Ketika Bapak Menangis

6 2 1
                                    

Kupandangi sosok lelaki yang begitu tegap menggarap kebun dengan luas yang melebihi milik juragan tanah setempat. Bapak adalah pendatang di tanah Sumatra dengan program transmigrasi zaman dahulu, membuka lahan dengan kemampuannya sendiri. Tak heran kepemilikannya melampaui batas hayalanku sendiri.

Dengan semua yang dimiliki Bapak, aku ingin mengejar semua mimpi bersekolah dan bekerja di Ibukota. Bapak mengamini semua inginku, inilah kelebihan sebagai putra tertua keluarga ini. Aku berbekal semua pemberian Bapak, membuat diriku cemerlang dan sukses di Ibukota.

Renjani gadis cerdas lulusan fakultas kedokteran ternama yang kupilih sebagai istri, kuboyong dengan bangga ke hadapan Bapak. Mereka tampak menyukai satu sama lain, aku lega dan bersyukur.

"Bapak, adalah sosok yang kuat ya. Apakah mungkin selama hidupnya beliau tak pernah menangis?" tanya Renjani suatu sore di pematang sawah milik Bapak.

"Entahlah, aku memang belum pernah melihatnya menangis. Bapak terlalu angkuh untuk meneteskan air matanya." Aku memandang jauh ke batas cakrawala.

"Sawah ini begitu luas, aku yakin Bapak telah membesarkan kalian dengan segenap tenaga dan usaha. Hingga tak memikirkan dirinya sendiri."

"Aku ragu, Bapak cukup bersenang-senang kok. Dengan sedikit bermain kartu juga tuak yang diminumnya sesekali bersama para sahabatnya."

Renjani menatapku dengan pandangan tak biasa, ia seolah membidikku dengan matanya. Protes seorang menantu agar mertuanya tak dijatuhkan begitu rupa di hadapannya.

***

Beberapa bulan kemudian, bayi pertama kami lahir. Telah menjadi adat di tempat kelahiranku bahwa cucu pertama berhak mendapatkan sebidang tanah dari kakeknya. Menandai dia adalah penerus adat keluarga.

"Halo Kek, apa Kakek sudah siapakan hadiah untuk Arsya, kan aku cucu pertama Kakek?" aku bertanya ringan sembari meletakkan Arsya di pangkuan Bapak.

Bapak menerima Arsya dengan tangan gemetar dan sontak memandang jauh ke dalam mataku. Seolah itu adalah pertanyaan keramat yang tak pernah terbayangkan olehnya.

"Tanah garapanku kali ini, adalah milik adik-adikmu. Karena tanah yang kusiapkan untukmu telah habis kujual untuk kebutuhan sekolahmu serta kebutuhanmu saat belum sanggup mandiri di ibukota." Bapak menimang Arsya dengan gugup, tak mampu menatapku lagi.

"Apakah kau sudah tak memiliki uang sesenpun? Bapak ada sedikit tabungan jika –" Tanya Bapak membuat darahku mendidih.

"Bapak lupa? Adat di sini adalah menyiapkan sebidang tanah bagi cucu pertama?" tanyaku dengan nada tinggi.

"Bang! Jangan keterlaluan," sanggah Renjani.

"Diam kamu!" bentakku pada Renjani, seorang ibu baru dari bayi berusia satu minggu.

Bapak tak menjawab melainkan menatapku lagi dengan sorot matanya yang layu, ia tak segagah dulu. Tapi tetap saja aku berkeras akan hak Arsya sebagai pewarisnya.

"Aku tak memiliki apa-apa kecuali selembar kain kafan dan sedikit tabungan untuk biaya pemakamanku kelak. Tanah itu telah menjadi milik adik-adikmu." Bapak tak sekalipun gentar dengan ucapannya.

"Maafkan Kakek, Arsya. Kakek tak bisa mewariskan apapun padamu." Lanjutnya dengan suara bergetar.

"Aku akan menuntut Bapak, Bapak tidak adil." Matanya nanar menatapku.

***

Siang ini aku melihat pertama kalinya di dalam hidupku, Bapak meneteskan airmatanya. Bapak akhirnya menangis karena membaca surat panggilan dari pengadilan atas tuntutanku padanya.

Renjani menatap benci padaku tetapi kebencianku pada Bapak kian menjadi. Sekalipun aku harus menghadapi sosok yang mengalirkan darah di nadiku ini, aku tak akan gentar. Bapak harus menyesal karena sikap pilih kasihnya padaku, aku akan membuktikan juga pada dunia bahwa sosok tegar itu mampu menangis.

---------------------

#30harikonsistenmenulis

#ninsoe

#livezamannow

LIVE zaman NOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang