21. Renggang

8 2 0
                                    

Tidak ada senyum yang terbit di bibir Dira ketika sang kakak membawa perempuan yang mengaku sebagai kekasihnya ke rumah mereka. El benar-benar menepati janji, mencoba mendekatkan Dira pada sang pujaan hati. Namun, seharusnya El juga tahu, bahwa Dira tidak akan mudah menerimanya.

"Ra, Abang yang bakal cuci piring, kalian berdua ngobrol aja di ruang keluarga," ujar El setelah memastikan dua perempuan yang paling ia sayang telah selesai menikmati makanan. Tanpa menunggu persetujuan, El bangkit dan merapikan piring kotor di atas meja, lalu membawanya ke wastafel.

Dira juga turut berdiri, ia sudah sangat ingin melarikan diri dari situasi yang memuakkan ini. Jujur saja, Dira belum siap. Ketika mereka tengah menikmati makan malam, diam-diam Dira memerhatikan tingkah laku dan perhatikan kecil yang El berikan pada sang kekasih bernama Vania.

Gadis itu sudah ingin berbelok menuju kamarnya, tetapi Vania lebih dulu menahan lengan Dira sambil berkata, "Bukannya kita disuruh menunggu di ruang keluarga? Kamu mau ke mana?"

Dengan malas, Dira menoleh. Tatapannya tampak dingin dan penuh permusuhan, tetapi Vania seolah tak peduli. Ia masih memasang wajah polos nan manis. Dira mendengus kesal. Untuk apa wanita itu berpura-pura? Padahal Dira sudah mengetahui semua sifat buruknya.

"Ngerjain pr yang harus dikumpul besok."

Kemudian, Dira melepas paksa pegangan wanita itu. Melangkah cepat menuju kamarnya. Di dalam, ia langsung mencari ponsel pintarnya dan menghubungi Fera. Tidak sampai lima detik, Fera mengangkat teleponnya.

"Halo, Ra?"

"Fer, gue nginep rumah lo ya, malam ini?"

Cukup lama Fera diam. Sedangkan Dira, mulai mengambil tas sekolah, mengisinya dengan seragam yang akan ia kenakan besok dan buku pelajaran untuk besok. Tak lupa, Dira juga mengenakan jaket untuk melindungi tubuhnya dari dinginnya hawa malam ini.

"Oke, lo boleh dateng. Gue bakal dengerin semuanya. Lo tenang aja."

"Makasih, Fer."

Setelah memastikan semuanya beres dan tidak ada yang tertinggal. Dira keluar kamar dan menemukan sang kakak berdiri di ambang pintu—mungkin ingin memanggil Dira, tetapi gadis itu keluar lebih dulu.

"Kamu mau ke mana, malam-malam begini?" tanya El.

"Ke rumah teman."

"Fera?"

Dira tak lagi membalas dan memutuskan untuk berjalan lebih dulu. El berada di belakangnya dan tak berhenti bertanya. Sepertinya pria itu sudah ada di ambang batas kesabaran. Ia menarik bahu Dira agar berhenti dan menghadapnya. Kebetulan sekali mereka berhenti tepat di ruang keluarga, otomatis Vania akan menjadi saksi hidup atas pertengkaran antara Dira dan El.

"Dira, kamu kenapa sih, sebenarnya? Kamu ada masalah? Kamu cerita sama Abang, bukan malah keluar rumah tanpa pamitan kayak sekarang," hardik El sedikit membungkuk untuk menyesuaikan tingginya dengan sang adik.

"Enggak kok, aku cuma mau kasih Abang kesempatan berduaan tanpa orang ketiga, tanpa gangguan. Biar Abang lebih leluasa. Bukannya seharusnya Abang seneng?" sarkas Dira dengan senyum yang memuakkan.

El terlihat menutup mata sambil menarik napas panjang dan menghembuskannya kesal. "Ra, tolong jaga sikap kamu, Abang nggak pernah ngajarin kamu begini."

Gadis itu tertawa sinis, matanya tampak berkaca-kaca. "Terserah, aku nggak peduli!"

Dira sudah melepaskan cengkeraman sang kakak dari bahunya. Namun, El tidak menyerah. Ia menarik lengan Dira dan membawanya untuk duduk di salah satu sofa. Gadis itu sudah mengerahkan seluruh tenaga untuk memberontak, tetapi itu sama sekali tidak cukup menahan El yang semakin menyeramkan ketika marah.

"Abang tahu kamu marah sama Abang. Tapi, nggak gini Dira. Kita bisa bicarakan ini baik-baik."

"Yang bener aja Bang, semenjak Abang bawa perempuan itu ke rumah ini tanpa ngomong sama aku lebih dulu, Abang udah bikin aku muak. Aku sadar, aku nggak berhak atas Abang, begitu juga sebaliknya," cecar Dira dengan napas terengah dan air mata yang mengalir tanpa ia sadari.

"Dira!" teriak El sama sekali tak setuju atas pendapat Dira.

"Kenapa? Bukannya aku bener? Sekarang aku bebasin Abang. Abang bisa sama siapa aja. Nggak usah repot-repot kenalin ke aku segala. Karena pendapatku sama sekali nggak berarti buat Abang."

Gadis itu berdiri. Hatinya kini sangat sakit. Namun, ia bertekad untuk tidak menangis. Ia benar-benar akan membiarkan sang kakak bebas mencari kebahagiaannya sendiri. Tak apa jika ia sendiri, setidaknya El kini telah bersuka cita atas pilihannya.

Memang benar tindakan yang ia lakukan tidak lebih bijak dari seorang bocah yang merajuk karena miliknya direbut oleh orang lain. Dira tidak bisa memaksa seseorang untuk mengerti ketakutan yang ia rasa. Dira tidak ingin ditinggalkan. Dira tidak ingin dibuang suatu saat oleh sang kakak.

Dira bukan adik yang baik. Dira tidak bisa menyembunyikan kecemburuan konyolnya nanti.

Menjauh sedikit demi sedikit dari El adalah jalan terbaik yang bisa Dira pikiran saat ini.

—•—•—

Bahu kecil terus-terusan bergetar. Isak tangisnya terdengar memilukan. Kini, ia tengah berada di atas ranjang bersama Fera. Sahabatnya itu mencoba untuk terus menenangkannya. Fera juga tidak bertanya apa pun, karena yang Dira butuhkan saat ini hanya lah ketenangan.

"Fer, sekarang gue sendirian. Nggak akan butuh waktu lama buat Abang buang gue dalam hidupnya," lirih Dira.

"Gue di sini, nggak bakal tinggalin lo, Ra," kata Fera yang bukan hanya bertujuan untuk menenangkan Dira, tetapi juga janji yang akan ia ingat sampai mati. Dira adalah teman terbaik yang Fera punya.

Dira tidak menjawab, hanya tangisnya yang semakin keras. Fera jelas tidak memermasalahkan itu. Dira bebas mengekspresikan kesakitan.

"Ra, gue percaya banget ama lo. Tapi, gue yakin Bang El nggak akan ninggalin lo karna dia sayang lo, Ra."

Gadis itu menoleh dan menggeleng. "Sekarang, iya. Tapi nanti, ketika Abang udah menjadikan pasangannya sebagai prioritas dan pacarnya Abang nggak suka gue—"

"Stt, itu cuma pikiran lo aja, Ra. Jangan bebankan otak lo sama hal-hal negatif," potong Fera karena ia tak sanggup jika harus memikirkan apa yang Dira katakan, terjadi di masa depan.

"Mending kita tidur sekarang, kita harus sekolah besok. Gimana?"

Dira menganggukkan kepala pasrah. Fera mematikan lampu dan menarik selimut untuk dirinya sendiri juga Dira. Sebelum tidur, Dira memberanikan diri untuk mengecek gawainya dan apa yang ia temukan?

Tidak ada. Tidak ada satu pun pesan atau panggilan dari El. Ini seperti menjelaskan seberapa tidak pentingnya Dira dalam hidup sang kakak.

—•—•—

Jumat, 21 Januari 2022
20.00 WIB

RagathaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang