang berbaring lemah di hospital bed. Berhubung Rasyid berada di ruang VVIP, fasilitas kamar ini terbilang sangat lengkap layaknya kamar hotel berbintang. Ya, Rasyid memiliki lebih dari cukup uang untuk membayar ini semua. Kalian tidak akan bisa membayangkannya.
Rasyid kini menggunakan cervical collar untuk menyangga leher yang cedera. Ia belum bisa menoleh kiri dan kanan dengan bebas.
"Raga, tolong ambilkan tote bag di sofa itu," pinta Rasyid yang langsung mendapat anggukan setuju dari sang putra. Raga mengambil tas tangan berwarna hitam pekat. Ia sama sekali tak melirik ke dalam untuk mengetahui isinya dan hanya menyerahkan langsung bungkusan itu kepada Rasyid.
"Buka. Itu untukmu."
Walau mengernyit kebingungan, Raga tetap membukanya. Stun gun dan sebuah pisau lipat. Pemuda itu menoleh ke arah ayahnya dengan pandangan bertanya.
"Untuk berjaga-jaga. Papa juga akan menyediakan orang yang akan menjaga kamu dari kejauhan. Kamu tidak akan terganggu, bahkan menyadari kehadiran dia pun, tidak," jelas Rasyid. Nada suaranya masih terdengar tegas seperti biasa, walau kini pria itu tengah dalam keadaan lemah.
"Apa ini ada hubungannya dengan kecelakaan yang menimpa Papa?"
Rasyid diam tak menjawab.
"Apa polisi sudah mengetahui penyebab pasti terjadinya kecelakaan itu?"
"Papa yang ceroboh, karena mengemudi ketika mengantuk. Jadi, bukan salah siapa pun," jawab Rasyid dengan tenang dan berusaha agar terdengar meyakinkan.
Mereka terdiam cukup lama. Raga mengembuskan napas pelan-pelan. Di luar, masih ada Diana yang membiarkan Raga berbicara empat mata kepada sang ayah. Wanita itu keluar sendiri, tanpa diminta atau disuruh siapa pun. Ia langsung berlalu pergi ketika Raga datang.
"Untuk apa Papa berbohong? Ada sesuatu yang Papa sembunyikan?"
Rasyid tidak langsung menjawab. Ia tahu ketika kebohongan yang terucap, maka Raga akan mengetahuinya di detik yang sama. Oleh sebab itu, Rasyid mencoba mencari kata yang tepat, agar sang putra tidak menjadi panik dan bertindak gegabah.
Raga masih terlalu muda, bahkan minim pengalaman tentang gelapnya persaingan di dunia bisnis dan kerja. Siapa pun yang lemah pasti akan tersingkirkan, sedangkan yang kuat, terus mencari sekutu agar lebih terjamin lagi kelancaran usaha yang dijalankan.
"Ya dan belum saatnya kamu mengetahui ini semua. Yang perlu kamu ketahui hanyalah ada orang yang sangat membenci Papa dan mencoba untuk menghabisi Papa."
"Tapi, kamu tenang saja. Papa akan memastikan orang tersebut tidak akan berani untuk melukai kamu dan bertindak seperti ini lagi," jelas Rasyid.
Memang, penyebab kecelakaan yang menimpa dirinya adalah karena faktor mengantuk, karena Rasyid diketahui meminum suatu obat sakit kepala yang memiliki efek samping mudah tertidur. Akan tetapi, sebenarnya Rasyid tidak pernah dengan sengaja meminum obat yang terdeteksi mengalir di darahnya. Sudah jelas ada orang lain yang menjebak Rasyid.
"Siapa yang Papa curigai?"
"Papa belum bisa menebak."
"Untuk apa Papa berbohong?"
Rasyid menghela napas panjang. Anaknya benar-benar keras kepala. Seperti mendiang istrinya.
Sedangkan Raga, tidak lagi bisa berpura-pura. Ia memang masih kecewa pada sang ayah yang menikah tak lama setelah ibunya meninggal. Namun, kasih sayang yang Raga miliki tidak sebanding dengan kebencian yang tertanam dalam beberapa bulan ini.
"Raga-"
Ucapan Rasyid terhenti ketika suara gawai milik Raga menggema di sekitar mereka. Dengan segera pemuda itu mengangkat panggilan yang masuk.
"Dira? Kenapa?"
Pasalnya, Dira sangat jarang menghubungi lewat telepon. Gadis itu lebih senang terhubung melalui pesan singkat.
"Raga, ma-maaf, gue ..."
Terdengar suara benda terjatuh yang cukup keras. Sebelumnya, saya Dira juga terdengar bergetar. Jangan-jangan gadis itu dalam kondisi bahaya? Oh, Tuhan. Tidak.
"Ra? Lo masih di sana?"
Raga berdiri dengan raut panik, hal ini tentu menjadi perhatian Rasyid. Pria itu mencoba mendengar secara seksama pembicaraan mereka dengan seseorang yang dari namanya terdengar seperti perempuan.
Tidak ada balasan, tetapi Raga mendengar suara krasak-krusuk di ujung sana. Sepertinya Dira tengah berlari mencoba menghindar dari apa pun yang mengancamnya.
"Raga," lirih Dira.
Demi Tuhan, suara serak akibat tangis tertahan dari Dira adalah hal yang paling Raga benci dan ia mendengarnya sekarang. Tentu saja, hal itu membuat Raga semakin panik. Namun, ia sadar dirinya tak boleh terbawa situasi.
"Jelasin pelan-pelan sama gue, Ra. Kenapa?"
"A-ada orang jahat yang masuk rumah gue. Bang El nggak bisa dihubungi. Gue takut, Ga. Tolongin gue."
Raga memejamkan mata, berusaha menetralisir emosi marah yang mulai melanda tubuhnya. Ia akan pastikan siapapun orang itu, akan menerima balasan yang setimpal. Raga tidak akan membiarkan dia hidup dengan nyaman karena sudah mencoba menyakiti Dira.
"Gue ke sana sekarang. Bertahan sebentar lagi, Ra. Cari tempat yang paling aman dan ... jangan nangis gue mohon," pinta Raga karena mendengar suara Dira yang semakin lirih. Ia yakin gadis itu sedang menutup mulutnya rapat-rapat. Berharap sang penjahat tidak akan mendengar suaranya.
"Gu-gue nggak tau harus minta tolong sama siapa lagi. Lo satu-satunya harapan gue sekarang, Ga."
"Ya dan gue nggak akan kecewain lo. Lo bisa berharap sama gue sebanyak apa pun, Ra. Gue janji lo bakal selamat," tekad Raga dan tidak ada satu orang pun yang dapat menghalanginya.
"Ja-jangan matiin teleponnya. Biarin gue denger suara lo, Ga."
"Iya, nggak akan."
Raga harus bergegas pergi. Ia tak akan menjelaskan apa-apa pada Rasyid, toh, Raga yakin sang ayah sudah mendengar semua dengan jelas.
"Aku harus pergi sekarang, Pa."
"Nak, kamu harus hati-hati. Papa akan laporkan kejadian ini ke polisi. Mereka juga akan ada di sana nanti. Bisa kamu kirimkan alamatnya?"
Raga mengangguk. Ia tidak akan mendebat apalagi menolak. Dirinya memang butuh bantuan. Dira tidak menyebutkan berapa orang yang sudah lancang memasuki rumahnya malam-malam begini. Raga mengerti, karena Dira pasti dalam keadaan yang panik. Ini adalah pengalaman paling mengerikan yang pernah gadis itu alami.
"Setelah ini, kamu bisa kenalkan dia pada Papa."
Pemuda itu sudah berada di ambang pintu, terpaksa kembali menoleh karena mendengar ucapan Rasyid yang ambigu.
"Kami nggak seperti yang Papa pikiran," balas Raga. Tanpa menunggu jawaban, Raga berlari keluar ruang perawatan. Di luar, Raga sempat melihat Diana yang duduk dalam diam. Ia berdiri ketika melihat Raga berlari tergopoh-gopoh, tetapi memilih untuk tidak bertanya.
Di saat genting seperti ini pun, Raga masih merasakan kebencian untuk ibu tirinya tersebut. Baiklah, bukan itu yang harus ia pikirkan sekarang.
Keselamatan Dira adalah prioritasnya.
Raga berdoa dalam hati, semoga tidak terlambat untuk menyelamatkan Dira nanti.
-•-•-
Selasa, 25 Januari 2022
15.51 WIB
KAMU SEDANG MEMBACA
Ragatha
Teen FictionKeputusan ayahnya menikah lagi disaat sang ibu belum lama meninggal, membuat Raga kecewa sekaligus tidak menyangka. Hubungan ayah dan anak itu pun merenggang, hingga berpisah tempat tinggal. Di tengah kekacauan yang Raga rasakan, perempuan aneh bern...