Kata Ibu Saya

10 8 1
                                        


Cahyo bergegas menaiki motor yang sudah menemaninya selama tiga tahun terakhir di teriknya langit ibukota. Jaket merah kebanggaannya telah wangi dan tampak merona di jam enam pagi, dengan helm yang juga telah wangi karena baru saja diambil dari tempat pencucian khusus helm milik Haji Yahya tetangganya.

"Mas Cahyo, udah keren pagi-pagi. Mau berangkat kerja atau mau anter pacar nih?" sapa tetangga sebelah rumah, Mas Darminto.

"Mau kerja dong, Mas. Nanti pulangnya baru jemput pacar tercinta."

Lima menit kemudian motor Cahyo sudah membelah kemacetan ibukota yang tak memberi ampun bagi mereka yang bangun siang. Cahyo tiba di kantornya dan langsung menuju dapur khusus karyawan, menyeduh kopi dan membuka bekal yang disiapkan ibunya sejak subuh.

"Wah, Yo. Rajin banget bawa bekal kamu ya?" Intan sekretaris sang direktur menyapanya ramah dari pintu dapur.

"Wah iya, Mbak. Kata ibu saya, makanan dari rumah itu lebih higienis. Lebih sehat." Cahyo nyengir menunjukkan giginya yang putih.

Intan mengacungkan jempolnya dan berlalu ke ruangannya sendiri.

Hari itu pekerjaan Cahyo sangat banyak, ia berada di balik meja hingga mendekati jam makan siang. Cahyo menutup laptopnya dan langsung menuju dapur menggelar bekal makan siangnya.

"Cahyo, ini sambel terasi ibumu juga yang buat? Aromanya itu loh, menggoda banget." Salah satu temannya mendekati kotak bekal Cahyo.

"Lah iya Mas, kata ibu saya sayur asem dan ikan asin itu cocoknya sama sambel terasi." Cahyo mencomot ikan asin terakhirnya dengan lahap.

***

Cahyo baru saja melipat sajadahnya lalu menuju ruang makan menemui ibunya yang telah menunggunya untuk makan malam.

"Ibu masak apa?"

"Terong balado, sayur daun singkong sama goreng tempe." Sahut ibunya memberikan sepiring nasi yang masih mengepul.

"Masakan ibu selalu enak, Cahyo belum bisa menemukan warteg yang masakannya seenak Ibu."

"Lah ya mana bisa, makanya kamu kalo cari istri yang pintar masak. Biar kamu selalu sehat, nggak banyak jajan di luar, hemat buat masa depan." Ibunya tersenyum, Cahyo mendengarkannya dengan manggut-manggut.

Lalu Cahyo terbayang Adisti kekasihnya, mereka sudah enam bulan berhubungan. Tetapi Cahyo belum tahu Adisti bisa masak seenak ibunya atau tidak, maka besok ia berniat menanyakan itu pada kekasihnya.

***

Seperti biasa Cahyo selalu mencium punggung tangan ibunya sebelum berangkat kerja, ia menatap ibunya yang sarat akan senyuman.

"Ibu senyumnya itu loh, membuat aku selalu tenang berangkat kerja." Cahyo memuji ibunya.

"Ya ampun, Yo. Nanti kalo kamu cari istri lihat yang manis senyumnya yaa...biar kamu bisa tenang setiap hari menjalani hari." Elusan tangan ibunya mendarat di rambut Cahyo yang kelimis.

"Siap Bu." Pamit Cahyo.

Cahyo melewati hari itu dengan semangat, karena sorenya ia telah memiliki janji dengan Adisti. Tetapi ternyata kenyataan tak seindah bayangan, pekerjaan Cahyo semakin siang semakin menumpuk, rasa-rasanya ia harus lembur dan terlambat menemui Adisti.

Benar saja, jam tujuh malam ia baru bisa keluar dari pintu kantor dan bergegas memacu motornya menuju halte di mana Adisti menanti. Dari kejauhan ia bisa melihat seorang gadis berambut panjang sedang duduk termangu di halte bis, Cahyo begitu penat setelah melewati panjangnya kemacetan jam pulang kantor hingga tak melihat wajah kekasihnya yang menunduk.

"Kamu kok nggak makan sih Dis?" mereka tengah duduk di lesehan menanti teh tawar pesanan Cahyo.

"Aku nggak lapar, udah kenyang nunggu kamu dari jam empat sore." Ketus Adisti menjawab.

"Kata ibu saya ... marah memang bisa menunda lapar. Tapi nanti kamu sakit."

"Biar aja." Adisti masih merajuk.

"Senyum dong,"

Adisti tetap menolak bersikap manis, Cahyo terngiang kata-kata ibunya. Kata Ibu, aku disuruh cari istri yang senyumnya manis biar bisa tenang setiap hari, lah ini sekali aja nggak mau senyum. Piye sih?

"Eh Dis, nanti kapan-kapan kamu masak pecel lele kaya gini bisa, nyambel terasi gitu?"

"Aku nggak bisa masak, Cahyo. Aku tuh paling nggak suka bau dapur yang penuh minyak atau terasi."

"Lah nanti kalo kita nikah, gimana?"

"Kan kamu bisa beli atau pembantu yang masak, tugas istri kan bukan hanya masak?" sanggah Adisti.

"Kata Ibu saya, perempuan itu harus bisa masak Dis. Biar suami dan anaknya sehat dan juga hemat pengeluaran."

Adisti memandang Cahyo dengan kesal, bisa-bisanya semua percakapan ini membuat selera makannya menguap. Cahyo pun tak ubahnya menemukan ribuan cacat pada Adisti secara tiba-tiba. Ia segera menyelesaikan makannya dan memandang kekasihnya.

"Dis, kayanya kita nggak cocok deh. Kita udahan aja ya?"

Adisti melongo menatapnya dan tak bisa berkata apa-apa. Sejurus kemudian ia menarik napas panjang dan menatap Cahyo,

"Hanya karena aku nggak bisa masak?"

"Kata Ibu saya, kalau dalam hubungan sudah ada hal yang membuat kita tidak cocok sebaiknya jangan diteruskan." Ucap Cahyo tenang.

Malam itu Adisti menolak diantar pulang, ia merasa kesal diputuskan Cahyo karena tidak bisa masak.

***

Cahyo memandangi tubuh yang cekatan berlari ke sana kemari itu dengan lincah melayani pembeli, malam ini ia diajak atasannya makan di lesehan ayam bakar lamongan yang terkenal.

Wanita itu memandangi Cahyo dengan senyuman yang manis dan senyumannya itu selalu dibawa setiap ia menyambangi meja Cahyo tatkala mengantar pesanan mereka.

"Ini semua menu, Mbaknya sendiri yang masak?" tanya Cahyo memberanikan diri.

"Iya dong, Mas. Gimana, enak kan semua masakanku?" wanita yang sedikit bertubuh gempal itu memandanginya dengan genit.

"Enak banget, Mbak." Caho mengacungkan dua jempol ke arah wanita itu.

Nah ini! calon istri yang sempurna, calon mantu yang cocok buat Ibu. Batin Cahyo kegirangan.

"Mbak ... mmm, maunikah sama saya?" todong Cahyo yang membuat satu meja menatap takjub kearahnya.---

LIVE zaman NOWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang