SEPASANG kaki kecil melangkah riang di kediamannya yang nyaman. Lantai rumah itu dilapisi oleh marmer cokelat muda dan dikelilingi dengan dinding berwarna broken white. Beberapa tanaman hijau segar sengaja ditaruh di setiap sudut guna mempercantik dan menjadikan udara semakin bersih.
Bocah berusia lima tahun itu menggenggam sebuah bola dengan corak hitam putih segi enam di sekelilingnya. Ia memasuki ruang demi ruang untuk menemukan seseorang, tanpa merasa letih karena terlalu antusias.
"Mama!" teriaknya di ambang pintu dapur. Pandangannya tertuju pada seorang wanita dewasa nan anggun yang lincah memainkan pisau dapur. Memotong bawang dan beberapa sayuran.
Wanita itu—Renata, tersenyum lembut kemudian menghentikan segala aktivitasnya dan memusatkan perhatian pada sang putra.
"Ma, ayo kita main bola," ujarnya sembari mengangkat kedua tangan, menunjukkan bola baru yang ayahnya belikan. Suaranya terdengar lucu, membuat siapa saja yang mendengarnya, ingin mencubit pipi gembul itu.
"Raga main sendiri dulu, ya? Selesai masak, Mama bakal nyusul. Gimana?"
Mata yang awalnya berbinar bahagia itu seketika meredup bersamaan dengan bahu melemas akibat kecewa. Raga menunduk dengan bibir mengerucut.
Namun, mendung pada diri bocah itu sirna ketika Renata berkata, "Mama janji, setelah ini Mama akan ikut kamu main."
"Janji ya, Ma?"
Renata mengangguk dan tersenyum semakin lebar. "Iya, Mama janji."
Kekecewaan anak laki-laki itu menghilang sepenuhnya. Ia tahu bahwa sang ibu tidak akan mengingkari janji. Dengan keyakinan itu, Raga berbalik dan mulai bermain di ruang santai keluarga.
Raga tidak bisa bermain di luar karena sedang hujan. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat Raga. Bahkan sekarang bolanya semakin bergerak liar. Ia menendang, memukul, bahkan melempar bola tersebut. Sejujurnya bocah itu mulai merasa kewalahan. Dengan kaki kecilnya, Raga berlari berusaha mengejar bola.
Benda bulat itu menggelinding hingga masuk ke salah satu ruang-oh, celaka! Ini ruang terlarang bagi Raga. Pintunya yang setelah terbuka, memudahkan bola itu menggelinding masuk ke ruang kerja ayahnya.
Raga membulatkan matanya panik. Ia mengintip dengan menolehkan kepalanya ke dalam, lalu menatap nanar bola yang berhenti dekat sofa single di ujung ruangan. Seorang pria di dalam sana belum menyadari kehadiran Raga dan masalah yang ia perbuat.
Ia duduk di balik meja kayu kokoh dan besar. Kepalanya tertunduk, keningnya sesekali mengernyit dalam, lalu jemarinya memainkan bolpoin di atas kertas.
Raga tidak mungkin mengganggu pria yang dipanggilnya dengan sebutan Papa. Apalagi, sang ibu sudah pernah memperingati. Bocah itu berbalik hendak melarikan diri, tetapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara berat yang sangat ia kenali.
"Raga," panggil ayahnya-Rasyid-dengan nada tak yakin.
Tubuh kecil itu seketika menegang. Tak ada pilihan lain, selain mengakui kesalahan. Raga memenuhi panggilan Rasyid dengan kepala tertunduk. Walau begitu, ia masih bisa melihat bola yang semula di lantai telah berakhir di tangan kanan ayahnya.
"Ini bola punya Raga, kan?"
Bocah itu mengangguk dengan sedikit takut. Rasyid adalah sosok yang bijaksana, tegas dan juga berprinsip. Dia tidak selalu memanjakan Raga. Jika putranya bersalah, maka Rasyid akan memberinya pengertian atau terkadang sebuah hukuman ringan.
"Ma-maaf, Pa. Raga nggak pengin ganggu Papa kerja. Bolanya masuk sendiri tadi," ungkap bocah itu tanpa dibuat-buat. Polos dan murni.
"Kamu main bola di dalam rumah?" tanya Rasyid tenang, tanpa terselip nada kemarahan. Ia berlutut untuk menyamakan tingginya dengan Raga.
Raga memberanikan diri untuk mendongak, menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Lalu, ia menunjuk jendela yang ada di ruangan itu.
"Di luar hujan, Pa," belanya. Rasyid ikut mengarahkan mata ke jendela. Saking fokusnya bekerja, Rasyid tidak menyadari bahwa air dari langit sedang menyerbu Bumi. Kalau saja matanya tidak sengaja menangkap potret benda bundar yang ia berikan pada Raga sebelumnya, maka Rasyid tidak akan lepas dari pekerjaan hingga selesai.
"Papa nggak marah, kan? Raga beneran nggak sengaja," sesal bocah itu. Bahunya bergetar ringan dan pipinya basah oleh air mata.
Melihat hal itu, segera Rasyid merengkuh Raga dalam pelukannya. Raga menangis tersedu-sedu setelah merasakan usapan lembut di punggungnya. Seolah itu akan menenangkan segala kekhawatiran yang bergelayut di dada.
"Seharusnya Papa yang minta maaf." Raga mengerjap bingung, tidak terlalu mengerti maksud ucapan ayahnya. Pria dewasa itu melepaskan pelukan, kemudian menghapus jejak air mata di pipi Raga.
"Ini hari libur, tapi Papa malah sibuk kerja dan bukannya main sama kamu."
Rasyid bukan lah seorang workaholic. Ia memiliki keluarga yang butuh perhatiannya. Pria itu hanya akan membawa pekerjaan ke rumah jika mendesak dan darurat saja.
Penyesalan Rasyid terlihat jelas di matanya. Rasa takut dan khawatir yang sebelumnya hinggap pada diri Raga berangsur menghilang. Ayahnya tidak marah. Malah menyarankan sesuatu yang membuat perasaan Raga membuncah.
"Papa bakal main sama Raga, tapi bukan bola. Kita main yang lain. Raga mau main apa?"
Raga mengerutkan kening sedang berpikir. Lalu, ia tersenyum lebar dan berkata, "Susun gambar, Pa. Apa ya, namanya? Raga lupa." Ia tertawa kecil diakhir kalimat.
"Puzzle?" tebak Rasyid yang langsung mendapat anggukan semangat dari putranya. Rasyid tersenyum sekali lagi, sambil mengambil jemari mungil Raga untuk ia genggam. Membawanya keluar ruangan.
Raga terlihat sangat bersemangat mengeluarkan potongan-potongan puzzle hingga menyebar di lantai. Baik Raga ataupun Rasyid tampak serius dengan apa yang mereka kerjakan.
Sesekali mereka akan berdecak kesal karena kesulitan menyatukan potongan puzzle, walau begitu mereka tidak menyerah dan berkonsentrasi penuh. Raga kecil juga mengerahkan seluruh tenaga dan pikiran untuk menyelesaikan puzzle tersebut.
Dari arah dapur, terlihat Renata membawa piring berisi camilan. Renata berusaha menahan tawa kala melihat Raga dan suaminya yang bersungguh-sungguh menyatukan berbagai potongan abstrak itu. Seolah-olah jika mereka gagal, maka akan terjadi masalah yang besar.
Dua laki-laki berbeda usia itu berseru puas ketika puzzle sudah tersusun secara sempurna. Lalu, saling bertos ria merayakan keberhasilan mereka. Rasyid juga mengelus lembut rambut sang putra, merasa bangga atas kecerdasan Raga.
Bocah itu juga memamerkan hasil kerja kerasnya pada Renata. Wanita itu tersenyum haru melihat kekompakan anak dan ayah yang amat disayanginya.
Tak pernah sedikit pun terbesit pikiran bahwa di masa depan, Rasyid dan Raga akan bertingkah dingin layaknya orang asing.
—•—•—

KAMU SEDANG MEMBACA
Ragatha
Fiksi RemajaKeputusan ayahnya menikah lagi disaat sang ibu belum lama meninggal, membuat Raga kecewa sekaligus tidak menyangka. Hubungan ayah dan anak itu pun merenggang, hingga berpisah tempat tinggal. Di tengah kekacauan yang Raga rasakan, perempuan aneh bern...