Si-a-lan
Sudah tak terhitung berapa kali Aldo mengumpat pagi ini, karena kemalangan yang datang bertubi-tubi. Ia berlari di koridor yang kosong, tidak diisi oleh siswa atau tenaga pengajar manapun. Tentu saja, pasti mereka tengah sibuk di dalam kelas, belajar dan mengajar. Terkutuklah Aldo yang bangun kesiangan.
Kini, dirinya tepat berada di depan pintu kelas yang tertutup. Aldo memejamkan mata, berdoa semoga dirinya bisa masuk tanpa halangan atau hukuman-walau kecil kemungkinan mengingat ini bukan kali pertama.
Semua mata tertuju padanya-jika kondisi normal, maka Aldo akan senang karena mendapat banyak perhatian dan menjadi terkenal-Aldo menelan salivanya untuk meredakan kegugupan. Kemudian, ia tersenyum.
"Pagi, Bu. Maaf saya agak terlambat, motor saya sempet bermasalah tadi," ujar Aldo dan memang benar adanya. Raga sudah mengambil paksa motornya sendiri dan Aldo tak memiliki hak untuk melarang sama sekali.
"Saya nggak terima alasan apa pun. Ibu akan jatuhkan hukuman untuk kamu."
Aldo menampilakan ekspresi wajah tak terima, dirinya ingin mengajukan banding, tetapi sang guru mengetahui gelagatnya dan menyuruh Aldo untuk menutup mukut bahkan sebelum ia bicara.
"Karena kamu sudah menyita waktu kurang lebih sepuluh menit, Ibu bakal langsung ke inti. Hukuman kamu adalah jadi asisten Ibu di jam pelajaran kali ini. Kalau ada pertanyaan dari teman-teman kamu, kamu harus bantu Ibu untuk menjawab. Kamu juga harus memberikan yang Ibu minta dengan segera," titah wanita itu dengan tegas.
Pemuda yang diberi hukuman terdiam beberapa saat, rupanya ia masih kesulitan untuk mencerna apa yang menimpanya. "Ma-maksudnya, Bu?"
Semoga saja pikirannya salah. Semoga saja sang guru mengubah keputusannya. Walau mustahil, Aldo tetap berharap.
"Kamu tidak mengerti? Maksudnya adalah kamu berdiri di samping Ibu selama jam pelajaran Ibu berlangsung."
Aldo menatap sang guru dengan pandangan memelas. Apa iya, murid malas sepertinya dirinya mampu menjadi asisten guru yang terkenal akan ketegasannya?
"Tapi, Bu-"
"Taruh tas kamu, lalu hapus papan tulis!" perintah Bu Rani, guru Bahasa Indonesia. Setelah menghembuskan napas pasrah, Aldo berjalan ke arah mejanya. Ia duduk berdampingan dengan Raga, tetapi pemuda itu sama sekali tak menoleh ke arahnya dan tetap fokus pada buku.
Cih, sombong sekali. Teman macam apa dia? Gerutu Aldo.
"Cepat, Aldo!"
Aldo tersentak dan buru-buru menaruh tasnya. Ia kembali ke depan dan sang guru kembali mengajar. Walau ogah-ogahan, Aldo tetap menerima perintah yang Bu Rani ucapkan. Seperti menghapus papan tulis, menegur beberapa siswa yang tidak fokus. Semua itu Aldo lakukan demi dengan penuh tanggung jawab, sampai seseorang mengetuk pintu kelasnya.
Semua orang menoleh.
"Permisi, Bu. Saya mau mengumpulkan tugas yang Ibu minta tadi." Orang itu adalah Fera. Teman baik Dira.
Bu Rina dengan ramah mempersilakan Fera untuk masuk ke dalam. Kedua tangannya dipenuhi lembaran jawaban seluruh siswa di kelasnya. Sesekali Fera mencuri pandang ke arah Aldo yang tengah merengut sambil memainkan sepatunya, menggesek-gesekkannya di lantai.
Diam-diam Fera menahan tawa. Walau ia tak tahu masalah yang sebenarnya, gadis itu dapat menebak bahwa Aldo mungkin saja tengah dalam masa hukuman yang diberikan oleh Bu Rani. Bu Rani memang tidak terlalu kejam, tetapi bukan berarti dia akan membiarkan siswa lolos ketika melakukan kesalahan.
Beliau akan memberi hukuman sekaligus pelajaran bagi siswanya agar bisa menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.
"Terima kasih Fera. Kamu bisa kembali ke kelasmu sekarang," ucap Bu Rani setelah memastikan semua siswa sudah mengumpulkan tugasnya.
Gadis itu mengangguk diringi senyum. "Terima kasih kembali, Bu. Saya izin pamit."
Ketika berbalik Fera tak sengaja bertatapan mata dengan Aldo. Desakan untuk tertawa tidak bisa lagi gadis itu tahan. Ia menunduk sambil menutup mulut. Aldo yang menyadari bahwa seseorang menertawakannya mendelik tak terima.
Dengan kesal, Aldo memajukan satu kakinya tepat ketika Fera hendak melewatinya. Fera yang sedang tidak fokus seketika kehilangan keseimbangan. Sebagai pertahanan diri, perempuan dengan rambut dikucir kuda itu mencoba berpegangan pada apa saja di dekatnya. Sialnya, sesuatu yang menjadi pegangan bagi Fera sama lengahnya. Gadis itu menarik kerah baju Aldo dan pemuda itu tak sempat menrespons apa yang terjadi, hingga mereka berdua jatuh secara mengenaskan.
Pekikan kaget terdengar memenuhi seisi kelas. Bu Rani juga tampak syok. Beliau bangkit dari duduk.
"Apa-apaan kalian berdua?!" pekik Bu Rani.
Dua muda-mudi itu meringis dan berusaha untuk berdiri. Fera baru menyadari bahwa posisinya terbilang sangat dekat dengan Aldo. Entah pemuda itu menyadari atau tidak, tetapi dia tampak memastikan kepala Fera tidak langsung menyentuh lantai, bahkan membantunya untuk berdiri.
Tubuh Fera tentu menegang atas perlakuan yang tidak biasa ini. Fera adalah sosok yang anti dengan kontak fisik. Ia tidak terbiasa menyentuh atau membiarkan dirinya disentuh. Perempuan sekali pun.
"Gara-gara lo nih!" tunjuk Fera pada Aldo yang melotot tak terima.
"Kalo lo nggak diam-diam ngetawain gue, gue nggak bakal ngelakuin itu," protes Aldo.
Fera menganga, tak menyangka alasan yang Aldo berikan benar-benar dangkal dan tidak masuk akal—untuk ukuran kejailan yang sampai mengorbankan dirinya sendiri.
"Sudah-sudah. Segera rapikan seragam kalian berdua dan Fera," Bu Rani mengambil jeda dan menatap perempuan itu. "Segera kembali ke kelas kamu. Sekarang!" titahnya.
Fera mengangguk, kemudian berbalik keluar kelas. Sedangkan Aldo masih menggerutu kesal. Ia tersentak pelan ketika Bu Rani memintanya untuk menghapus tulisan di papan tulis.
Untuk sesaat tadi, Aldo melupakan bahwa dirinya tengah menerima hukuman.
—•—•—
Di luar tampak Fera berlari-lari kecil menuju kelasnya. Ia menuduk, tak menatap jalanan secara jelas. Setibanya di kelas, perempuan itu langsung mengambil botol minum berisi air mineral dari tasnya.
Dira yang duduk di sebelahnya mengertukan kening penasaran. "Kenapa lo?"
Fera menyelesaikan acara minumnya dan menarik napas panjang, lalu mengeluarkanya perlahan. Kemudian, ia menoleh ke arah Dira dengan wajah ngeri.
"Gue habis kena musibah. Untung aja gue bisa lari dari sana. Astaga, gue malu banget sebenarnya," oceh Fera yang tidak mengerti oleh lawan bicaranya.
"Oke-oke. Ceritain kronologinya dari awal, biar gue bisa langsung menyimpulkan," ujar Dira.
Lebih dari lima menit Fera sudah bercerita, berbagai ekspresi juga sudah Dira keluarkan. Tidak menyangka, mencoba menahan tawa dan mimik tertarik lainnya.
"Fer, lo keliatannya cocok deh ama Aldo."
Sedangkan Fera menganga mendengarnya. Ya Tuhan, yang benar saja!
—•—•—
Selasa, 11 Januari 2022
18.34 WIB

KAMU SEDANG MEMBACA
Ragatha
Teen FictionKeputusan ayahnya menikah lagi disaat sang ibu belum lama meninggal, membuat Raga kecewa sekaligus tidak menyangka. Hubungan ayah dan anak itu pun merenggang, hingga berpisah tempat tinggal. Di tengah kekacauan yang Raga rasakan, perempuan aneh bern...