Dua Pejuang

15 10 1
                                    


Mereka tampak asyik dengan permainan di dalam ponsel pintar itu sejak aku memasuki ruang tunggu. Ayah mereka pun tampak asyik memandangi anak mereka. Sesekali masing-masing ayah menyuapi mulut kedua bocah kecil itu dengan roti dan air mineral kemasan bergantian.

"Masih lama, Pak?" tanya anak lelaki dengan jaket yang memiliki tudung kepala.

"Sebentar lagi, sabar ya." Bujuk sang ayah

Sementara yang satunya tak bersuara, masih asyik memandangi layar ponsel yang begitu ramai suaranya. Jarakku sekitar tiga meter di sisi kiri mereka, juga menanti panggilan dari petugas di depan kami yang sibuk lalu lalang.

"Habiskan dulu kuenya, ya Bang?" tanya si ayah kedua pada anak lelaki yang mengenakan sweter abu-abu dan topi berwarna senada.

Bocah lelaki itu menggeleng cepat. Tunduk bergeming pada layar yang sejak tadi menghiburnya. Sementara aku meletakkan buku non fiksi yang baru mencapai halaman keenam, pinggang ini terasa mulai penat begitupun dengan mataku yang terbangun sejak dini hari tadi.

"Khairul Azzam!" Seru petugas di depan kami. Kutoleh salah satu dari dua anak laki-laki itu, ternyata yang memakai sweter abu-abulah yang menghampiri sang petugas.

"Gung Gede!" Seruan kedua terdengar lagi, dan sekarang giliran si anak lelaki yang pertama kulihat berdiri didampingi sang ayah.

Mereka tampak dipakaikan gelang berwarna biru untuk pasien laki-laki. Sama seperti suamiku yang dipanggil tak lama setelah anak kedua tadi. Aku terdiam sesaat ketika mereka memasuki lift yang sama, bahkan keluar di lantai yang sama dengan kami. Berdiri menunggu pintu kamar perawatan dibuka, aku sibuk bertanya-tanya. Mungkinkah?

Gedung coklat ini begitu legendaris, memaksa setiap batin mengais doa dan harapan di setiap langkah mereka di tiap bilik yang ada. Kadang begitu nyata suara rintih kesakitan itu di telinga, kadang terasa bagai mimpi tatkala jiwa sudah teramat lelah menghadapi setiap proses kesembuhan. Catatan medis yang kian menumpuk di akhir tahun, terapi ini dan itu, daftar obat dan keluhan bertumpang tindih.

Aku melayangkan ingatan akan buah hatiku di rumah, ia kira-kira seusia mereka dengan selisih sekian waktu. Dan aku kerap memohon biarlah sakit ini terhenti pada orangtuanya, ia harus tumbuh sehat dan bahagia.

Ketika perawat itu mulai membuka pintu bangsal perawatan, lorong panjang membentang di dalamnya. Kedua bocah lelaki itu membuka tudung jaket dan topi berbarengan, memaksaku untuk menatap mereka tanpa kedip. Dan kembali menahan airmata yang seketika muncul tanpa aba-aba. Kepala mereka telah plontos, kulit wajah yang terlihat kehitaman karena baru saja kupandangi dari jarak yang lebih dekat.

Kemoterapi telah merenggut semua bayangan indah mereka di usia kurang dari sepuluh tahun. Mereka harus memupuknya jauh lebih awal dengan sebuah beban di hati. Kalian pejuang tangguh, aku yakin itu.

----------------------------------------

LIVE zaman NOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang