16. Kalau Boleh Berharap, Biarkan Rasa Itu Ada

192 25 4
                                    

Sudah weekend lagi ya.

Waktu terus berjalan dan kita masih harus tetap jaga kesehatan dan patuhi prokes.

Tidak mengapa, kita harus semangat.

Aku temani dengan part baru dari kisah Abby dan Lio.

Selamat membaca.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Seperti yang Lio infokan kalau rumah kakeknya tidak jauh dari tempat terakhir mereka beristirahat tadi, benar adanya. Jalanan sedikit menanjak, tetapi tidak memerlukan tenaga ekstra untuk sampai ke sana. Rumah panggung yang ditemui Abby ternyata sama besarnya dengan milik Kepala Desa. Halamannya yang rimbun dengan tanaman saja yang lebih luas. Juga tidak ada bangunan lain yang berada di bawah tangga seperti punya Kepala Desa. Melihat rumput yang layaknya permadani menutupi sebagian besar halaman, menggelitik Abby untuk merebahkan tubuhnya di sana. Sudah sangat jarang, hampir tidak malah, Abby menemui rumah dengan halaman yang sangat asri seperti yang dilihatnya sekarang. Rumah orang tuanya saja tidak. Ya, memang banyak tanaman juga, apalagi di halaman belakang, tetapi Abby tidak merasakan seasri ini. Atau mungkin karena hatinya, jadi apa pun yang ada di rumah orang tuanya terlihat tidak menarik lagi.

Sebelah kanan rumah panggung itu ada rumah panggung yang lebih kecil, dipisahkan oleh tanaman yang berfungsi sebagai pagar. Terdapat kebun singkong di halaman depan dan belakangnya. Sejauh mata memandang, hanya tanaman berlatar gunung yang dilihat oleh Abby.

"Lio ...." Karena asyik melihat tanaman yang tumbuh dengan suburnya di mana-mana, Abby sampai tidak menyadari Lio sudah berjalan jauh di depannya dan bersiap menaiki tangga rumah.

"Ke sini, By. Sebentar, ya, gue panggil Kakek dulu." Setelah Abby naik dan duduk di teras—menolak masuk ke dalam rumah karena belum puas memandang area halaman—Lio masuk mencari kakeknya.

"Sudah pulang toh. Cepat bersih-bersih, kita makan siang!" perintah Amril.

"Kek, ada Abby di depan." Amril mengernyit. Namun, ada rasa gembira melihat Lio akhirnya berhasil membawa Abby datang bertemu dengannya.

"Berhasil kamu bawa dia ke sini?" Lha, sebelum berangkat tadi kakeknya masih mengingatkan Lio membawa Abby ke rumah. Sekarang orangnya sudah datang, malah bertanya seakan meragukan ucapannya.

"Lio nggak bercanda, Kek. Sengaja Lio ajak ke sini sekalian ajak Abby makan siang, ya?"

"Panggil masuk, jangan biarkan dia di luar!" perintah Amril pada Lio. Seperti apa wanita yang sudah membuat cucu satu-satunya sering melamun akhir-ahir ini. Amril tentu saja penasaran. Hanya tidak ingin memperlihatkannya pada Lio. Bisa kacau kalau misinya ketahuan. Amril tersenyum.

Ragu-ragu Abby melangkah masuk ke dalam rumah mengikuti Lio. Rumah yang area interiornya lagi-lagi membuat mata Abby takjub. Sepertinya rumah-rumah panggung besar di desa ini memiliki furnitur terbuat dari kayu jati atau eboni. Sama seperti di rumah Kepala Desa, Abby juga menemui furnitur yang tak kalah menariknya. Ada satu sofa panjang yang letaknya di sebelah kanan, dekat jendela, yang berbeda. Selebihnya dominan kayu.

Setangkai Mawar Di Taman Hati (complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang