Pesugihan

14 4 1
                                        

Tatapan sinis para tetangga mulai ditelan penuh dilema oleh Bu Sastro siang ini. Bagaimana tidak, mobil dengan kap terbuka itu membawa televisi dengan ukuran empat puluh inci merek ternama dan juga sebuah mesin cuci satu tabung bukaan atas. Berhenti persis di depan pagar rumah tipe 36 miliknya dan mulai mengangkut barang-barang itu ke dalam rumah.

"Randu, ini barang-barang siapa?"

"Ya barang kita toh, Bu. Kenapa memangnya?" mata indah itu memandang Bu Sastro dengan heran.

"Kamu beneran beli ini pake uangmu sendiri, Nak?"

"Ya Allah, Ibu. Masa Randu mencuri atau merampok?"

"Ibu kan cuma tanya. Itu para tetangga pada ngeliatin rumah kita." Jawab Bu Sastro sembari mengintip dari balik tirai jendela.

Randu bergerak ke arah pintu depan yang dengan cepat ditahan oleh ibunya. Bu Sastro hanya menggeleng menahan langkah Randu yang hendak keluar, menghampiri para tetangga yang usil dan penasaran.

***

Mata Bu Dewi mengamati Bu Sastro dari ujung jilbabnya hingga ujung kaki. Perhatiannya tertuju pada sebuah cincin yang bertengger anggun di jemari wanita itu, ikatannya tidak terlalu besar dan juga tidak mencolok tetapi Bu Dewi mengenali sesuatu yang tak biasa pada tetangganya yang biasa-biasa saja.

"Cincin baru, Bu Sas. Pasti mahal itu ya?"

Bu Sastro tak lantas menjawab, ia hanya menelan ludah mengatasi hatinya yang gundah. Memandang sekeliling dimana ibu-ibu lainnya jadi ikut menoleh kearahnya begitu pun dengan Alimin si tukang sayur keliling.

"Sa – saya nggak tahu harganya Jeng Dewi. Randu yang membelinya, katanya untuk hadiah ulang tahun saya." Bu Sastro tampak salah tingkah menanggapi pandangan tetangganya itu ke arahnya.

Bu Sastro mengambil sayur dan beberapa bumbu lalu langsung membayar, berpamitan pada tetangga dengan tergesa lalu berbalik menuju rumahnya dengan langkah seperti dikejar sesuatu. Sesampainya di depan pagar ia mencoba menoleh ke belakang, Bu Dewi dan ibu-ibu lainnya masih berbisik-bisik kearahnya. Ia menghempaskan pintu pagar dengan kesal.

Ia memandangi Randu yang masih tidur di jam delapan pagi, ia tahu anak satu-satunya itu sibuk bekerja di depan layar komputer dan entah apa yang dikerjakannya hingga dini hari. Randu menunaikan subuhnya lalu merangkak ke tempat tidur dengan wajah yang kuyu.

Rasanya tak tega bertanya ini dan itu pada Randu yang sudah lelah, jadi Bu Sastro hanya memandangi isi rumahnya yang kini semakin lengkap. Peralatan untuk usaha kuenya telah dilengkapi oleh Randu, mixer baru, oven baru bahkan kardus-kardus kemasan untuk para pelanggan juga disiapkan putranya itu pada model terkini.

Sofa tempatnya menonton televisi di kala lelah juga berganti dengan busa yang lebih empuk. Tetapi entah mengapa di hatinya terasa kegalauan yang semakin hari semakin memuncak. Bagaimana tidak, para tetangga meragukan dari mana Randu dan dirinya mendapatkan uang. Mereka menggosipkan ini dan itu di belakang punggungnya, Bu Sastro hanya seorang penjual kue-kue pesanan orang dan Randu ... tak pernah terlihat bekerja di kantoran seperti para tetangga kebanyakan.

Walau begitu ia tahu, Randu tak mungkin melakukan sesuatu yang menyangkut kriminal. Ibadahnya selalu tepat waktu dan ia begitu patuh pada ibunya, semua hanya tentang waktu. Bu Sastro akan segera bertanya pada Randu dengan detail.

***

Riuh suara gedoran pada pagar rumahnya yang tak seberapa tinggi, pagi itu seperti biasa Randu masih tertidur dengan lelap dan Bu Sastro masih memanggang kue kering pesanan Nyonya Abas langganannya.

"Ada apa sih di depan Bu?" Randu dengan muka bantalnya menilik ibunya yang keluar tergopoh-gopoh dari dapur.

"Nggak tahu, coba kamu liat sana. Kayanya banyak orang di depan rumah kita ya?" tanyanya cemas.

Randu segera membuka pintu, wajahnya melongo melihat begitu banyak orang di depan rumahnya dan berteriak-teriak bagai orang demo. Ia menoleh pada Pak RT yang bersama dua orang hansip menjadi pagar hidup melindungi rumahnya.

"Ada apa ini, Pak?" tanya Randu menghampiri Pak RT.

"Mas Randu, bisa kita bicara sebentar?" Pak RT menoleh panik. Randu hanya mengangguk.

"Saya juga mau bicara sama dia!" teriak seorang wanita dari kerumunan itu, yang ternyata adalah Bu Dewi.

Randu membuka pintu pagarnya dan mereka akhirnya duduk bersama di ruang tamu.

"Lihat nih Pak RT, sofa baru, mesin cuci dan televisi juga baru. Itu saya liat ranjang Bu Sas juga sudah ganti dari yang lama." Cerocos Bu Dewi begitu memasuki rumah Bu Sastro.

Bu Sastro dan Randu hanya berpandangan bingung, lelaki berusia tiga puluh tahun itu hanya merangkul ibunya dengan erat.

"Mas Randu, saya langsung aja ya. Ini para warga diajak Bu Dewi kesini, katanya Mas Randu piara pesugihan. Apa benar begitu, Mas?"

"Astaghfirullah," Bu Sastro dan Randu berucap berbarengan.

"Halah! Pake ditanya. Maling mana ada yang ngaku! Suruh mereka angkat kaki dari sini, bikin malu, bikin resah!" teriak Bu Dewi lantang.

"Dia iniiii, pengangguran. Mana ada kita lihat dia keluar untuk kerja, di rumah aja tapi barang-barang mewah dan baru selalu datang. Tuh lihat di jari Bu Sas cincinnya berapa gram, Pak RT?" lanjut Bu Dewi dengan lancar dan berapi-api.

Seseorang tampak memasuki rumah Randu dengan susah payah melewati kerumunan orang banyak, barulah ketika mereka melihat wajahnya mereka langsung menyingkir membuka jalan.

"Sssstt, Pak Lurah sampai datang loh. Gila emang nih si Randu." Bisik para tetangga.

Wajah ganteng dengan pakaian dinas pemerintahan itu tampak mengucap salam dan tersenyum ke arah Randu lalu menyapa sosok lainnya di ruangan itu.

"Pak RT, saya dengar ada ribut-ribut dari Pak RW yang telepon saya. Belum selesai?" tanya Pak Lurah ternyata telah mengetahui segalanya.

"Mmm—belum ini Pak, Mas Randu belum sempat bicara apa-apa." mata Pak RT melirik Bu Dewi yang mendelik sewot.

Pak Lurah mengajak semua keluar dari rumah menuju kerumunan warga. Dengan lantang ia berbicara ke hadapan warganya.

"Randu ini pekerjaannya editor film, editor video itu loh. Dia terbiasa bekerja dari rumah karena ibunya tidak bisa ditinggal keluar kota. Proyeknya dia banyak dari artis Nikita Mayang yang lagi tenar itu, makanya dia banyak duit. Memang salah kalo dia belanjakan uangnya untuk ibunya? "

"Dia baru saja dikontrak rumah produksi di Jakarta, yang pastinya bakalan tambah kaya. Zaman sekarang kok masih percaya pesugihan bapak ibu, zaman sekarang kerja dari sawah pun bisa hasilkan uang. Saya tahu semua cerita ini, karena adik saya yang punya rumah produksi itu. Masih mau usir Randu?"

Semua warga yang berkerumun terdiam dan saling pandang. Mereka merasa tidak enak dengan Bu Sastro yang baik hati. Sedangkan Bu Dewi, tampak mengkerut di ujung pagar mendengar penjelasan Pak Lurah yang ternyata mengenal baik Randu.

"Kalo begitu, sekarang Bu Dewi aja yang kita suruh pergi dari kampung ini Pak Lurah. Bikin resah!" teriak para warga.

Bu Dewi yang tadinya berapi-api kini hanya bisa menangis dengan wajahnya yang pucat pasi, menatap penuh harap ke arah Randu dan ibunya.

----------------------------oOo----------------------------

LIVE zaman NOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang