Simpang Tiga Rumpun Bambu

40 14 8
                                    

Senja ke tujuh, aku melihatnya di simpang tiga itu. Dari sekian banyak gadis di kota kecil ini dan dari mereka semua yang berhijab, hanya wajahnya yang menarik kakiku untuk memacu keretaku ini ke sana. Hanya untuk melihatnya menjerang air, menyapu atau pekerjaan sepele lainnya.

"Ah! Abang sedang berhalusinasi mungkin, di kedai itu tak ada perempuan macam itu." Lamhot mulai mengusik semangatku untuk terus menemui wajah yang begitu manis itu.

"Macam kau pernah ke sana, itu kan kedai orang berduit. Yang tersaji satu pinggan di sana seharga gaji Kau dua bulan, paham?" elakku tak mau kalah.

"Eh jangan salah, Koh A Mang pernah menyuruhku datang ke sana. Dibelinya semua pesanan istrinya yang hamil muda. Aku tak pernah lihat sosok perempuan itu." balasnya lagi.

"Ah sudahlah, teruskan kerja Kau. Aku sudah selesai dengan mobil tua ini, bilang Koh A Mang aku pulang tepat waktu." Segera kukemasi peralatan ke dalam kotak besi berwarna merah yang telah memudar.

Kupacu kereta menuju simpang tiga dan kuyakinkan hatiku aku bisa melihatnya lagi sore ini. Ternyata kedai mie Aceh terenak dan termahal harganya itu tutup, sempat juga aku celingukan mencari dimana kira-kira gerangan wajah manis itu. Tak nampak sebatang hidung pun di sana, aku pulang berkalung rindu.

***

Dalam renunganku seorang

Di ambang sore nan layu

Di simpang tiga titian

Tamasya indahku bisu

Ke satu arah tertentu

Kulepaskan pandanganku

Ke tempat janji bertemu

Simpang tiga rumpun bambu ...

Lagu lawas itu terus mengalun dari radio transistor usang milik Ayah yang dibeli setelah ladang sawitnya panen. Hari ini giliranku mendodos sawit di ladang selatan yang baru saja dibeli Ayah, jadi kulepas saja kaus oblong itu di teriknya cuaca Aek Tapa yang tanpa ampun. Kutinggalkan pekerjaan di bengkel Koh A Mang untuk penuhi baktiku sebagai putra tertua di keluarga ini.

Aneh, mengapa lagu itu terus terngiang di telingaku. Kuputuskan kusempatkan malam ini ke kedai itu untuk bertemu wajah manis yang kucari. Kupercepat memanjat pohon sawit itu dan mulai bergerak memangkas butir-butir calon hartaku kelak.

"Berapa usiamu?"

"Ayah lupa dengan anak sendiri?" sindirku tajam menatap tubuh tegap yang sama persis dengan tubuhku.

"Aku ingin kau menikah," matanya terus menatap jalanan yang selalu sepi kecuali truk-truk pengangkut sawit itu datang lebih awal.

"Aku belum menemukan perempuan yang cocok."

"Tak perlu cocok, itu akan kau dapatkan nanti setelah ijab kabul. Bersama berduaan berhari-hari, baru kalian jatuh cinta. Seperti aku dan mamakmu."

"Kalau yang Ayah maksud pariban, jauh-jauh lah itu dari otakku." Geram sudah aku menahan hati dengan permintaan itu dari hari ke hari, minggu ke minggu dan melewati dua belas bulan ke depan.

Kupacu kereta menuju rumah yang hanya berada tiga kilometer dari ladang, Mamak pasti membelaku.

***

Sudah ada tujuh senja aku tak menilik kedai di simpang tiga itu, bulan sebelas akan berlalu dan akhir tahun di depan mata. Aku tak pernah suka dengan pergantian tahun, karena statusku pun tak pernah berganti.

Usiaku tepat empat puluh di awal tahun nanti dan cintaku hanya berlabuh di simpang tiga tanpa bisa kutolak. Nasib!

Semalam Ayah berkisah adikku telah jatuh cinta, ia bertemu gadis itu di kampus. Satu peruntungan yang adikku bisa dapatkan, menjadi mahasiswa setelah bujukan Mamak padanya. Setelah jatah kuliah paska sarjanaku kurelakan baginya, kuambil jatahnya bekerja di ladang. Kini ia berniat mengambil jatahku untuk menikah lebih dulu.

Sarjana hanya bisa bekerja di bengkel orang? Begitu kira-kira cemooh para tetangga, kerabat bahkan paribanku yang jauh dari cantik. Ia sakit hati dan memutuskan perjodohan kala kuajak dia main catur, baginya itu penghinaan. Macam mana gadis kota diajak main catur oleh seorang sarjana yang terperosok di ladang sawit dan bengkel kotor sepertiku.

"Bang Rizki! Ayah panggil Abang ke rumah, ada calon istriku." Kutengok Rizal menghampiri.

"Memang dia sudah bersedia menikah denganmu?"

"Belumlah,"

"Macam mana mau dilamar, bersedia saja tidak?" kuhempas kail yang sejak tadi kunanti gerakannya.

Rizal hanya memandang dengan lidah kelu ke arahku, aku paham tabiatnya jika merajuk begitu. Semua inginnya harus terpenuhi, jika tidak maka Mamak lagi yang akan kena sasaran.

"Kau benar ingin menikah?" kulihat ia mengangguk.

"Lalu kau ingin apa dari menikah? Kuliahmu belum lagi usai."

"Aku ingin dia bahagia."

"Naif kali kau ya, sudah pernah kau bahagiakan Mamak? Pernah tidak kau buat dia memandangmu dengan senyum, Hah?" kali ini sudah cukup rasanya anak manja ini terbuai.

"Bang—"

"Cukup! Kalo Mamak restui, akan kunikahkan. Jika tidak, lanjutkan dulu sekolah." Aku berjalan pulang melewati parit dan tanah becek menuju dapur Mamak.

***

Demi apa aku berdiri di hadapan gadis ini, kukira mataku mulai rabun dan berhalusinasi seperti kata Lamhot. Ia berdiri dengan anggun dan mengangguk hormat padaku di ruang tamu kami yang luas. Kurasa aku tak salah kali ini, ia gadis simpang tiga yang kurindu.

Mata Mamak kulihat bersinar tak seperti biasa, bahkan kulirik Ayah yang terus tersenyum menatapku. Hanya Rizal yang kulihat memasang muka batu padaku.

"Ini calon istrimu?" tanyaku ke arah Rizal.

"Tidak—aku tak mau. Ayahku bilang bukan dengan Rizal aku akan menikah. "

Aku terperangah kearahnya, suaranya lembut tetapi cukup lantang menggema di ruang besar ini. Rizal memerah wajahnya dan mulai merangsak maju.

"Lalu buat apa kau mau kubawa kemari?" bentaknya pada gadis manis itu.

"Aku tak kau bawa, Rizal. Aku datang sendiri kemari, amanah Ayah aku harus menemui Ayahmu dan menyetujui kesepakatan mereka." Gadis itu bahkan menyapa mata orangtuaku lembut dan bertutur dengan santun pada ayahku.

"Sudah kusampaikan tadi, kau bersedia?" Ayahku mulai angkat bicara dengan rokok kretek di sela jemarinya.

"Mmm.. ya Datuk. Saya patuh akan amanah Ayah, saya bersedia." Wajah manis itu tertunduk malu.

Aku mulai ragu kemana alur cerita ini mengalir, kupandangi Ayah dan Mamak bergantian. Rizal sudah kabur entah kemana di kata terakhir gadis itu tadi.

"Rizki, gadis ini putri Jauhari si pemilik kedai Mie Aceh. Ia ingin menikah dengan pemuda yang terus memandanginya diam-diam di simpang tiga. Dan ia –"

... menerima pinangan ayahku pada ayahnya, sungguh gadis baik budi. Batinku lirih berbisik.

Terima kasih Ayah. Dan kau Rizal, pergilah jauh-jauh, batinku berteriak menyusul.

------------------- ***-------------------

Ket :

Kereta – motor
Simpang tiga – pertigaan 

LIVE zaman NOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang