Cinderella

10 7 2
                                    


Kupandangi dua kotak bekal milik dua makhluk tercinta yang ada di rumah ini. Jam dinding menunjuk pukul 6.30 pagi dan itu berarti saat melepas mereka pergi dari halaman rumah beriring senyum manis yang selalu aku punya.

"Bund, kami berangkat yaa.." celoteh gadis kecil berusia enam tahun empat bulan itu memanggilku menuju pintu depan.

"Ingat pesan Bunda, bekalnya dihabiskan dan tunggu Bunda jemput saat pulang nanti yaa."

Gadis kecil berjilbab itu mengangguk patuh dan berlari menuju ayahnya yang telah lebih dulu memasuki mobil, wajah rupawan itu telah mengecup mesra keningku di awal untuk berpamitan.

Menghela napas lega karena satu to do list pagi telah terlewati dan menanti barisan lainnya untuk segera kuraih. Berbelanja ke tukang sayur, menyapu dan mengepel rumah, serta tetek bengek lainnya sebelum kembali ke dapur untuk menyiapkan makan siang.

Kukibaskan daster panjang dan lebar ini dengan riang, bagaimana pun satu daftar panjang itu akan sangat ringan apabila tak dikerjakan, so ...aku memilih segera bergerak dan menyelesaikannya satu persatu.

***

Memarkir mobil sedikit lebih jauh dari gerbang sekolah adalah pilihan terbaik karena biasanya para orang tua murid lebih menyukai menjemput buah hati mereka tepat di depan gerbang. Itu jelas menyusahkan bagi orang lain, karena posisi sekolah yang tepat berada di tepi jalan utama.

Proses menjemput Nesya biasanya tak lebih dari sepuluh menit, karenanya aku jarang berada di sekolah lebih dari waktu tersebut. Aku juga bukan tipe ibu-ibu yang gemar berkumpul di sudut-sudut area sekolah, bertukar cerita tentang ini dan itu atau bahkan sengaja mencari waktu untuk ngopi bareng dan menggosip.

Hal itu tak ubahnya seperti tren yang menjamur dan aku tak begitu tertarik mengikutinya. Mereka yang terbawa arus atau aku yang aneh dan membosankan?

Ketika langkahku tiba di pos satpam sekolah, aku belum melihat wajah Nesya di antara para murid yang berhamburan keluar kelas. Akuk memilih sebuah bangku kayu di bawah pohon yang terlihat rindang, dimana tak jauh dari situ ada sekumpulan ibu-ibu yang juga menanti anak mereka. Kami dibatasi oleh pagar tanaman hidup yang tumbuh cantik menghias halaman sekolah.

"Siapa sih yang mewakili lomba bahasa inggris?" Ibu dengan kacamata berbingkai merah mulai terdengar agak kesal.

"Nesya, anak yang pendiamnya minta ampun. Nesya Paramita yang selalu bawa bekal ke sekolah." Jawab ibu bercelana jeans ketat dengan kemeja yang tak kalah ketat.

"Kudengar dia nggak pernah dijemput Ibunya, selalu dijemput pembantu! Pantas dia pendiam ya, ibunya nggak ngurusin kali." Ibu berkacamata itu kembali bicara dengan intonasi menyebalkan.

DEG! Seketika aku menoleh dan merasa jantungku berdentum lebih cepat. Pembantu???

"Iyaa Jeng, yang suka jemput pembantunya. Pakai gamis panjang atau daster itu, walau pembantunya cantik nggak ada bedanya di mataku ha ha ha."

Oh! Jadi karena itu aku dikira pembantu. Batinku menahan emosi.

"Atau ibunya nggak ada ya? Tiap pagi hanya ayahnya tuh yang antar sampai gerbang." Sahut seorang ibu yang sejak tadi hanya diam mendengarkan.

"Eh, jangan asal bicara. Kalau mereka cerai gimana? Kan kasihan Nesya kalau dengar." Sahut ibu lainnya.

"Halah! Biarin aja, siapa tau emang bener." Kata ibu berkacamata itu lagi.

"Adduuh, udah deh. Tuh, anak-anak udah keluar. Yuk ah, kita kan mau makan bakso di dekat tikungan itu." sahut ibu dengan baju dan celana ketat tadi.

Tak lama mereka semua beranjak dan meraih anaknya masing-masing. Kuikuti mereka dengan mataku dan hatiku yang mangkel hingga mereka naik angkot dan berlalu.

Nesya muncul paling akhir seperti biasa, ia mengacungkan selembar kertas kearahku.

"Apa itu, Nak?"

"Surat izin orang tua agar Nesya bisa ikut lomba di Kabupaten, Bunda."

Mangkelku berangsur hilang melihat senyum malaikat kecilku ini. Kugandeng ia dengan ceria menuju mobil.

***

Kuhempaskan serbet dapur dengan kesal ke atas meja, suamiku menatap dengan dahi berkerut meminta penjelasan. Aku bercerita dengan wajah cemberut dan mulai mengaduk-aduk kopi instanku yang tinggal setengah.

"Lah kamu, cuek dari zaman gadis masih dibawa aja. Baju bagusmu ada satu lemari loh Bund. Mubazir nanti kalau nggak dipake."

"Aku kan cari praktis, lagian pake mobil ini. Kan nggak boleh ber-tabaruj pada orang lain, aku pergi sendirian. Dan aku paling males make up, nggak suka." Dalihku sebal.

"Iya, aku paham. Semua tergantung niat, sayang. Pakaian bagus dan rapi menandakan kamu bersyukur akan rezeki dari Allah, juga membawa nama baikku sebagai suami. " Aku menunduk dalam dengan kata-katanya, suamiku selalu membawa logika dalam setiap kalimatnya.

"Nggak usah make up juga, wajah kamu udah cantik hanya dengan skin care rutin itu. Aku nggak suka wajah istriku seperti kanvas lukisan." Tambahnya.

Kulihat ia meraih Nesya dalam pelukannya dan mereka tertawa bersama sambil menonton televisi, sedang aku masih menekuri cangkir kopi. Aku sadar semua memang salahku juga, kenapa hanya menyukai sesuatu yang praktis hingga lupa bahwa ada sesuatu yang bisa kutunjukkan sebagai rasa syukurku. Memakai daster memang tak salah, itu jati diriku sebagai ibu rumah tangga. Namun aku juga tetap seorang wanita yang patut bersolek secukupnya.

***

Esoknya, aku mengenakan setelan kulot berwarna pastel dan jilbab polos berwarna senada, wedges dengan hak setinggi empat sentimeter dan sebuah dompet berukuran lebar kugenggam dengan anggun saat turun dari mobil yang memang sengaja kuparkir dekat dengan gerbang sekolah.

Aku tetap menuju bangku kayu favoritku menanti Nesya kesayanganku. Aku mengetahui ibu-ibu itu selalu berkumpul setiap siang dan mereka menatapku tanpa berkomentar sejak aku memarkir mobilku, mereka hanya saling menyolek dan menyikut satu sama lain sejak tadi. Aku membaca semua ekspresi itu dengan senyum di hati.

Tenang guys, aku akan lebih rapi mulai hari ini untuk memberikan pemandangan indah untuk kalian. Siapa tau jadi pahala. Batinku.

Dan ketika Nesya menghambur ke pelukanku, semua pemilik mata itu melongo. Karena Nesya dengan lantang berteriak "Bundaaaa."

Aih, maafkan Bundamu yang terlalu cuek ini, Nak. Jangan-jangan pendiammu juga karena daster Bundamu yaa. Aku akan menjitak kepalaku sendiri setelah ini.

Sorry guys, aku memang upik abu di dapurku tetapi aku juga mampu untuk bertransisi sebagai Cinderella yang memukau. Dan aku melangkah dengan kepala tegak menuju mobil sedan mewahku. 

LIVE zaman NOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang