9. Alasan Sebenarnya

41 7 28
                                    

Sebelum pertemuan di parkiran.

Setelah menenangkan Dira dan berpisah dari gadis itu, Raga menghajar dinding yang berdiri tak jauh darinya. Entah mengapa, Raga kini merasa asing dengan dirinya sendiri. Dirinya yang biasa tenang, kini terus-terusan merasa gelisah dan penyebab kegelisahan itu tidak lain adalah Dira.

Padahal, perempuan itu bukan lah yang pertama mendekatinya. Ada puluhan siswi nekat yang menyatakan cinta pada Raga, mereka juga tidak datang dengan tangan kosong. Cokelat dan sepucuk surat selalu Raga terima. Namun, tidak ada yang menggetarkan jantung Raga seperti Dira yang mengganggu konsentrasinya.

Ya, secara harfiah Dira datang memang bukan untuk menyerahkan hati, melainkan meminta hal yang diluar dugaan. Tentu Raga tidak akan membuang waktu untuk mengajar orang seperti Dira.

Ya, sepertinya.

Menarik napas panjang, berharap itu dapat melepaskan bayangan tentang Dira, ternyata sia-sia. Di depan, Raga melihat seorang siswa-adik kelas sepertinya, terlihat dari kerah baju yang masih kaku-berlari ke arahnya.

"Kak Raga dipanggil Pak Anto ke ruang BK. Sekarang," ujar siswa bertubuh lebih pendek dari anak-anak seusianya.

"Oke," jawab Raga. Ia bergegas menuju ruang guru. Setibanya di sana, Raga langsung dipersilakan duduk oleh Pak Anto.

"Kamu pasti heran karena dipanggil kemari." Pak Anto tertawa ringan. "tenang, kamu ke sini karena membuat masalah, sebaliknya kamu akan menyelesaikan masalah."

Raga tersenyum tipis, ia kebingungan dengan maksud perkataan Pak Anto yang misterius. Walau begitu, Raga tidak menyela dan membiarkan gurunya bercerita.

"Raga, akhir-akhir ini kamu lebih terkenal di sekolah."

"Ya, Pak. Itu kecelakaan," jawab Raga. Namun, Pak Anto menanggapinya dengan tawa. Raga yang tidak tahu harus merespons bagaimana, memilih diam tanpa ekspresi.

"Dira memang anak yang aktif dan punya semangat menggebu." Guru itu menghembuskan napas lelah, seolah pundaknya sedang menanggung banyak beban. "Dira sebenarnya siswi favorit Bapak. Bapak menyukai semangatnya, dia juga ceria dan ramah. Namun, Dira sangat kurang dipelajaran. Motivasi Dira sangat rendah. Bapak khawatir kalau dia tidak mampu menghadapi ujian akhir nanti."

Baiklah, untuk apa Pak Anto menceritakan ini semua pada Raga? Pemuda itu jelas menaruh curiga.

"Dira sudah banyak melindungi siswa di sekolah ini. Dia berusaha membantu semaksimal mungkin. Bapak selalu salut dengan keberaniannya."

Tanpa sadar Raga mengangguk setuju. Cerita tentang Pembela Kebenaran memang sangat tenar di sekolahnya ini. Raga memang tidak begitu tahu kasus-kasus apa saja yang sudah Dira selesaikan, tetapi kebanyakan selalu berakhir baik. Hanya Angel, yang sampai sekarang belum bisa Dira selesaikan. Musuhnya itu terus membuat keributan, hingga membuat Dira kesulitan.

"Maaf, Pak. Kalau boleh bertanya, untuk apa Bapak menceritakan ini semua?"

Sang guru memajukan tubuhnya. "Mungkin ini terdengar sok tahu, tetapi dari watak Dira, Bapak menyimpulkan bahwa penyebab skandal antara kalian berdua adalah karena Dira meminta bantuanmu 'kan, Raga?"

Sebenarnya hubungan apa yang dimiliki oleh Dira dan Pak Anto? Apa Dira mengadu?

"Kamu jangan berpikir yang tidak-tidak, Raga. Bapak hanya menebak dan Dira sama sekali tidak melapor apapun pada Bapak. Saat ini Dira tengah disibukkan dengan belajar. Dira pasti ingin membuktikan bahwa dia lebih pintar daripada kamu," jelas Pak Anto

Ah, Raga juga mendengar itu. Menguping lebih tepatnya.

"Tapi, setelah itu Dira sadar bahwa kamu bukan saingannya. Jadi, dia menginginkan kamu untuk menjadi sekutu."

Raga tampak terlarut dengan pikirannya. Bahkan kini, benaknya menyetujui perkataan Pak Anto. Ah, sial! Ini benar-benar merepotkan. Apa ia benar-benar luluh sekarang?

"Saya akan berusaha, tapi berhasil tidaknya Dira nanti itu bukan urusan saya," putus Raga.

Yah, hitung-hitung sebagai persiapan ulangan. Raga akan mengajar Dira dan mengingat pembelajaran yang lama. Pak Anto tersenyum puas dan mengucapkan terima kasih pada Raga. Sekarang, Dira akan dibantu oleh siswa terbaik di sekolah ini.

"Kalau begitu saya permisi, Pak," ucap Raga mengakhiri pembicaraan mereka.

"Terima kasih, Raga. Bapak sangat senang dengan keputusanmu," balas Pak Anto.

Pemuda itu mengangguk singkat dan pamit pergi. Di luar, matanya mengarah pada lapangan yang diisi oleh beberapa siswa. Pandangannya tak terbaca, kemudian bibirnya tertarik membentuk senyum miring.

Seperti Dira yang mengaku ingin lebih banyak mengenal Raga dengan cara menguntit pemuda itu. Maka, untuk mengetahui bagaimana Dira, Raga akan mencoba cara yang sama.

-•-•-

"Lo nggak lagi ngerjain gue, kan?" tanya Dira. Ia menatap Raga dari atas sampai bawah. Tampan.

Gadis itu menggeleng keras. Apa yang ia pikirkan? Dira berdeham untuk menetralisir rasa aneh di dalam dirinya.

"Sama sekali enggak. Gue nggak punya waktu buat becanda," jawab Raga angkuh.

Pantesan suram, becanda aja nggak suka! Suara dalam batin Dira berkata keras.

"Gue emang nggak bisa janji bikin lo pintar dalam sekejap, tapi gue bisa bantu lo buat ngerti apa yang nggak lo pahami," lanjut Raga. Tawaran itu begitu menggoda Dira. Namun, bukankah ia sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak berurusan dengan Raga lagi?

Tapi, ini tawaran langka. Di tengah kalut pikirannya, Dira merasa tubuhnya ditarik hingga berdiri sangat dekat dengan seseorang. Raga.

"Woi! Kalo mau pacaran jangan di parkiran! Ngalangin jalan. Dasar nggak modal!" seru seorang siswa, Reno namanya. Dira mengerjapkan mata menatap lengannya yang masih dipegang Raga. Oh Tuhan! Pemuda itu baru saja menyelamatkan Dira. Dengan cara yang manis pula.

Ini benar-benar sulit dipercaya!

"Thanks," cicit Dira sambil melepas diri dari Raga.

"Jadi, lo terima apa nggak?"

Pertanyaan Raga terdengar ambigu di telinga Dira. Terima apanya? Ini seolah Raga menyatakan cinta dan menunggu Dira untuk memberi jawaban. Lagi, Dira menggeleng keras guna mengeyahkan pikiran aneh itu.

Dira menarik napas panjang. Sudah diputuskan bahwa ia akan menolak demi harga diri dan-

"Gratis," lanjut Raga. Membuat gadis itu tersenyum lebar dan mengulurkan tangan.

"Deal!" ucapnya lantang. Persetan harga diri! Ini seperti investasi masa depan yang sungguh sayang jika dilewatkan.

Raga menyambut uluran tangan itu dan keduanya bersalaman cukup lama. Jujur saja, awalnya Raga ingin mematok harga, tetapi melihat gelagat Dira seolah ingin menolaknya membuat Raga khawatir dan kata itu keluar begitu saja.

Tak apa, melihat senyum cerah Dira sekarang ... sama sekali tidak membuat Raga merasa menyesal.

-•-•-

Sabtu, 13 November 2021
16:39 WIB






RagathaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang