13. Ayam Goreng Dibalas Bakso

15 3 0
                                    

Dira terus memandangi Raga yang tengah menikmati mi ayam—yang lima menit lalu baru dihidangkan. Pemuda itu tampak tidak secanggung waktu diawal—ketika Dira yang membayarinya makan.

"Gue beliin lo makanan bukan cuma buat diliatin," ujar Raga tiba-tiba. Bukannya menyuapkan sepotong bakso ke dalam mulutnya, Dira malah maju dan meneliti Raga secara terang-terangan. Membuat pemuda itu refleks bergerak mundur,

"Kenapa?" tanya Raga dengan dahi berkerut.

"Lo yang kenapa? Sikap lo aneh banget," terang Dira. Ia kembali duduk ketika menyadari bahwa seseorang bisa saja menatap lapar ke arah bokongnya yang seolah menggoda.

"Apa bayarin orang makan bisa disebut aneh? Bukannya kemarin lo juga ngelakuin ini?" Raga menggeleng pelan dan kembali fokus ke makanan. Namun, decakan kesal Dira menghentikan gerakan jarinya.

"Aneh, karena lo yang ngelakuin."

"Hm, terserah. Makan."

Kali ini Dira menuruti Raga, karena sejujurnya aroma semangkuk bakso di hadapannya membuat gadis itu tergoda. Acara makan mereka diisi dengan keheningan. Tidak sesepi yang dibayangkan, karena pengunjung warung ini masih sangat ramai. Hanya Raga dan Dira yang duduk berhadapan, tetapi seolah terpisah jarak ratusan kilometer.

Ketika melihat mangkuk Raga sudah bersih, Dira segera mempercepat laju makannya hingga tersedak, kemudian terbatuk-batuk. Untung saja Raga bergerak cepat memberinya segelas es teh manis milik Dira.

"Thanks," ucap Dira setelah batuknya mereda. Pemuda itu hanya mengangguk sekali, lalu merogoh saku untuk mengambil ponsel.

Walau terkesan tak acuh, Dira tetap bisa melihat raut khawair di wajah pemuda itu. Ya, pasti Raga akan sangat malu jika harus menjadi saksi mata atas meninggalnya Dira dengan sebab yang sangat konyol. Tersedak.

Tawa Dira hampir saja meledak akibat pemikiran itu. Dirinya juga belum ingin meregang nyawa sekarang, masih ada banyak hal yang belum Dira lakukan di dunia yang fana ini.

"Udah selesai? Bisa pulang sekarang?" tanya Raga. Dira segera menyedot habis minumannya dan mengangguk cepat. Berhubung makanan itu sudah dibayar sebelumnya, mereka langsung keluar dari tempat itu. Dira mencari uang kecil untuk membayar parkir, tetapi petugas parkir sudah mengucapkan terima kasih, yang berarti seseorang sudah membayar jasanya. Siapa lagi kalau bukan Raga?

"Nunggu lo kelamaan. Ayo pulang," keluh Raga.

Dira menganga tak percaya, kemudian ia berdecak dan memberikan uang dua ribu rupiah langsung ke telapak tangan Raga. "Nih, gue ganti. Nggak usah repot-repot lain kali," sinis Dira.

Pemuda yang merasa tidak bersalah itu hanya mengangkat bahu tak peduli. Lalu menaiki dudukan motor di belakang. Setelah semuanya siap, Dira mulai melajukan motornya di jalanan yang ramai. Di tengah perjalanan, suatu pertanyaan terbesit di pikirannya. Gadis itu memelankan kendaraan dan sedikit menepi.

"Gue mau tanya sesuatu!" teriak Dira kepada Raga. Takut-takut pemuda itu tidak mendengar.

"Entar aja, bahaya ngobrol sambil nyetir!" Pemuda itu balas berteriak. Namun, Dira sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya. Mengabaikan peringatan Raga, ia bertanya, "lo juga nyari informasi tentang gue? Gimana? Kapan? Kok gue nggak tahu?"

Ia yakin suaranya dapat didengar oleh pemuda yang sedang duduk manis di belakangnya, tetapi Raga memilih diam tak membalas. Dengan kesal, Dira mengulurkan tangan dan mencubit paha Raga sekeras yang ia bisa. Pemuda itu hampir berteriak, tetapi segera ia tahan, lalu menyingkirkan tangan Dira dari tubuhnya.

Perbuatan Dira benar-benar di luar dugaan. Raga mengelus pahanya yang terasa panas, berharap rasa sakitnya menghilang. Tenaga Dira tidak dapat disepelekan, walau ukuran tubuhnya jauh lebih kecil dibanding Raga.

"Rahasia," balas Raga pada akhirnya. Namun, ia harus menerima bahwa Dira kembali mencubit pahanya. Lagi, yang bisa lakukan hanya menyingkirkan jemari halus gadis itu.

Menit demi menit mereka lalui di jalan yang selalu dikerubungi oleh para manusia. Perjalanan mereka hanya diiiringi oleh deru kendaraan sekitar. Raga memanfaatkan ini untuk memperhatikan sekitar. Jika dirinya yang menyetir, maka hal seperti ini tidak bisa Raga lakukan. Sungguh, menikmati keindahan gedung-gedung bersamaan dengan terbenamnya matahari, ternyata semenyenangkan ini.

—•—•—

Helm dua anak manusia itu saling bertubrukan ketika Dira menghentikan laju kendaraan secara mendadak. Pemuda di belakangnya mendesis kesal dan segera turun dari kendaraan.

"Ini rumah lo, kan?" tanya Dira dengan wajah cerah. Ia sangat berharap Raga terkejut dan tidak menyangka bahwa Dira mengetahuinya.

"Hm. Gue nggak lupa kalau waktu itu lo buntututin gue," balas Raga. Senyum Dira lenyap seketika. Padahal ia sangat berharap bahwa Raga melupakannya.

"Ya udah, kalo gitu gue—"

Kalimat Dira terhenti seketika ketika sebuah pajero sport berhenti tak jauh dari mereka. Gadis itu mengode Raga untuk berbalik badan. Dira berpikir bahwa mungkin saja orang di dalam sana membutuhkan bantuan atau memang ingin bertamu ke rumah Raga? Entahlah, tetapi ketika seorang wanita keluar dari sana, ekspresi pemuda di sampingnya berubah total.

Well, wajah Raga yang datar bertambah tidak bersahabat dan itu ... sedikit mengerikan.

Dira yang merasa canggung, tidak berani menegur Raga—sekadar memberitahu untuk menjaga ekspresi wajahnya. Namun, ia memberanikan diri mencengekeram lengan pemuda itu sehingga Raga mengalihkan pandang ke arahnya.

"Ga? Kenapa?"

Namun, Raga menggeleng enggan memberi jawaban. "Lo bisa pulang. Makasih atas tumpangannya."

Gadis itu mengangguk. "Makasih juga traktirannya."

Akan tetapi, Dira belum beranjak dari tempatnya. Ia masih memperhatikan wanita yang mulai berjalan menghampiri mereka. Ketika wanita itu tersenyum, Dira membalasnya dengan senang hati. Berbanding terbalik dengan Raga yang malah memalingkan wajahnya dan tersadar bahwa Dira belum juga pulang.

"Apa yang lo tunggu? Sudah hampir malam, sebaiknya lo pulang sekarang," pinta Raga. Ekspresinya tidak sekeras tadi. Namun, masih menyisakan ketidakramahan.

"Iya, ini gue juga mau balik," elak Dira.

Wanita itu berdiri tepat di hadapan Raga, tetapi karena pemuda itu masih menoleh ke arahnya, mereka tidak langsung bertatap muka.

"Raga?" tegurnya dan dibarengi senyuman lembut.

"Ra, pulang sekarang, oke?"

Mendengar suara tidak bersahabat Raga, membuat Dira tidak berani mencoba peruntungannya kembali. Dengan segera ia mengangguk dan menyalakan mesin motor, lalu pergi dari sana. Walau begitu, matanya belum lepas dari kaca spion yang menampilkan dua orang yang berdiri dengan tegang.

Dari sana muncul banyak pertanyaan. Siapa wanita itu? Mengapa Raga terlihat membencinya? Mereka memiliki hubungan khusus?

Gadis itu menggeleng keras. Memikirkan semua ini hanya membuatnya sakit kepala. Lebih baik ia menyusun alasan yang masuk akal, mengapa Dira pulang terlambat agar tidak dimarahi.

Huft, menyebalkan sekali.

—•—•—

Jumat, 26 November 2021
16:55 WIB

RagathaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang