Saat up part baru, aku selalu berharap my lovely readers and followers tetap sehat dan selalu semangat, ya.
Jangan pernah kendor menjalankan protokol kesehatan.
Karena sampai saat ini kita masih berjuang.
Biar pikiran nggak aneh-aneh, aku temani dengan part baru ini.
Selamat membaca.
Sudah seminggu berada di desa dengan suasana sejuk, bahkan sangat dingin pada malam hari, membuat Abby merasakan dampak yang sangat baik bagi pernapasannya. Setiap udara yang dihirupnya, berusaha dimasukkannya sebanyak mungkin untuk mengisi ruang dalam paru-parunya. Udara bersih yang sangat sulit didapatkannya di Jakarta. Begitu juga dengan makanan yang dikonsumsinya. Tidak ada makanan cepat saji, atau makanan kekinian yang marak akhir-akhir ini dan dapat dipesan secara online. Semua bahan makanan dipetik langsung di kebun dengan bumbu seadanya, tetapi sangat nikmat terasa di lidah. Inilah hal yang berbeda dirasakannya seminggu ini. Namun, ada ruang kosong dalam hatinya yang menganga. Sungguh, Abby baru sadar ketika teman-temannya mulai berpencar mencari data, menyusuri satu per satu area desa itu, rasa sepi mulai menyerangnya. Dia diserahi tugas untuk merekap hasilnya sehingga tidak ikut menjelajah. Alasan Dimi tak memberinya izin, khawatir kakinya bermasalah atau terjatuh. Berdiam diri dan hanya menunggu data saat mereka kembali, sangat menyiksanya. Mana sinyal ponsel juga kurang bagus, jadi Abby tidak bisa mengecek media sosial miliknya atau menelpon Nina dan Eric menanyakan perkembangan kantor.
Abby berpindah ke teras sambil membawa laptop. Baiknya dia mulai menyicil apa yang bisa dia kerjakan.
"Nak Abby, kalau mau makan siang duluan, silakan ya," suara Ibu Resti—istri kepala desa—terdengar dari ruang tengah. Abby melirik jam yang tertera di sisi kanan bawah laptopnya. Belum jam dua belas.
"Iya, Bu. Sebentar lagi, saya selesaikan kerjaan dulu," sahutnya dengan sopan membalas permintaan tersebut.
Setelah menyelesaikan pembuatan tabel-tabel yang dibuatnya dalam beberapa sheet, Abby mematikan laptop dan bergerak ke ruang tengah. Kalau menunggu teman-temannya akan lama. Biasanya mereka kembali menjelang sore dan terbiasa makan siang di rumah penduduk yang terdekat. Satu lagi yang Abby rasakan berbeda, sikap ramah masyarakat desa yang sangat kental. Tidak ada wajah-wajah munafik yang bersembunyi di baliknya. Semua wajar dan natural.
Abby berderap ke meja makan yang di tengahnya sudah tersedia lauk yang tertutup tudung saji. Sudah tak terlihat lagi Ibu Resti. Biasanya beliau ke kebun atau mengajak ibu-ibu berkumpul di balai desa, mengajari mereka kerajinan tangan. Di rumah itu ada beberapa hasil kerajinan ibu-ibu di desa itu dipajang. Ada rajutan, tas dari bahan limbah plastik dan lainnya. Juga ada beberapa pot bunga yang digantung di halaman rumah terbuat dari botol-botol air mineral yang telah dibentuk sedemikian rupa menghasilkan bentuk yang unik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setangkai Mawar Di Taman Hati (complete)
RomanceRancangan Tuhan pada setiap insan tentunya berbeda. Begitu hebatnya rancangan itu, terkadang membuat yang mengalaminya tidak memahami kondisi yang terjadi. Begitulah yang dialami oleh dua insan yang dipertemukan oleh rancangan indah tersebut, di seb...