🌼 Anda Siapa? 🌼

856 145 43
                                    

Tolong tandai jika ada tipo^^

Tolong tandai jika ada tipo^^

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tidak semua temu melulu soal bicara dan saling sapa, ada kalanya tentang tragedi tak terduga yang bikin sakit kepala."

•••

    Mobil Fiat 1200 yang masih mulus no minus itu membelah jalan Djogjakara yang penuh sejarah. Jalan yang kanan-kirinya diapit oleh ratusan bangunan-yang didominasi oleh tiga jenis gaya arsitektur bangunan. Gaya arsitektur yang telah menjadi ciri khas Kota Djogjakara, yakni Arsitektur Jawa, Arsitektur Kolonial atau Indische, dan Arsitektur China.

      Arsitektur Jawa merupakan Arsitektur lokal di mana dulunya Djogjakara adalah Kerajaan Mataram Jawa yang bangunannya memilik gaya arsitektur khas. Arsitektur Indis muncul ketika masuknya Penjajah Kolonial Belanda ke Indonesia dengan membawa budaya dan gaya arsitektur bergaya Eropa. Arsitektur China sendiri muncul bersamaan dengan masuknya orang China melalui jalur perdagangan ke Indonesia.

      Ketiga ciri khas bangunan itu masih mendominasi tiap-tiap sudut kota, tidak pernah hilang meski bangunannya berkali-kali direnovasi. Hal itu jelas membuat siapa saja mudah jatuh cinta kepada Djogjakara hanya karena melihat arsitekturnya yang kental akan zaman penjajahan dan menjadikan Djogjakara tampak klasik di era modern seperti saat ini.

      Sejak mobilnya memasuki kota delapan jam yang lalu, lelaki dengan kemeja biru navy dan kacamata hitam itu tidak henti-hentinya berdecak. Maklum, di Djakartha, kota yang baru saja dia tinggalkan, tidak ada bangunan seperti ini. Ada, sih. Hanya beberapa. Itu saja diapit gedung-gedung tinggi atau perumahan padat penduduk. Meski dia tahu Djogjakara juga merupakan tempat padat penduduk, tetapi tetap saja kalah jauh dengan kepadatan Djakartha yang jumlah penduduknya membeludak. Kepadatannya disinyalir karena terdapat banyak penduduk yang berdatangan dari luar kota untuk mencari pekerjaan di sana. Sampai-sampai, banyak sekali orang yang tidur di kolong jembatan dan tempat tidak layak huni. Entah karena krisis ekonomi atau cita-cita sukses merantaunya yang tidak tercapai.

      Ada rasa syukur saat tahu papanya dipindah tugaskan ke kota bersejarah seperti Djogjakara, bukan ke pedalaman atau kota metropolitan seperti Djakartha. Mending kalau ke pedalaman, dia bisa menatap alam dan segala keindahannya tiap membuka pintu rumah, lah kalau ke kota metropolitan seperti Djakartha? Bisa-bisa dia mati kebosanan, tercekik polusi, atau terhalang ratusan kuda besi tiap hendak berangkat sekolah. Itu akan menambah kemalasannya bangun tidur di pagi hari.

     Lelaki itu menjalankan mobilnya perlahan, menikmati sepoi-sepoi angin yang membelai wajah dan anak rambutnya. Matanya mengedar, memotret tiap hal menarik yang bisa dia lihat dengan matanya sendiri.

Tring!

Tring!

Tring!

Do Our Game (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang