Tangan Tuhan

6 3 3
                                    

Pramudya melirik amplop coklat tebal yang entah berisi berapa banyak, ia hanya menghela napas puluhan kali dengan berat. Kepalanya terasa berat dan dadanya semakin sesak, terngiang kata-kata keluarga Naina Marsha tadi dihadapannya.

Pak Pram, semua jaksa yang lain telah sepakat untuk mempertimbangkan permohonan kami. Bahkan malam ini juga kami akan bersilahturahmi dengan hakim yang telah ditunjuk.

Diambilnya botol air mineral dan diteguknya hingga habis tak bersisa, berharap akan ada lega mengalir setelah meminumnya. Tetapi yang ada rongga dadanya seolah terendam oleh air yang diminumnya tadi, nyeri dan sesak.

Aku seorang senior bagi mereka yang di bawah naunganku, aku adalah ayah dalam pertempuran mereka di laga persidangan. Tegakah aku menodai semangat suci itu, harapan mereka tentang keadilan dan menjilat kembali semua kata-kataku pada mereka? Semua pertanyaan itu terus berputar di benak Pramudya hingga dini hari.

Sarah memasuki ruang kerja Pramudya dengan gontai, ia tak menemui suaminya di rumah yang luas ini sejak lima hari yang lalu. Pria yang paling dicintainya itu larut dalam eksotiknya dunia kerja, hingga kadang perhiasan dunia yang telah diperjuangkannya belasan tahun silam kusam tak terjamah.

Ia cepat menoleh ketika didengarnya suara mesin mobil memasuki halaman depan, rasanya telah bertahun-tahun lamanya peristiwa ini tak pernah terjadi dan ia merindukannya. Sarah berlari cepat dengan gaun tidurnya yang kusut, keinginannya hanya satu. Menyongsong sang kekasih.

"Apa begitu berat bagimu mengabariku, kenapa semua akses komunikasimu diblokir dariku?" protes Sarah padanya.

"Maaf Sarah, ini kasus terberat sepanjang karierku."

"Aku juga minta maaf, aku hanya mengkhawatirkan dirimu." Sarah memeluk Pramudya dengan erat.

Pramudya menggandeng istrinya menuju kamar dengan lunglai, ia merasa lelah lahir dan batin. Pergolakan dihatinya masih terus bergema, hingga bobotnya terlihat menyusut.

"Apa yang kau banggakan dariku, Sarah?"

"Kau pria baik hati, lembut dan jujur." Ucap Sarah ringan tanpa berpikir lama.

"Jika aku berubah, apa kau tetap mencintaiku?"

"Kau bukan tipe pria yang mudah berubah, Pram."

Sarah menghentikan langkahnya dan menatap jauh ke dalam mata suaminya. Ia melihat sorot kesedihan yang begitu mendalam di sana.

"Aku ingin kau pergi sejauh mungkin, Sarah."

"Darimu?"

Sarah menjamu Pramudya seolah itu adalah kali pertama pria itu datang dihidupnya, tanpa banyak bicara, tanpa banyak keinginan yang terlontar dari bibirnya.

Keesokan harinya, Pramudya tak lagi menemukan Sarah di kamar mereka. Pramudya memakai jas terbaiknya dan mengenakan semua barang-barang termahalnya. Ia menuju mobil dan mengusir sang supir dari balik kemudinya.

Di persimpangan pertama, area lampu merah terasa begitu sepi. Hanya ada dua mobil di jalur yang biasanya ramai itu, ia membayangkan wajah Sarah yang manis dan menangis semalam. Sesak di dadanya semakin menjadi, di sampingnya amplop coklat pemberian keluarga Naina Marsha sang terdakwa pembunuhan berencana masih utuh tergeletak. Pramudya melirik lagi lampu merah yang tak kunjung berubah warna, di sisinya sebuah motor gagah telah berhenti menunggu lampu yang sama.

Dor! Hanya itu suara terakhir yang terdengar dari telinganya. Pramudya tersenyum samar, ia masih membayangkan Sarah yang menangis semalam. Pasti wanita itu akan menangis lebih keras malam ini.

Aku tak lagi ingin menjadi tangan Tuhan bagi para manusia bedebah itu, Sarah. Pergilah dan tunggulah aku, aku akan berhenti sekarang atau tidak sama sekali.

--------------------------------

#30harikonsistenmenulis

#ninsoe

#livezamannow  

LIVE zaman NOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang