Benalu

8 6 1
                                    

Hanya ada suara jangkrik, raungan knalpot di kejauhan dan alunan merdu suara Marsya yang sedang mengaji yang menemani Rai di pos ronda malam ini. suara Marsya terdengar jelas di telinganya, karena pos ronda kecil itu tepat berada di seberang halaman samping rumah Pak Wiro, ayah gadis ayu itu.

Selepas Marsya mengaji biasanya gadis itu akan membuka sejenak jendelanya dan berdiam menatap langit beberapa saat, seolah memanjatkan doa pada pemiliknya. Rai biasa mengamati tingkah gadis itu dari bilik pos ronda yang terpasang dari bilah bambu. Dan di saat itulah Rai akan mulai membuat melodi pengantar tidur dengan denting gitarnya yang syahdu.

Menjadi montir bengkel mobil antik memang melelahkan, Rai tak suka nongkrong dalam keramaian seperti rekan-rekannya yang lain. Rai lebih suka begini, sendirian di bilik pos ronda dan memetik gitar hingga larut. Baru berpulang ke kamar kos dan terlelap sampai azan subuh bersahutan dari musala di sekitarnya.

Pagi itu pos ronda geger, undangan pernikahan Marsya yang bersampul biru berada di sana. Rai baru saja melangkah dari kedai Bubur Ayam Sukabumi di tikungan pertama perkampungan itu, mendekati pos ronda yang ramai.

"Aiiih, patah hati deh pemuda kampung ini. Neng Marsya mau nikah." Ujar seseorang.

"Kapan lamarannya?"

"Siapa calonnya, orang mana?"

Rai menikmati bubur ayam yang masih panas itu di bersandar pada tiang listrik dimana di sebelahnya ada warung rokok Bang Iman. Rai memesan segelas teh manis pada Bang Iman.

"Kasihan Neng Marsya, dia dijodohkan sama ayahnya." Bang Iman menyodorkan teh pesanan Rai.

"Kenapa kasihan, seorang ayah pasti mau yang terbaik buat putrinya."

"Karena Gue dengar dari pembantu Neng Marsya, si Eneng udah punya pilihan."

Rai menghabiskan sarapannya dan langsung berpamitan pada Bang Iman, melewati pos ronda dan yang pasti melewati halaman rumah Marsya yang terbuka. Ada dua mobil parkir di dalam garasinya, dan terlihat sang pembantu tengah menyapu teras luar rumah itu juga memandang ke arahnya. Rai mengangguk sopan yang dibalas dengan senyuman.

***

Selepas isya seperti biasa Rai telah sampai di pos ronda, berbekal gitar dan sebungkus somay menu makan malamnya. Bang Iman juga nimbrung di pos ronda ngobrol ngalor ngidul bersama Rai dan seorang hansip.

Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari arah rumah Pak Wiro, tepatnya dari arah kamar Marsya yang letaknya tak jauh dari pos ronda. Kontan saja mereka menoleh, begitupun dengan Rai.

"Ayah tak mau kamu menyukai selain calon suamimu, dia hanya benalu! Di lingkungan ini ataupun di masa depanmu, Sya!" teriak Pak Wiro lantang.

Setiap pasang telinga yang berada di pos ronda mencapai percakapan itu, mereka saling menoleh satu sama lain.

"Anak bengkel milik Pramudya itu, kerjanya hanya gitaran di pos ronda. Apa yang kamu harapkan dari dia Marsya?" suara Pak Wiro kembali terdengar.

Dan kali ini semua mata beralih pada Rai yang juga kaget mendengar kalimat itu, terlebih jika benar adalah dia yang dimaksud oleh Pak Wiro.

"Wah! Parah, dia belum tau siapa Lu sebenarnya Rai." Bang Amin tampak gusar.

"Emang dia siapa?" tanya si hansip.

"Manusia," jawab Rai dan Bang Amin berbarengan. Mereka lantas pamit dari pos ronda berjalan ke arah kos Rai.

Jalan di perkampungan itu makin sepi setelah Isya, anak-anak yang bermain sore tadi telah terlelap di ranjang mereka masing-masing. Bang Amin menjajari langkah Rai, wajah sahabatnya itu tampak menunduk menekur aspal.

"Gue udah bilang, dia pasti naksir elu. Lu sih, nggak mau nutup itu bengkel cepet-cepet. Bengkel udah mau pingsan aja masih diurusin." Omel Bang Amin.

"Bengkel itu jati diri Gue, Bang. Hadiah ulang tahun dari Bapak pas Gue lulus SMA."

"Terserah Lu deh, Rai. Sekarang Marsya bakalan terbang ke awang-awang, sama seperti masa SMA dulu. ya kan?"

Rai hanya diam, menekur aspal.

***

Tenda yang terlihat megah itu membuat pos ronda harus digeser lebih dekat dengan warung rokok Bang Amin, untung saja terbuat dari bambu. Jika tidak pasti encok pinggang para panitia yang mengurusi hal-hal itu.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh menit, penghulu sudah siap sejak jam tujuh pagi karena permintaan Pak Wiro. Bahkan harum aroma makanan katering membuat para undangan khusus akad nikah menjadi semakin tak tenang.

Bang Amin celingukan di depan warungnya seolah menanti seseorang, yah ...dia menanti Rai, yang katanya ingin hadir di walimah Marsya. Ketika jarum jam bergeser ke angka sembilan, kepanikan Pak Wiro makin menjadi. Ponselnya tak lepas dari jemarinya yang mulai keriput, telinganya silih berganti mendengar laporan dari si anu dan si anu.

Hingga akhirnya tiba sebuah panggilan yang berasal dari keluarga mempelai pria, wajah Pak Wiro pucat pasi dan berangsur emosi.

Emran sang calon menantu berencana menikah dengan Marsya atas desakan Pak Wiro, karena dilihatnya Emran seorang pengusaha sukses di bidang retail. Tapi ternyata keluarga Emran malah tidak pernah menganggap pria itu sebagai bagian dari keluarga, Emran dianggap benalu! Karena bisanya hanya merongrong orang tua untuk keperluan hidupnya sehari-hari.

Marsya batal menikah, padahal tamu undangan telah datang lebih dari seratus orang. Istri Pak Wiro menangis, tapi tidak dengan Marsya. Gadis itu hanya sedih, karena ayahnya kecewa dan malu.

Rai tiba bersama Bang Amin, memantapkan hati akan sebuah kalimat yang ingin diucapkannya pada pria yang telah mencapnya sebagai benalu.

"Pak Wiro—"

Wajah Wiro masih amat lusuh, ia tak paham mesti menjawab apa, kadung malu dengan sikapnya. Karena beberapa hari lalu dengan sengaja ia berteriak saat tahu Rai ada di pos ronda itu.

"Bolehkah, saya menikahi anak Bapak? Saya tak sesukses calon Bapak, tapi saya sanggup membimbing Marsya menjadi istri yang baik. Insyaa Allah."

"Kata siapa Lu nggak sukses, itu klaster-klaster di bilangan Kemang kan punya Lu. Belum lagi hotel, butik yang dikelola adek lu, trus –" Bang Amin tak segera tuntaskan kalimatnya, keburu dipelototi oleh Rai.

"Klaster Kemang? Itu kan milik Pramudya?"

"Sudah dialihkan ke Rai semua, Pak Wiro. Ini kesayangan Pak Pramudya." Tunjuk Bang Amin kesal ke wajah Rai.

"Kamu putranya?" Dan Rai pun mengangguk.

"Boleh! Kamu harus menikah dengan Marsya, dia sudah jatuh cinta sama kamu sejak SMA." Wajah Pak Wiro tak jadi kesuh, malah semakin berbinar.

Kita lihat siapa yang akan jadi benalu nantinya, batin Rai tenang menuju pelaminan.

____________________

LIVE zaman NOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang