Ipar Kok Gitu ... ?

132 21 9
                                    

Kutatap wajan berisi opor ayam itu dengan puas, aromanya harum dan rasanya pun enak. Bumbu warisan dari mamaku yang selalu jadi andalan di saat acara keluarga seperti ini. Bahkan si sulung yang asyik belajar menyempatkan melongok ke dapur karena aromanya sudah menguar ke segala penjuru rumah.

"Ayo Ma, cepat siapkan opornya. Ibu pasti sudah menunggu." Suamiku bergegas memanaskan mobil di garasi.

Aku menyiapkan satu wadah besar utuk opor ayam yang kumasak dan akan kubawa ke rumah ibu mertua yang sedang berulang tahun hari ini. Dari tiga menantunya mungkin hanya aku yang jarang membawa hasil masakanku sendiri, jika harus membawa buah tangan aku lebih suka membeli hasil karya teman-teman baik itu kue ataupun masakan matang.

Sesampainya di rumah ibu mertua segera kuletakkan wadah itu di dapur bersama masakan yang telah dibuat oleh istri dari abang ipar yang kebetulan tinggal bersama dengan ibu mertua. Setelah itu aku bergabung bersama dengan anggota keluarga lain di ruang keluarga.

Tiba saat makan siang aku segera menuju ke dapur untuk membantu menyiapkan segala sesuatunya. Aku mencari-cari di mana opor ayam yang kubawa tadi, tapi tidak juga kelihatan. Segan rasanya mencari hingga ke lemari karena ini bukan dapurku sendiri, jadi aku bertanya pada Mbak Yayu istri Bang Ali yang memang tinggal di situ.

"Oh, opor ayam tadi yang bawa kamu? Kusimpan dulu. Masakanku di meja sudah banyak, nanti mubazir nggak kemakan." Jawabnya sambil berlalu meninggalkanku di dapur.

Deg! Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang menyentak di dasar hati, terus membelit dan membuat dadaku sesak. Dan rasa itu terus naik hingga kerongkongan yang terasa kering, berlanjut ke mataku yang seketika dipenuhi air.

Aku cepat-cepat menahan buliran airmata yang siap mengalir. Semua anak dan cucu telah kumpul di ruang makan dan riuh kedengaran dari dapur, beruntung mereka tidak sadar kehilangan satu anggotanya yang sekarang tengah galau di dapur.

Suamiku juga asyik bercengkrama dengan ibunya, bahkan pada saat makan. Kakak sulung suamiku yang memang menjadi ikon keluarga besar ini sibuk memuji masakan Mbak Yayu di depan semua orang, bahkan para abang ipar juga menyantap lahap semua hasil masakannya. Hanya putra Mbak Yayu yang bernama Fahmi tak mau menyentuh apapun di meja makan selain gawai di tangannya.

Anak sulungku Kirana seolah memahami perasaan mamanya, ia merapat terus padaku sembari berbisik bertanya ada apa. Aku bercerita singkat dan tetap tersenyum padanya dan ia hanya balik memandang budenya dengan tatapan yang penuh kekecewaan. Hingga tiba waktu kami berpamitan, semua bahasan hanya pada masakan Mbak Yayu yang lezat.

Di perjalanan pulang aku tak banyak bicara hingga Kirana angkat suara dengan kesal.

"Pah, aku masih lapar."

"Loh bukannya tadi sudah makan di rumah Nenek?" suamiku menyahut memandang kaca spion belakang mencari wajah putrinya.

"Semua masakan Bude kan pedas, aku nggak suka."

"Opor ayamnya mama?"

"Sama Bude nggak dikeluarin, memang Papa nggak sadar ya?" putriku makin kesal.

Suamiku spontan meraih wajahku yang tertunduk diam sejak tadi, sepertinya dia baru menyadari situasi yang ada. Dengan lembut ia mengelus pundakku dan tersenyum.

"Aku tadi sempat berbisik ke Ibu, kalau istriku masak kali ini. Ibu bilang, dia sudah nggak selera dengan masakan pedas. Jadi pasti Ibu cari masakanmu, Ma." Ujarnya menenangkan.

Aku tetap diam dan memandang ke luar jendela, entah kesedihan macam apa ini tetapi rasanya belum ada obat penawar.

Menjelang isya aku menyiapkan makan malam sederhana, karena anak bontotku baru saja pulang berkemah dan ia memintaku membuat salad sayur kesukaannya. Sedang sibuk-sibuknya mengolah sayuran ponselku terus berdenting, sepertinya pesan dari Whatsapp.

[Aisyah, opor ayammu jadi favorit Ibu dan Fahmi. Anak itu sejak pagi nggak mau makan karena masakan bundanya semua pedas, untung suamimu bilang kamu masak opor. Ibu suka. Terima kasih ya menantuku, sering-sering masak biar Ibu sering icip-icip.]

Dan rasanya ada yang bobol di hatiku, bendungan kepedihan akan sikap dan kata-kata Mbak Yayu seolah sirna dan lebur bersama air mata haru. Aku mengusap air mata yang kadung mengalir di pipi, sebelum jatuh ke mangkuk salad. Di dalam hatiku bertambah sayangku pada sosok ibu keduaku itu.

Tidak penting penilaian seorang manusia dibandingkan penilaian Allah padamu, tiba-tiba aku teringat kalimat seorang ustadz yang kudengar tempo hari. Ah Aisyah, jangan mudah baperan. Kurasa saat ini suamiku pun sedang mengintai istrinya dari balik tembok dapur, senyam-senyum dan mulai berangsur lega sepertiku.

------------------- oOo ------------------------- 

LIVE zaman NOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang