Warung Sandar

31 11 3
                                    

Ratna kembali mengangkat lele goreng dari wajan yang penuh, sementara sayur asem di tungku sebelahnya menggelegak menguar aroma yang menarik para tukang ojek di gang sebelah segera mempercepat jam istirahat mereka.

"Mpok, tolong nasi satu pake lele gorengnya. Jangan lupa sambel." Teriak Juki dari pintu warung.

"Iyee, bentaran. Nanggung nih ..." seru Ratna tak kalah dari ruang belakang yang dijadikan dapur.

Warung itu segera penuh dengan lima tukang ojek yang duduk melingkar mengelilingi etalase kaca, menunggu cemas nasi dengan lauk kesukaan mereka.

Rombongan kedua adalah ibu-ibu di lingkungan belakang warung yang merasa repot dengan urusan domestik, hingga memilih menu Warung Sandar ketimbang harus turun ke dapur.

"Mpok, tau nggak kalo si Dian anaknya Bu Ras sebentar lagi mau nikah?" ibu berdaster bunga berwarna kuning mendekati etalase sembari menunjuk ini dan itu untuk menu pilihannya.

"Wah, belum dengar tuh Bu. Memang mau nikah sama orang mana?" balas Ratna ramah sambil menyendok oseng buncis dan orek tempe.

"Kata dia sama duda kaya, maklum deh perawan tua hi hi hi .." sahut si ibu berdaster bunga kuning tertawa.

Ratna hanya tersenyum walau di dalam hatinya sudah tak tahan dengan gosip semacam ini. Udin suaminya selalu berpesan, daripada ghibah lebih baik sibuk di warung sampai malam. Letak warung mereka memang bukan di jalan utama, tapi selalu ada saja yang datang dengan bersandar baik dengan rasa lapar ataupun cerita mereka. Jadilah Udin menamai warung ini 'Warung Sandar'.

"Ya ampun, duda! Kira-kira kayanya macam Ardi Bakrie nggak ya, biar si Dian bisa ngerasain jalan-jalan, punya mobil." Sahut ibu bergamis merah muda yang antri memilih lauk.

"Bodo ah! Yang penting bukan suami saya, titik." Lanjut ibu berdaster bunga kuning.

"Lah, suami kamu kan bukan duda. Cuma nggak pernah pulang aja," gelak tawa keduanya terdengar lagi memenuhi warung yang hanya berukuran 2,5 x 2,5 meter itu.

"Biarin nggak pernah pulang, yang penting duitnya pulang Mak. Suami sayang istri nggak tuh?" Sanggah si ibu berdaster bunga kuning.

"Semuanya lima puluh ribu, Bu Amih." Ratna menyerahkan plastik berisi menu pilihan si pembeli, ibu dengan daster bunga berwarna kuning.

"Ya ampun, murah amat. Tadi kan saya lebih dari tiga macam, beneran nggak kurang nih?"

"Kan hanya lauk, Bu. Insyaa Allah memang itu harganya." Ratna kembali tersenyum.

"Berarti uang belanja saya sisa banyak, suami saya tambah sayang deh."

"Alhamdulillah, terima kasih sudah belanja di sini Bu."

Setelah Bu Amih keluar dari warungnya, ibu bergamis merah muda segera mengeluarkan uang dari dompetnya. Sambil menerima belanjaannya, ia mendekati Ratna dan berbisik.

"Bu Amih nggak suka sama Dian, katanya penggoda suami orang. Padahal, Bu Amih senengnya genit di depan suami saya."

Ratna hanya berusaha mengunci mulutnya dengan rapat, agar tak keluar rasa penasaran itu dan balik bertanya. Ia hanya mengangguk-angguk sebagai bentuk rasa sopan dan kembali melayani.

Dengan sabar ia melayani satu demi satu pembeli yang datang dan pergi. Berucap syukur dan kembali memasak nasi supaya persediaan di warung cukup hingga jam makan malam nanti.

***

Menjelang isya di saat Udin tengah membantu istrinya cuci piring, datang sebuah mobil sedan mewah di depan warung.

"Bang, masih ada apa nih menunya?"

"Eh, Pak Radit. Masih ada gulai ayam sama sambel aja nih, sudah jam segini." Udin menghampiri pria yang turun dari mobil tadi.

"Tolong bungkus deh, calon istri saya suka tuh gulai ayam buatan Mpok Ratna."

Ratna dan Udin saling pandang dengan bingung, meraih plastik untuk membungkus gulai ayam dengan diam.

"Saya mau nikah lagi, Bang Udin. Sama istri saya kan udah setahun pisah, eh ternyata jodohnya orang deket sini lagi." Pak Radit tersipu malu.

"Oh gitu, selamat Pak. Orang sini tuh siapa ya? Saya kok nggak pernah tau Pak Rudi ngapelin gadis sini he he ..." Udin menyerahkan plastik yang diangsurkan istrinya.

"Dian, Bang. Putrinya Bu Ras, yang tinggal di RW sebelah. Nanti undangannya pasti saya antar." Setelah membayar pria itu pergi dengan mobil sedan mewahnya.

Udin segera menutup pintu warungnya dan memasang tanda 'TUTUP' di jendela. Ia segera menggamit lengan istrinya untuk duduk di bangku warung.

"Tutup mulut aja, Neng. Jangan sampai berita ini menyebar, bisa geger."

"Tadi siang Bu Amih masih –"

"Udah, diam. Tau lebih sedikit itu lebih enak, lebih aman. Kaga dosa."

"Iye Bang," Ratna mengangguk patuh.

Ratna memandangi setiap bagian ruang warungnya lekat-lekat dan berpikir. Apakah 'menjual' telinga juga berdosa? Ampun ya Gusti.

****

LIVE zaman NOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang