Teriakan-teriakan marah warga masih terdengar di depan kediaman Pak RW Kampung Durian, mereka menggelandang Wisnu pemuda berusia dua puluh lima tahun yang baru saja keluar dari lapas minggu lalu. Wajahnya babak belur dihajar warga, Ngadiman sang RW yang melihatnya segera memasang pagar betis bagi pemuda itu.
"Masukan saja lagi, Pak RW dia ke lapas."
"Benar, Pak. Anak ini nggak ada kapoknya."
"Dia nyolong lagi, padahal baru seminggu bebas. Memalukan!"
Dan teriakan-teriakan memekakan telinga lainnya terdengar bersahutan mengisi lorong rumah penduduk yang seharusnya damai di malam minggu ini. Ngadiman melihat sorot mata Wisnu yang kosong, seolah bisa merasakan sakit hati pemuda itu di relungnya sendiri.
"Ada bukti?" tanya Ngadiman menoleh pada warganya yang berkumpul.
Anehnya mereka saling pandang dan saling mencari siapa yang memiliki informasi itu. Ngadiman menghela napas dan menoleh pada hansip yang berdiri melindungi Wisnu.
"Apa ceritamu, Yon?" tanyanya pada Maryono.
"Tadi saya patroli di area lain, Pak. Begitu dengar teriakan maling saya langsung samperin, Mas Wisnu baru keluar dari rumah langsung digeret dan dihajar warga."
"Yang kemalingan rumahnya siapa?"
"Bu Anis, Pak. Memang sedang ke luar kota, hanya ada Ramli satpamnya."
"Panggil Ramli!" perintahnya.
Sebuah wajah menyembul di antara bahu para warga, ia adalah Ramli satpam rumah Bu Anis. Segera menghampiri Ngadiman dan memberikan ponselnya.
"Apa ini?" Ngadiman memandang Ramli.
"Rekaman CCTV, Pak. Bukan Mas Wisnu pelakunya, ada yang saya kenali. Tapi tadi warga yang melihat pelakunya manjat kadung teriak dan anarkis jadinya, padahal Mas Wisnu baru saja keluar rumah." Tutur Ramli.
"Bisa jadi dia temennya Wisnu, Pak RW. Bu Anis orang terkaya di kampung ini, bahkan ibunya Wisnu kan buruh cuci di situ." Sanggah Rojali salah seorang warga yang beringas membuat lebam di wajah Wisnu.
"Iya, Pak RW. Bisa jadi itu," teriak warga yang lain.
"Diam semua!" teriak Ngadiman kesal.
Ngadiman menonton rekaman itu dan memandang Yono sang hansip dan Ramli bergantian. Ia menghampiri Wisnu dan menariknya bangkit, dibantu dua orang tadi.
"Bawa masuk dan panggil dokter biar diobati." Perintah Ngadiman.
"Kenapa malah dipanggilin dokter, kenapa bukan polisi?" tanya Rojali beringas.
"Karena yang maling itu bukan Wisnu, tapi anakmu!" Ngadiman memperlihatkan rekaman itu pada Rojali.
Wajah yang semula beringas itu berubah gugup dan malu, ia memandang sekelilingnya dan menunduk tak tahu harus berkata apa.
"Kamu harus minta maaf sama Wisnu, anak itu masuk penjara bukan karena kriminal. Ia jadi kambing hitam atasannya yang korupsi. Dan dia sering keluar tengah malam, karena memang sekarang ia bekerja sebagai penjaga malam di pabrik. Paham?"
Wisnu menitikkan air mata di pipinya yang lebam dan luka, merasa pilu sekaligus haru. Mengubah pandangan orang tak semudah membuka jendela tanpa jeruji.
----------------------
#30harikonsistenmenulis
#ninsoe
#livezamannow
KAMU SEDANG MEMBACA
LIVE zaman NOW
General FictionAntologi cerpen yang berisi cerita ringan kehidupan sehari-hari di sekitar penulis. merangkum cerita antar gender, usia dan hubungan sosial yang amat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Selamat menikmati. * Saya mengikuti #30harikonsistenmenul...