21•

16 4 0
                                    

Yuta menjemput Ana dan Chandra dengan menggunakan mobil. Ana yang juga sangat lelah dibuat bingung dengan keadaan. Saat bertanya kepada Chandra, adiknya itu hanya diam membisu. Matanya merah seperti orang menahan tangis. Apa yang terjadi? Batin Ana bertanya.

"Mah, kita pamit ya," Chandra pamit kepada sang Mama.

"Mama gak perlu ikut?" Mama bertanya, Ana hanya menatap semua orang dengan bingung. Apa yang disembunyikan.

"Gak usah mah, Mama disini aja. Nanti kita kabarin lagi," setelahnya, mereka pergi menaiki mobil dan melaju kearah tujuan.

Ana duduk di kursi samping Yuta. Ingin hati bertanya kepada Yuta apa yang terjadi, tapi takut membuat Yuta tidak fokus. Akhirnya, Ana hanya diam, menatap jalan dan langit untuk Ia pikirkan.

Mereka telah sampai di Rumah Sakit Harapan. Ana bingung, kenapa harus rumah sakit. Setelahnya, tangan Ana digenggam dengan erat oleh Yuta dan mereka berlari. Kini mereka telah sampai di ruang IGD.

"Yuta, ada apa sih?" Ana memberanikan diri bertanya kepada Yuta. Tangan Ana malah di genggam lebih erat oleh Yuta. Perasaan ana tidak enak, seperti ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Semua teman-temannya ada, dan mereka terlihat menangis. Semua ada kecuali, Hakim.

"Wali dari saudara Hakim?" Semua orang menengok ke arah pintu IGD yang menampilkan perawat disana.

"Orang tuanya kabur, Sus," ucap Mark kepada perawat.

"Lalu siapa wali nya?" Perawat itu kembali bertanya. Pasalnya, semua yang ada disana kelihatan masih muda dan seperti anak sekolah.

"Saya Sus bisa jadi walinya," Johnny angkat bicara.

"Baik silahkan masuk untuk menemani pasien," Johnny masuk mengikuti perawat itu. Semua orang ketar ketir.

"Kenapa bisa Hakim masuk rumah sakit?" Ana bertanya dengan nada yang lemah. Dia sudah letih baru pulang dari luar kota dan mendapati sebuah kenyataan yang tidak baik.

"Mba, aku bakal cerita kenapa Hakim bisa masuk ke rumah sakit," Rendy menghela napas terlebih dahulu. Dia menetralkan degup jantungnya. "Jadi, Hakim nelepon aku dan nyuruh aku buat datang kerumahnya. Nada Hakim benar-benar seperti orang kesakitan dan merintih. Aku buru-buru datang kerumahnya dan ngeliat Hakim udah pingsan dengan wajah yang penuh dengan tonjokkan dan bibir yang udah robek. Aku panik dan nelepon Bang Tama buat dateng kerumah Hakim. Bang Tama Dateng kita langsung bawa Hakim kerumah sakit ini," Rendy bercerita dengan menahan tangis. Dia masih ingat bagaimana Hakim terkujur lemah saat dirinya tiba.

"Jangan bilang kalau papahnya lagi yang ngelakuin itu," Jeno mengatakan dengan nada yakin.

Tak lama, dokter dan perawat keluar. Suara tangis seseorang terdengar jelas ditelinga semua orang disana. Firasat mereka mengatakan hal buruk sudah terjadi. Buru-buru mereka masuk dan tepat, mereka mendapati Johnny yang sudah nangis tak karuan dengan mendekap Hakim didalamnya.

"I..ini gak mungkin kan? I...ni pasti boongan. G...gak mungkin Hakim pergi, dia itu kuat. Gak, gak, gak. Hakim gak meninggal. Kalian gak boleh nangis. Hakim gak meninggal. Dia cuma lagi cape. John, jangan hiperbola. Lu gak boleh buat Hakim jadi gini," Ana menahan tangis. Tidak mungkin seorang Hakim yang selalu membuat suasana bahagia pergi.

Savana dan Tamara langsung memeluk Ana. Dia tidak tega melihat Ana yang menahan tangis dan tidak percaya bahwa Hakim sudah tiada. Mereka yang disana juga tidak percaya, tapi Tuhan lebih sayang Hakim. Ia dengan mudah membawa Hakim mereka untuk bertemu dengan-Nya tanpa pamit dan tidak melanjutkan cita-cita nya.

"Ana, gak boleh nahan tangis. Keluarin aja, sakit tenggorokan lu kalau ditahan. Hiks... Ana jangan kaya gini, lu harus ikhlas. Lu kuat Ana hiks..." Tamara tidak tega melihat Ana seperti ini.

Teman-teman Hakim menangis, sedangkan teman-teman Yuta tidak. Mereka tidak boleh menangis, mereka menenangkan Chandra dan kawan-kawan serta menguatkan mereka. Tiba-tiba, Johnny berdiri dan keluar dari ruangan itu. Tama yang mengetahui bagaimana perangai Johnny ikut keluar.

"Cepat kalian cari keluarga Hakim dan tangkap mereka. Jangan di siksa biar mereka masuk kedalam penjara dan mati disana,"  yang dapat Tama lihat adalah, Rahang Johnny mengeras dengan wajah yang tak bersahabat.

"John, jangan terlalu gegabah. Kita harus urus pemakaman Hakim baru kita selesai in masalah ini. Kita minta bantuan Mama Ana dan Bunda," Tama menenangkan Johnny dan menelpon Bunda untuk meminta bantuan. Tentu, Bunda kaget dan menangis saat mengetahui itu.

"Gak ada orang tua sebangsat mereka. Mereka harus dihukum mati. Nyawa dibalas nyawa," jika sudah seperti ini, tidak ada yang bisa melawan Johnny sekalipun itu Savana.

••|••

Mama dan Bunda sudah sampai dirumah Hakim. Rumah itu kosong dan mereka menemukan darah yang sudah mengering di ruang tamu. Kemudian mereka memberesi rumah itu dan menata agar pelayat mudah untuk duduk.

Mama menagis di dalam pelukan Bunda. Bagaimanapun, Hakim sudah seperti anaknya sendiri. Dia tidak menyangka Hakim akan pergi lebih dulu dari mereka semua. Tak lama, ambulance datang dengan diiringi Teman-teman Hakim. Ya, hari sudah malam, dan mereka tidak akan pergi. Mereka akan menjaga Hakim untuk terakhir kali.

"Ana, minum dulu. Kamu pucat. Jangan kaya gini, Hakim gak akan tenang disana," Yuta menyodorkan air botol kepada Ana. Sejak tiba dirumah itu, Ana seperti patung yang diam membisu dengan wajah pucat dan tak ada semangat hidup.

"Ana diminum sayang. Kamu harus kuat atau Hakim sedih karena dia, kamu jadi kaya gini," Bunda ikut turun tangan. Ana hanya menatap minuman itu dan menatap Hakim yang sudah kaku dengan ruh yang dibawa pergi oleh malaikat kematian.

Ana kembali menangis saat melihat tubuh Hakim. Terdapat banyak luka lebam, rasanya seperti bukan manusia yang tinggal dirumah ini. Bagaimana bisa seorang Ayah membunuh anaknya dengan tangannya sendiri.

Mama yang melihat putrinya seperti patung segera memeluk Ana. Tidak tega dan tidak kuat melihat putrinya sesedih ini. Mama tau, jika Ana menganggap Hakim adalah adiknya karena apapun yang Ana katakan, Hakim akan mendengar dan menjalankannya.

Karena terpaksa, Ana meminum air botol yang diberikan Yuta kepadanya. "Terimakasih," hanya itu ucapan yang keluar dari mulut Ana. Dan selebihnya Ana diam membisu.

••|••

Pagi ini, suasana suram dan sedih. Para pelayat sudah berdatangan. Semua teman-teman Hakim menjamu para pelayat. Beberapa orang yang mengetahui bagaimana sikap Hakim yang mudah tersenyum tidak menyangka dengan ini. Mereka turut sedih akan kepergian si pembuat kebahagiaan itu.

Savana sedang membujuk Johnny agar tetap tenang. Dia tidak ingin Johnny seperti ini. Jujur, Savana takut dengan aura Johnny hari ini, tapi ia tak boleh gentar dengan rasa takut itu. Sebisa mungkin Savana menenangkan Johnny. Mengajak nya bicara dan hanya di balas dengan diam. Savana tau, Johnny menganggap Hakim sebagai sahabat sekaligus adik, karena Johnny tidak memiliki adik. Suara handphone Johnny berbunyi. Ia mengangkat dan tersenyum penuh.

"Bagus, jangan dibawa ke polisi. Tetap disana dan saya akan kesana," Johnny menyeringai dan menjauh dari Savana. Johnny mendekat kearah barisan para temannya dan memberikan kabar itu. Mereka yang tau langsung geram dan pergi dari rumah duka.

[✓] NAYUTA || YutaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang