Happy weekend.
Tahu-tahu sudah weekend aja ya.
Sama dong dengan cerita ini, sudah masuk part 6.
Yang baca, kok, nggak bersemangat ya?
Ayo dong, jangan sembunyikan semangatmu.
Lio turun dari mobil rental yang mengantarnya ke tanah kelahiran leluhur ayahnya. Di depan rumah panggung besar, empat orang yang dilihatnya di cafe kemarin sudah tiba lebih dulu. Mereka sudah bersiap jalan dan ada beberapa orang lagi yang mendampingi. Sebagian membawa koper, sebagian lagi seperti pejabat daerah. Lio bisa menebak dari pakaian dinas yang dikenakan. Dan wanita berambut cokelat yang hanya punggungnya saja yang dilihatnya kemarin, kini wajahnya sangat jelas terekam di benak Lio kala menatapnya. Wajah cantik dengan tatapan teduh seakan telah menggetarkan rasa di hatinya. Ditariknya napas berat. Seharusnya tidak semudah ini tercipta getar dalam hatinya. Walau sudah setahun berlalu kehilangan yang dirasakannya telah terkikis, tetapi dirinya seharusnya fokus untuk mencari tahu penyebab setiap wanita di keluarganya harus 'pergi'. Namun, dia juga sadar tak bisa mengalihkan perhatiannya pada wanita yang sudah bergerak meniti jalan berbatu di depannya.
"Nak Lio, ya?" Seorang pria yang Lio perkirakan berumur sama dengan ayahnya, menghampiri.
"Iya, benar," jawabnya dengan kening mengernyit. Aneh, tempat yang jauh dari Jakarta ada orang yang mengenalinya. Atau jangan-jangan dia suruhan kakeknya?
"Saya diminta menjemput Nak Lio." Penjelasan bapak itu membenarkan dugaan Lio. Sepertinya, ayahnya sudah menghubungi kakeknya kalau hari ini dia akan datang. Padahal tanpa dijemput pun, Lio masih bisa bertanya atau menggunakan GPS untuk mengakses desa ini.
"Ayo Pak, kita jalan sekarang," pinta Lio. Dia harus bergerak agar bisa berada di belakang rombongan yang sudah berjalan duluan.
Lio seakan ingin berlari menahan lengan wanita berambut indah yang makin indah tertimpa sinar mentari saat langkahnya salah menginjak bebatuan dan hampir saja terjatuh. Nalurinya seolah menyeruak begitu melihat adegan tersebut. Walau hanya melihat dari belakang, Lio sangat tahu wanita itu sudah kepayahan dengan jalan yang mulai menanjak. Ketika tiba di tanjakan pertama, rombongan tersebut berhenti untuk beristirahat sejenak. Wanita yang tidak lepas dari tatapannya sejak tadi itu merasa lega setelah duduk di bangku yang terbuat dari bambu yang sengaja diletakkan di sana. Lio berusaha mengingat-ingat saat dia datang bersama ayahnya dulu. Mereka juga beristirahat setiap tiba di tanjakan. Jalan menuju desa memang sangat berat. Sudah jalannya jelek, menanjak, kemudian berbelok tajam yang benar-benar menguras tenaga. Sebenarnya bisa dilalui mobil atau motor, meski lebih nyaman berjalan kaki karena sama saja di dalam mobil akan mengalami gunjangan hebat. Motor lebih-lebih lagi, bokong akan panas dan terancam setiap saat terlempar ke jurang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setangkai Mawar Di Taman Hati (complete)
عاطفيةRancangan Tuhan pada setiap insan tentunya berbeda. Begitu hebatnya rancangan itu, terkadang membuat yang mengalaminya tidak memahami kondisi yang terjadi. Begitulah yang dialami oleh dua insan yang dipertemukan oleh rancangan indah tersebut, di seb...