25. Lebih Dekat

8 3 1
                                        

Dira mengambil tangan sang kakak untuk bersalaman, juga tangan calon kakak iparnya. Gadis itu mendongak dengan senyum lebar yang terbit di bibirnya. Ya, setelah mereka berbicara dari hati ke hati, mengungkapkan segala kegelisahan yang ada. Dira mulai belajar untuk menerima wanita yang El pilih untuk menjadi pasangan.

El memang benar, Vania adalah sosok yang perfeksionis dan terbiasa mengendalikan segala hal. Dia tidak mudah disetir, cukup kuat dalam berpendirian, tetapi hal itu sama sekali tak mengurangi rasa cinta yang El punya untuk Vania.

Vania juga sangat menghormati El. Perlahan-lahan ia belajar untuk bekerja sama layaknya pasangan. Bukan hanya sekadar atasan dan bawahan.

Banyak perjuangan yang sudah mereka lakukan untuk bersama. Dira merasa sangat egois sekali jika harus mengekang mereka. Toh, Vania cukup bersiap baik padanya. Bahkan mereka pernah menghabiskan waktu bersama untuk berbelanja, menikmati banyak kuliner dan mencoba berbagai wahana.

Sejauh ini, Vania memperlakukan Dira layaknya adik sendiri. Atau ini hanya trik agar mempermudah hubungan mereka kedepannya? Entahlah, Dira tidak ingin berburuk sangka pada kakak atau pun Vania.

"Nanti kalo udah pulang, jangan lupa chat Abang, ya?"

"Iya, Bang."

"Belajar yang pinter. Kalo udah lulus, entar magang di perusahaan Kakak, gimana?" Kali ini Vania yang berbicara. Ucapannya membuat mata Dira berbinar bahagia.

"Beneran, Kak?"

Vania mengangguk tak kalah semangat. "Beneran, asal kamu punya kemauan yang besar. Kakak bisa bantu kamu buat asah kemampuan."

"Serius, ya, Kak? Tapi kalo untuk sekarang, aku mau fokus buat ujian sama persiapan kuliah."

"Kamu bisa kejar apa aja impian kamu, Dira. Kakak sama Abangmu bakal dukung selama itu nggak merugikan kamu atau orang lain."

Ah, kalau seperti ini Dira semakin semangat untuk menggapai cita-citanya. Memang, sedari dulu Dira tak pernah mematok suatu profesi untuk menjadi acuan impian. Dia hanya berharap dirinya aman secara finansial sampai masa tua.

Setelah berpamitan, Dira berjalan cepat menuju kelasnya. Di tengah perjalanan, Dira menemukan Raga yang berada kurang lebih tiga meter di hadapannya. Dengan semangat empat lima, gadis itu berusaha mengimbangi langkah Raga.

"Hai!" sapa Dira.

Raga menoleh tanpa tersenyum atau membalas sapaan Dira. Hal ini jelas menjengkelkan. Kenapa sih, Raga harus sedemikian labil?! Terkadang dia baik melebihi ekspetasi Dira, terkadang juga jahat melebihi medusa.

Itu semua belum seberapa, Dira juga harus menanggung malu karena banyak siswa yang berbisik-bisik di sekitarnya. Mereka pasti menggospikan Dira yang tidak-tidak. Sepertinya Dira yang akhirnya dicampakkan oleh Raga dan sebagainya.

Hari masih terlalu pagi untuk Dira menerima emosi negatif. Oleh karena itu, ia berniat meninggalkan Raga. Akan tetapi, Raga malah menahan lengannya dan berkata,

"Maaf, gue nggak fokus. Gue lagi mikirin bokap."

Oh ya, siapa yang bertanya?! Untung saja kalimat kejam itu tak terlontar dari mulut Dira.

"Kalo gitu, gimana kabar ayah lo? Udah baikkan?"

Raga mengangguk membenarkan. Setelah itu, tidak ada lagi pembicaraan dari mereka berdua, karena Raga mulai sibuk merogoh tasnya. Mencari barang kepunyaan Dira.

"Nih, kemaren kebawa. Maaf."

Dira menerima kotak pensil dan sebuah buku miliknya. Sebenarnya waktu itu, Dira melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana paniknya Raga memasukkan seluruh peralatan tulis di atas meja, ke dalam bukunya. Dira sendiri tidak tahu harus bicara apa untuk mencegahnya, terlebih Raga tengah diliputi rasa gelisah dan takut luar biasa.

"Gue ngerti kok. Lo juga pasti nggak mau nyuri ginian, 'kan?" canda Dira sembari mengangkat dua benda yang baru saja Raga berikan.

"Duh, kok udah mau nyampe aja sih kelasnya. Padahal gue masih mau jalan kayak gini sama Raga." Lagi, Dira mengeluarkan candaannya. Berharap Raga tertawa atau sedikit menyunggingkan senyuman. Apa pun reaksi Raga, pasti akan membuat Dira bangga.

"Sejak kapan temen lo akrab sama Aldo?" tanya Raga tiba-tiba.

"Hah? Gimana?"

Lalu, dengan isyarat dagu Raga menunjuk ke samping. Tepat di bawah pohon yang biasa digunakan para siswa untuk berteduh kala istirahat. Sekolah mereka memang rimbun. Hampir di tiap depan kelas, terdapat pohon besar yang disediakan tempat duduk di bawahnya.

"Lah, iya! Itu Fera sama Aldo kenapa bisa berduaan? Sejak kapan mereka deket? Fera kok, nggak cerita apa-apa sama gue?!" protes Dira yang sayangnya tidak tepat sasaran. Jelas, Raga sama sepertinya. Tidak tahu dan tidak menyangka.

"Ah, keliatannya mereka satu organisasi deh, terus ada tugas gitu," sungut Dira. "Eh, tapi 'kan Aldo futsal, terus Fera sains! Ekskul mereka beda, mana mungkin kerjain tugas organisasi bareng!"

Ketika Dira mencak-mencak sendiri, Raga mencoba untuk menganalisis. Bahkan orang yang kurang paham tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan, akan langsung menyadari betapa manisnya perlakuan Aldo kepada Fera.

Aldo tidak canggung memegang bahu Fera, lalu mengusapnya mesra. Obrolan mereka juga tampak sangat seru. Fera bahkan tak bisa menahan tawanya. Raga sangat yakin Aldo memang mampu meluluhkan hati perempuan mana saja.

"Gue harus samperin mereka!" seru Dira yang langsung beranjak dari tempatnya berdiri sekarang.

Tanpa sadar, kaki Raga mengikuti langkah Dira. Dirinya cukup penasaran dengan apa yang terjadi, apalagi semalam Aldo sangat marah padanya.

"Fera!"

Dua orang yang sedang asyik bermesraan tersentak kemudian berbalik ke sumber suara. Buru-buru Fera melepas pegangan Aldo pada tubuhnya, tetapi jelas saja terlambat karena Dira sudah melihat semuanya.

"Lo! Sejak kapan kalian berdua? Argh ... Fer, kok nggak cerita? Gue bukannya ngelarang. Gue cuma minta kasih alasan yang jelas, kenapa lo nyembunyiin ini dari gue!"

"Kita balik ke kelas aja," pinta Fera. Ia menarik lengan Dira dan menuntunnya menuju kelas mereka. Meninggalkan Aldo dan Raga yang masih diam mematung.

"Al, gue nggak tau rencana apa yang lo lakuin. Lo keliatan bener-bener beda," ungkap Raga sambil memandangi temannya yang tidak banyak bereaksi. Dalam hati, Raga bertanya-tanya. Hal apa yang ia lewatkan mengenai Aldo?

Apa Aldo kembali bertengkar hebat dengan ibunya? Jika Aldo membutuhkan pertolongan, Raga sangat siap membantu.

"Kenapa? Ini urusan gue. Lo nggak berhak buat ikut campur."

Jawaban Aldo memang terdengar kejam, tetapi Raga tidak tersinggung sama sekali mendengarnya. Ia mencoba memahami Aldo. Walau begitu, hanya kerumitan yang Raga lihat.

"Lagipula, gue deket sama Fera udah cukup lama kok. Gue sengaja minta dia buat rahasiain ini dari Dira dan lo, Raga. Gue nggak mau kalian ikut andil dalam hubungan kami."

Otak cerdas Raga benar-benar kesulitan untuk mencerna apa yang terjadi sebenarnya. Namun, apa pun itu, Raga berharap semoga Aldo tidak berniat untuk menyakiti siapapun.

—•—•—

Senin, 24 Januari 2022
06.42 WIB

RagathaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang