Entah sudah berapa kali hal ini dipintanya dan entah berapa kali juga sang ibu tak menggubrisnya. Husna, gadis kesayangan ibu yang terpaksa putus sekolah karena biaya. Husna, gadis yang amat pandai berbahasa inggris meski tak pernah bertemu orang yang mampu berbahasa seperti itu kecuali gurunya. Husna, yang kalah bersaing mendapatkan beasiswa karena siswi yang mendapatkannya adalah gadis tercantik di sekolahnya.
"Izinkan Husna pergi, Ibu."
"Teruslah merengek, maka Ibu sumpal mulutmu dengan kain pel itu." jawab ibunya ringan.
Husna kembali tertunduk, dipandanginya rumah di seberang rumahnya. Rumah itu tadinya sama dengan rumah yang kini dipijaknya ini, semi permanen dengan dinding bambu yang mampu tertembus oleh bisingnya suara orang bercakap-cakap, anak-anak yang berteriak dan berlarian entah itu pagi atau sore hari.
Kini rumah itu telah menjadi begitu megah, bercat warna-warni seperti beberapa rumah lainnya di desa itu. Karena anak gadis mereka telah meninggalkan rumah saat seusia Husna, merantau ke negerinya orang Arab. Mereka pulang dengan bergelimang uang dan perhiasan, belum lagi yang bekerja di tanah orang-orang bermata sipit seperti Taiwan dan Hongkong. Baju mereka sangat bagus dan kekinian.
Pakai jilbab panjangmu, Husna. Ibu masih mampu untuk mencari makan kita di pasar, sayuran kebun kita masih laku. Belum lagi sayur matang yang Ibu masak. Begitu kata Ibu selalu.
Bukan tak bersyukur dan ingin seperti gadis-gadis itu, Husna ingin rumah ini bagai rumah mereka. Agar ibu tak lagi bersusah payah ke pasar setiap pagi. Tak lagi sakit pinggang mencabuti kangkung dan bayam di kebun mereka.agar rumah ini terasa nyaman dan hangat bagai rumah-rumah bagus itu.
***
Pagi itu, Husna tengah berpikir di depan setumpuk dokumen yang harus ditandatanganinya. Sebuah perusahaan di kabupaten menawarinya sebuah lowongan kerja merawat seorang nenek di Taiwan. Husna akan segera dilatih, dibekali pengetahuan tentang orang-orang di Taiwan berikut bahasanya. Tabungan Husna bisa membayar uang muka untuk keberangkatannya.
Husna melihat ibunya kembali diam dan terus bekerja tanpa sepatah katapun keluar dari bibirnya. Hatinya begitu pedih dan bimbang, tetapi keinginan untuk membangun rumah yang lebih layak bagi ibunya lebih kuat dari itu semua.
"Izinkan Husna pergi ya, Bu." Pintanya sekali lagi.
"Kau akan merawat nenek itu lalu siapa yang akan merawatku?" ibunya berkata tenang, masih membersihkan akar bayam yang berlumuran tanah.
Husna bagai tertampar dan dibenturkan ke dinding, ibunya tak memiliki siapapun selain dirinya. Tetapi dokumen dan semua impiannya tentang rumah bercat warna-warni itu bagai melambai-lambai ke arahnya.
"Aku tau impianmu, Husna. Kau ingin rumah megah seperti rumah di depan itu kan?"
"Bagaimana Ibu tau? " tolehnya kaget.
"Aku melihatmu memandanginya seharian,"
"Husna ingin Ibu hidup nyaman, tak perlu ke pasar lagi."
Mata tua itu memandanginya dengan sedih, ia melihat ketulusan di mata gadis dengan jilbab hitam itu.
"Husna, siapkan rumah masa depan bagi Ibu sebaik-baiknya. Bukan rumah seperti mereka yang Ibu inginkan, tetapi rumah yang begitu hangat."
"Bagaimana dan dengan apa Husna kabulkan keinginan Ibu, kalo Husna nggak keluar dari desa ini?"
"Doamu, baktimu ... " Ibunya menjawab lirih.
Ibunya menggandeng tangan Husna ke belakang, senja itu membuat langit teramat jingga. Husna menyipitkan matanya untuk bisa melihat arah yang ditunjuk ibunya. Matanya terbelalak dan kontan menoleh pada sang ibu.
"Itu kan kuburan Ayah,"
"Di sana nanti rumah masa depan yang kutuju, kupersiapkan dengan amalku. Doa dari anakku satu-satunya. Kamu bersedia, Husna?"
"Berjuanglah bersama Ibu, berjualan di pasar bukan sesuatu yang memalukan. Bahkan jodohmu telah menanti dalam pinangannya pada Ibu kemarin sore." Lanjut wajah yang penuh kasih itu.
Husna memandang ibunya dengan bingung.
"Burhan, saudagar kaya pemilik kios paling besar di pasar dan salih itu telah meminangmu. Dia pemilik pesantren di desa sebelah, dia ingin kau mengajar anak-anak mengaji. Ibu menerima pinangannya dengan ikhlas. Ibu rela kau tinggalkan rumah ini untuk lelaki itu."
Ibunya meninggalkan Husna dengan hati yang gamang, Burhan adalah kakak kelasnya semasa SMP. Husna telah meletakkan hatinya pada lelaki itu sejak pertama kali melihatnya. Apakah ini mimpi?
--------------------------
#30harikonsistenmenulis
#ninsoe
#livezamannow
KAMU SEDANG MEMBACA
LIVE zaman NOW
General FictionAntologi cerpen yang berisi cerita ringan kehidupan sehari-hari di sekitar penulis. merangkum cerita antar gender, usia dan hubungan sosial yang amat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Selamat menikmati. * Saya mengikuti #30harikonsistenmenul...