Catatan Warung

14 6 4
                                        

Ningsih masih membereskan beberapa tumpuk sawi putih dan beberapa kol berukuran besar di atas meja kayu dagangannya. Saat itu pukul lima pagi, belum banyak ibu-ibu komplek yang datang untuk berbelanja di warung sayurnya. Suaminya, Tono masih sibuk menata ayam potong segar di meja sebelahnya, beberapa bungkus tetalan daging dan setumpuk ceker ayam.

"Pagi Yu Ning, aku minta satu racikan sayur sop pakai tulangan ayam ya. Tempe dan cabenya jangan lupa." Sari, wanita dengan jilbab panjangnya tiba dengan tergesa di warung.

"Baik Bu Sari, tunggu sebentar." Ningsih dengan cekatan menyiapkan pesanan.

Tono tak ikut menyapa pembelinya seperti biasa, ia hanya memerhatikan sekilas lalu masuk ke dalam ruangan lain kios itu yang terbuat dari triplek.

"Semuanya lima belas ribu ya Bu Sari," Ningsih menyerahkan bungkusan plastik ke arah pembelinya.

"Mmm, Yu Ning...maaf. Bisa dimasukan ke dalam catatan saya?" Sari tampak tersenyum malu.

"Oh. Baik Bu," Ningsih mengangguk dengan gamang.

Saat Sari berlalu, Tono keluar dengan buku catatan berukuran panjang dan melemparkannya ke atas meja.

"Ini sudah berapa uang kita yang tertahan di Bu Sari, Ning?" tanyanya dengan mangkel.

"Dengan hari ini sudah ada lima ratus ribu, Mas." Jawab Ningsih takut-takut.

"Trus dia janji bayar kapan?"

"Dia nggak janji e, Mas.." Ningsih menunduk. Ia paham suaminya gusar.

Mereka terpaksa menghentikan percakapan itu karena beberapa pembeli telah hadir dan mereka harus melayaninya dengan senyuman.

***

Siang itu, Tono dengan motornya tak sengaja melewati rumah Bu Sari yang terletak agak jauh dari warungnya. Ia melihat tiga anak kecil dengan usia yang berdekatan bermain di halaman, mereka anak-anak Bu Sari. Tono memutuskan berhenti di warung kopi yang berada tak jauh dari rumah itu.

"Tumben, Ton mampir sini." Sambut Jumadi sang pemilik warung.

"Kopinya satu Di, aku lagi pengen aja."

Setelah menikmati kopinya ia menarik Jumadi mendekat,

"Itu rumahnya Bu Sari?" tunjuknya ke arah rumah bercat kuning.

"Iya, Bu Sari kontrak di situ. Kenapa?"

"Nggak papa, nanya aja."

"Dia hutang di warungmu apa?" Jumadi menebak.

"Kok kamu tahu?"

"Lah, siapa yang nggak tau kalo dia itu numpuk utangnya kesana kemari. Suaminya aja nggak betah."

Tono tampak masygul, dia teringat catatan hutang Bu Sari di warungnya yang hampir mencapai satu juta. Ningsih tak pernah tega menagih karena tahu anak-anak Bu Sari masih kecil-kecil dan wanita itu hanya menerima jahitan saja, serta entah berdagang apa di antara teman-temannya.

***

Ningsih menatap suaminya dengan perasaan tak karuan, ia tahu uang satu juta itu amat berarti bagi mereka memutar modal. Setelah mendengar cerita Jumadi dari mulut suaminya, Ningsih merasa harus segera mengambil tindakan. Ia akan coba menagih seberapa pun pada Bu Sari, karena mengingatkan soal hutang adalah kewajiban sesama muslim.

Keesokan harinya ia sengaja menutup warung lebih cepat dan minta diantar suaminya menuju rumah Bu Sari.

Sesampainya di depan gang, mereka melihat rumah Bu Sari amat ramai. Dengan penasaran Tono memarkir motornya dan menggandeng tangan istrinya mendekati kerumunan. Di sana rupanya juga ada Jumadi yang ikut berdiri di kerumunan itu.

"Ada apa, Di?" tanya Tono.

"Bu Sari pergi dari rumah dini hari tadi, semua barangnya ditinggal. Kayanya dia hanya bawa anak-anaknya dan baju aja." Ningsih melongo mendengar penuturan Jumadi.

"Mas, gimana ini?" ia menarik lengan suaminya.

"Percuma Ning, ini semua yang di sini orang yang dihutangi Bu Sari. Mereka lagi berebut barang apa yang bisa dibawa untuk gantikan hutang Bu Sari. Tapi apa, barangnya rombeng semua." Jumadi menambahkan.

Tono memandangi istrinya yang lemas bersandar padanya, kehilangan kata-kata . 

LIVE zaman NOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang