Hanafi baru saja memarkir motornya di halaman ketika Darus menghampiri dengan tergesa, dia melepas helmnya sambil menatap heran pada teman sepermainannya itu.
"Kamu baru pulang Fi?" yang dibalas anggukan oleh Hanafi.
"Kita diminta ambil domba Pak Haji Muhidin untuk dibawa ke lapangan. Katanya dombanya gede banget, mana sanggup aku sendirian." Lanjutnya.
"Iya, sebentar. Aku ganti baju dulu, lepek nih baru pulang kerja."
Darus menanti di halaman dengan tidak sabaran, takut rejeki dadakan di depan hidung ini akan lenyap jika tak cepat disambar. Haji Muhidin adalah orang terkaya di kampung ini, bukan rahasia jika memenuhi keinginannya adalah mengais rejeki nomplok bagi orang-orang sepertinya.
Bersama Hanafi, Darus menyusuri jalan kampung yang ramai oleh anak-anak yang baru saja pulang dari musala lepas mengaji. Mereka tiba di halaman rumah Haji Muhidin yang luas dan asri, disambut oleh wajah cantik Rumana putri Pak Haji satu-satunya.
"Abah sebentar lagi keluar, Bang Hanafi. Sebentar ya." Rumana menyapa ramah.
Gadis berjilbab itu selalu mencuri pandang ketika Hanafi terlihat di antara para pemuda masjid kampungnya. Hanafi bukan tak tahu akan cerita itu, karena banyak sekali mata yang melihat dan akhirnya sang pemilik berbisik di telinganya.
Domba itu mengalihkan pandangan Hanafi akan Rumana, seekor domba jantan yang sehat dan tampak gagah. Mungkin bobotnya lebih dari tiga puluh kilo, pasti harganya juga belasan juta.
"Nah udah datang, ayo deh bawa dombanya ke lapangan Masjid. Keren kan domba Gue, Fi? Gimana Darus, gagah kan dombanya?" Haji Muhidin muncul dengan pakaian khasnya, kaus oblong putih dan sarung serta tak lupa gesper khas orang betawi berwarna hijau yang besar melingkar di pinggangnya.
"Iya Pak Haji, dombanya mantap." Hanafi mengacungkan jempolnya.
"Iyaaa dong. Mana ada orang kampung sini yang mampu untuk beli domba seperti ini kalo bukan Gue, Haji Muhidin." Ucapnya dengan percaya diri.
"Belasan juta tuh," tambahnya dengan terkekeh.
Hanafi segera menarik domba itu dan membelainya. Domba tu seolah mengerti dan tidak sama sekali ia berontak pada tangan yang baru saja dikenalnya.
"Eeeeeh, tunggu! Jangan dibawa langsung ke lapangan lewat jalan utama. Bawa dia memutar lewat kampung. " perintah Haji Muhidin.
"Tapi kan lebih –" Hanafi tak bisa meneruskan kata-katanya karena langsung dihampiri oleh Pak Haji.
"Ini domba, adalah domba paling besar yang bisa dibeli orang di kampung ini. mana ada orang kampung ini yang bisa kurban dengan domba gagah dan mahal begini?"
"I—iya Pak Haji."
"Udah, bawa dia keliling. Nanti kalo ada yang tanya siapa yang punya... bilang, ini domba kurban milik Haji Muhidin." Katanya menepuk dada.
Darus dan Hanafi terpaksa menuruti keinginan Pak Haji yang sedikit menyusahkan. Bagaimana tidak, karena jarak rumah Haji Muhidin dengan masjid tidak lebih dari lima ratus meter. Darus menanggapi setiap pertanyaan warga yang penasaran dengan domba itu sesuai dengan jawaban yang disiapkan dan diinginkan oleh Pak Haji.
***
Selepas salat Idul Adha, panitia kurban termasuk Hanafi dan Darus telah bersiap dengan golok masing-masing. Mereka akan segera bekerja menguliti dan membagi daging-daging dari hewan kurban kepada para warga.
Haji Muhidin datang dengan pakaian terbaiknya bersama Rumana dan istrinya. Ia memasang senyum yang amat lebar dan menyapa para warga yang berdatangan ke lapangan.
"Wah, kali ini kita bakalan makan daging sapi, jarang-jarang ada yang berkurban sapi di kampung sini." Kalimat seorang warga yang ditangkap telinganya membuat Haji Muhidin langsung menghentikan langkahnya.
"Darus! Sini Lo," Haji Muhidin melambaikan tangannya kepada Darus yang dilihatnya di antara para remaja masjid.
"Eh, Pak Haji. Sudah datang, tunggu giliran sebentar ya. "
"Eh, Gue mau nanya. Itu siapa yang kurban sapi, orang kampung sebelah atau gimana?" tanyanya gusar.
"Mmm—"
"Buruan jawab! Belagu banget dia kurban sapi segitu gede di kampung sini. Domba Gue jadi nggak keliatan." Omelnya dengan berapi-api.
"Abah, nggak boleh gitu." Rumana tampak membujuk ayahnya.
Darus tampak salah tingkah dengan sikap Haji Muhidin, dia tampak bingung akan menjawab apa. Beruntung Haji Iskak sang ketua panitia menghampir mereka, Haji Muhidin menanyakan hal yang sama padanya.
"Itu sapi milik Hanafi dan keluarga besarnya. Alhamdulillah, Hanafi sekarang sudah bisa menabung untuk sapi yang gagah dan sehat itu." Haji Iskak tersenyum dan pamit meneruskan tugasnya.
Haji Muhidin segera melirik Rumana yang tersenyum diam-diam di belakangnya. Wajahnya tambah cemberut ketika melihat sosok Hanafi yang membaur dengan panitia kurban lainnya.
"Rum, besok Abah terima lamaran Iswandi. Ayo kita pulang sekarang!"
Rumana seketika tertegun dan matanya berkaca-kaca, menatap Hanafi yang tersenyum ke arahnya. Pupus sudah asanya pada pemuda salih itu.
#30harikonsistenmenulis
#ninsoe
#livezamannow
KAMU SEDANG MEMBACA
LIVE zaman NOW
General FictionAntologi cerpen yang berisi cerita ringan kehidupan sehari-hari di sekitar penulis. merangkum cerita antar gender, usia dan hubungan sosial yang amat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Selamat menikmati. * Saya mengikuti #30harikonsistenmenul...