"Kata Reza Arab, sih. Kalau lo masih minta duit sama orangtua lo dan belum bisa ngurus diri sendiri, nurut aja sama mereka."
🌻
Seminggu berlalu, tepatnya sudah tujuh hari setelah sebuah badai besar menerjang kehidupan cewek itu. Semuanya kembali terlihat seperti seperti biasanya, memang. Namun jika diperhatikan lagi, Nara tidak benar-benar baik-baik saja seperti yang terlihat. Sebab pada kenyataannya, tidak ada satu pun manusia yang akan bisa melewati hidup setelah sebuah perpisahan menyedihkan yang dia hadapi--bahkan jika itu adalah seseorang yang paling dibenci sekalipun.
Seminggu sudah cewek itu berdiam diri di kosan. Terbaring di atas ranjang dengan rambut lepek sebab sudah tidak pernah lagi dia rawat. Di bawah matanya kentara sekali lingkaran hitam yang membuat tatapannya terlihat sangat kuyu. Walaupun begitu, dia berusaha keras untuk tidak meratapi segala hal dan sampai menangis tersedu-sedu seperti malam-malam sebelumnya.
Lantas setelah merasa bahwa dia harus melanjutkan hidup, Nara bangkit dari ranjang guna membersihkan diri. Hari memang sudah malam dan cewek itu mengabaikan omongan orang-orang yang mengatakan bahwa tidak baik mandi malam menggunakan air dingin. Ah, tidak apa-apa. Dia membutuhkan sesuatu yang dingin untuk menyirami isi kepalanya yang penuh.
Pun setelah nyaris setengah jam, cewek itu memakai pakaian seadanya dan turun menuju area dapur. Tepat pada langkah terakhir menuruni anak tangga, kedua matanya menangkap sosok Gian yang duduk di sofa bersama TV yang menyala menampilkan acara Tonight Show.
"Mau makan malam, nggak?" tawar Gian sembari mengangkat mangkuk berisi mie instan yang dia buat.
Nara tersenyum sebelum berakhir menggeleng, pun melangkah untuk ikut duduk di sebelah cowok itu. "Lagi nggak nafsu," jawabnya.
"Tadi lo nyenyak banget tidurnya, makanya nggak gue bangunin."
Celetukan yang tiba-tiba saja terdengar bersama intonasi suara yang terdengar bersalah itu membuat Nara terkekeh. Kedua matanya yang tadi fokus melihat Desta dan Vincent sedang bergurau lantas menoleh menatap sosok itu. Kedua bibirnya masih terkatup, sedangkan tatapannya terlihat fokus menatap Gian yang kini ikut menatapnya.
Sial, geram Nara.
Tatapan Gian terlalu memabukkan bagi dirinya yang haus. Rasanya ingin mendekatkan wajahnya dan meraup bibir itu sampai mereka kehabisan napas. Maka tatkala dia mencoba menarik kesadaran, Nara buru-buru menatap ke arah TV lagi.
Suasana mendadak hening dan canggung, sampai akhirnya Nara melempar sebuah tanya.
"Pernah nggak, lo ngerasa iri sama persahabatan seseorang?"
Gian mendongak setelah tadi lurus menatap ke arah mie instan miliknya yang sudah dingin. Keningnya berkerut. Kedua matanya berkedip cepat. Kepalanya berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang kurang dia mengerti.
"Kayak yang dikasih segala hal istimewa yang bikin kita ngerasa dihargai dan dibutuhkan, terus bersikap manis, dan selalu ada buat kita saat kita butuh. Pokoknya sesuatu yang bikin kita ngerasa kalau kita benar-benar punya seorang sahabat," lanjut Nara.
"Emang di dunia ini ada hal yang kayak gitu, ya?" dan alih-alih menjawab, cowok itu malah melempar sebuah pertanyaan skeptis yang membuat Nara mendelik ke arahnya.
"Lo skeptis banget jadi orang," sungutnya.
"Kayak yang tahu artinya skeptis apa," kekeh Gian, kemudian memperbaiki posisinya duduk dengan melipat kedua kaki dan menghadap langsung pada sosok itu. "Kenapa emangnya nanya kayak gitu?" tanyanya lagi.
Ekspresi wajah Nara yang tadi terlihat mulai berbinar kini kembali berubah menjadi sendu. "Karena gue selalu iri sama persahabatan orang lain," jawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua
Romance[M] Nara dan Gian bertemu dalam keadaan sedang sama-sama patah hati. Inginnya saling menyembuhkan, lalu membuat perjanjian untuk saling memanfaatkan sebagai pelarian. Namun pada akhirnya, mereka menyadari bahwa mereka seharusnya sembuh dengan semest...