Matahari di jam lima sore sudah berwarna jingga, dua pasang kaki tak bersepatu tampak gesit menerjang rerumputan yang mulai gundul karena injakan kaki-kaki mereka. Bahkan bebatuan sebesar telur ayam pun tampak mulai menonjol dari rumput-rumput yang tergilas. Peluh mereka seolah pertanda berapa lama waktu yang telah mereka habiskan untuk bersenang-senang mengejar benda bulat berukuran diameter dua pulih lima sentimeter itu.
Ketika salah satu kaki menginjak licinnya tanah berwarna merah yang menjadi lumpur, tak ayal satu kaki lainnya menahan beban dengan terpaksa dan akhirnya tubuh gempal itu jatuh terjengkang ke belakang.
"Hahahaha ... kamu nggak hati-hati sih, Dan." Seru pemilik sepasang kaki lainnya.
"Kayanya ini pertanda harus udahan deh, Dam. Sebentar lagi magrib, kalo diterusin kita bisa telat ke musala." Wildan segera bangkit namun tubuhnya terasa berat, akhirnya jatuh kembali dan lumpur itu menciprati celananya dengan bebas.
"Wah, aku nggak bisa bayangkan Bu Arum pasti ngomel sampe subuh kalo liat celanamu," Saddam usil menggoda Wildan.
"Kamu, malah ketawa. Tapi kamu tau banget ibuku kaya apa kalo ngomel ha ha ha ha..." Wildan ikut tergelak.
Mereka memutuskan duduk sejenak di bawah pohon randu yang ada di pinggir lapangan satu-satunya di kampung mereka. Kawasan di pinggiran Jakarta yang kini semakin padat bagai ibukotanya.
"Tapi ibu pasti sedang sibuk, menyiapkan masakan untuk besok."
"Iya ya, padahal aku nggak suka dengan acara semacam itu, Dan."
"Bersyukur aja kenapa sih, Dam. Masih ada yang mengadakan acara itu buatmu."
"Kamu juga nggak suka kan, apalagi di usia kita kaya gini."
Wildan menengadahkan kepalanya menatap jingga yang mulai berangsur menggantikan birunya langit hari itu. ia menghembuskan napasnya dengan kuat seolah melepaskan sesuatu dari rongga dadanya, Saddam menatapnya menunggu. Menunggu akan sebuah kalimat yang memihaknya.
"Andai aku masih bisa merasakannya, Dam. Makanya aku hanya minta kamu bersyukur."
"Tapi aku nggak—"
"Apa yang nggak kamu sukai, adalah hak kamu untuk mengatakannya pada Bundamu. Tapi jangan mencela semua usahanya untuk bahagiakan kamu. Nanti kalo sudah nggak punya orang yang bisa bahagiakan hati kita, kaya aku. Kamu bisa apa?" Wildan menatap sahabatnya ini dalam-dalam.
Saddam menunduk, ia tahu Wildan anak yatim. Ayahnya yang seorang polisi tewas tertembak saat meringkus kawanan preman di pasar. Semasa hidup, Wildan adalah kesayangan ayahnya. Tak seperti sekarang, Wildan harus menelan pahit membantu ibunya.
"Kita pulang, Dan. Nanti kubilang ke Bu Arum kalo kamu nemenin aku latihan bola untuk pertandingan. Kamu sampai rumah langsung cuci celanamu."
"Oke, aku pulang duluan. Kita ketemu di musala ya." Wildan bangkit mencari sandal jepitnya.
"Tapi besok, kue ulang tahunku potongan pertamanya boleh aku kasih ke kamu?" Saddam bertanya.
"Jangan, kasih ke Bundamu. Dia yang susah payah bikin kamu bahagia, aku mau nikmati nasi kuning buatan ibuku."
Wildan melambaikan tangannya dan berbalik pulang, mengenang nikmat rasa nasi kuning buatan ibunya yang tak bisa lagi dinikmatinya sejak bapaknya meninggal. Kata ibunya, nasi kuning adalah kesukaan Bapak, selain kesukaanmu. Membuatnya hanya bikin Ibu menangis.
Sekarang, Ibu membuat nasi kuning karena memang Ibu adalah juru masak di rumah Saddam. Pasti Ibu takkan menangis lagi, karena nasi kuning Ibu dibayar. Wildan melangkah ringan menuju rumah.
-------
#30harikonsistenmenulis
#ninsoe
#livezamannow
KAMU SEDANG MEMBACA
LIVE zaman NOW
General FictionAntologi cerpen yang berisi cerita ringan kehidupan sehari-hari di sekitar penulis. merangkum cerita antar gender, usia dan hubungan sosial yang amat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Selamat menikmati. * Saya mengikuti #30harikonsistenmenul...