Jumini mencoba mengikat tali jemuran yang terbuat dari tambang itu berulang kali. Tetapi tanggannya tak sanggup untuk membuat simpul yang kuat hingga akhirnya disentakkannya tali itu dengan mangkel.
"Ono opo toh, Jum?" Yono, suaminya menoleh dari kesibukannnya memberi pakan ayam.
"Iki loh, tali jemuran. Kok susaaaah banget dibenerin, Mas."
"Wes, tinggalkan. Biar saya yang kerjakan."
Tak berapa lama tali tambang itu sudah terpasang dengan sempurna, pada bilah besar bambu pilihan dari kebun mereka.
"Oalaahh, Jum. Makanya jangan pakai yang bambu toh. Kaya aku niih, alumunium lebih kuat, ringan kalo diangkat." Yu Tarmi tetangga seberang rumah mereka tampak mendekat.
"Mahal, Yu. Bambu ini juga cukup kuat kok, hanya saja tadi itu terlepas karena saya nariknya terlalu kuat." Jumini meraih cucian dari ember plastik dan memerasnya.
Yu Tarmi kembali menilik kegiatan Jumini di hadapannya lalu berputar mengamati jemuran tetangganya itu.
"Eh, Jum. Kamu masih nyuci pake tangan toh? Apa nggak capek?"
"Maksud Yu Tarmi gimana?" tanya Jumini mendongak.
"Aku di rumah sudah pake mesin cuci, yang satu tabung lagi. Sudah langsung kering, nggak cape peras-peras kaya kamu. " bisiknya pelan takut terdengar Yono yang terus melirik dirinya.
"Kami belum punya dananya, Yu. Dimas masih harus beli buku."
"Oalaah, nasib." Yu Tarmi berlalu pergi meninggalkan Jumini yang mengelus dada.
***
Keesokkan harinya,
Jumini seperti biasa sedang melipat baju-baju yang telah kering di jemuran, sementara Yono masih belum pulang mengajar di sekolah dasar. Di seberang, Yu Tarmi tampak keluar dari rumahnya sembari mengibaskan korannya ke arah wajahnya.
"Juuum, lagi apa?" serunya pada Jumini.
"Ini Yu, lipat pakaian." Jawab Jumini mengacungkan baju-baju di tangannya.
"Hari ini panas, Jum. Aku mau di dalam aja, ada kipas angin yang besar."
"Monggo, Yu Tarmi." Senyum Jumini terkembang.
Tak berapa lama suami Yu Tarmi, Parjoko datang dengan sebuah motor matic keluaran terbaru. Yu Tarmi urung masuk kerumahnya. Jumini memerhatikan mereka dari ekor matanya, tangannya masih sibuk melipat pakaian.
"Aku pergi lagi, Bu. Ini kunci motornya," Parjoko langsung berbalik pergi setelah meletakkan kunci motor di tangan istrinya.
Yu Tarmi segera menghampiri Jumini ke teras rumahnya dan mengacungkan kunci motornya.
"Bagus nggak motor baruku, Jum?"
"Bagus, Yu Tarmi." Jumini anteng menjawab.
"Kamu apa nggak kepengeeen. Masa Yono udah bertahun jadi guru, cuma pake sepeda butut. Kredit juga sekarang murah, Jum." Liriknya pada Jumini yang larut dalam kegiatannya.
"Uang sekolah Dimas lebih penting, Yu. Dimas mau sekolah di kota saat masuk SMA tahun depan." Ungkap Jumini.
"Oalaaaah nasibmu, Jum. Hanya memikirkan sekolah Dimas. Sekarang isi rumahku udah lengkap, ada mesin cuci, TV , kulkas. Sampai jemuran juga baru."
"Alhamdulillah ya, Yu Tarmi." Senyum Jumini kembali terkembang.
Yu Tarmi mendengus kesal melihat semua perkataannya tak mengusik Jumini, ia melangkah kembali ke rumahnya.
***
Dua hari kemudian,
Yono baru saja memarkir sepedanya bersebelahan dengan sepeda Dimas, saat sebuah truk besar berhenti di depan rumah Yu Tarmi. Jumini menghampiri suaminya dengan semringah.
"Mas, Dimas juara lomba Kabupaten. Dia dapat tiket ke SMA favorit katanya."
"Alhamdulillah, itu Yu Tarmi mau pindahan atau gimana Jum?"
"Nggak ngerti, Mas. Saya dari tadi di dalam."
Sekitar tiga orang keluar dari rumah Yu Tarmi, mengangkut mesin cuci satu tabung lalu berganti dengan televisi dan kulkas ke atas truk. Jumini dan Yono memandang heran dari teras mereka. Dibelakangnya Yu Tarmi tampak cemberut mengekor suaminya yang mengawasi kegiatan tiga orang tadi.
"Kenapa mesti dibalikin toh, Pak?"
"Lah, itu kan bukan punya kita. Hanya dititip sementara, kamu juga salah kenapa mesti dipake sih. Mesin cucinya jadi kotor, kulkasnya juga." Omel Parjoko.
"Mas Parjo! Mau pindahan atau gimana? Seru Yono bertanya.
"Nggak dik Yono, ini barang-barang mau saya kembalikan pada atasan saya. Kemarin dititip hampir satu bulan di sini." Balas Parjoko.
Yu Tarmi tampak memukul lengan suaminya dengan gemas, ia malu melihat Jumini yang mengetahui semua sandiwaranya.
"Ya ampun, Pak! Masa motornya juga dikembalikan?" rengeknya.
"Lah memang bukan motor kita, udah sana nyuci lagi. Yang bersih nguceknya." Lalu Parjoko pun berlalu dengan motor matic itu.
Jumini cepat-cepat masuk ke rumah menghindari wajah Yu Tarmi yang memerah karena malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LIVE zaman NOW
Fiksi UmumAntologi cerpen yang berisi cerita ringan kehidupan sehari-hari di sekitar penulis. merangkum cerita antar gender, usia dan hubungan sosial yang amat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Selamat menikmati. * Saya mengikuti #30harikonsistenmenul...