"Nggak ada sebuah pertemuan yang bisa disebut sebagai takdir, 'kan?"
🌻
Menatap pantulan diri pada cermin yang sudah retak itu, si cowok lantas mengulas senyum. Ah, iya. Dia ingat kenapa kaca itu bisa retak. Harusnya sudah diganti, toh harga cermin tak seberapa. Tapi, ada kenangan yang terlalu banyak di sana. Walaupun bukan kenangan manis, sih. Hanya sepenggal kisah memilukan yang kalau diingat itu suka membuat sesak. Ya, manusia memang begitu. Suka sekali mengenang apa yang membuat luka.
"Lo seriusan nggak apa-apa?" sebuah suara lantas menginterupsi Gian yang masih setia mematri diri di depan cermin, lantas menoleh dengan sebuah anggukan pelan yang dia tunjukkan untuk sosok itu.
"Kenapa emangnya?" tanya Gian balik.
Agus, cowok itu, nampak tak yakin dengan apa yang akan dia katakan. Dia terdiam, lantas menggaruk tengkuknya sejemang sebelum kembali melempar tanya. "Ya... lo tahu sendiri, 'kan, maksud gue apaan?"
Mengerti dengan apa yang ditanyakan, sang lawan bicara kemudian menganggukkan kepalanya. "Semuanya udah lewat, kok. Kalau gue nggak makasain juga semuanya bakalan tetap sama aja," jawabnya, pun meraih tas jinjing berisi keperluannya. "Trauma itu dihadapi, bukan dihindari." lanjut cowok itu.
Agus lantas mengangguk, pun membalas. "Okey,"
Keduanya lantas terdiam, sementara Gian kini sibuk memasang sepatu sneakers putih miliknya. "Udah mau berangkat?"
Gian mendongak, tatapannya lantas teralihkan dari sepatu ke arah Agus yang menanti jawabannya. "Iya, sekalian nebeng sama Ayuk*) Adin. Males bawak motor,"
"Malam minggu kayak sekarang Bengkulu macet, nanti datangnya telat. Terus dibilang nggak profesional," cibir Agus kemudian.
"Ya, salah Ayuk Adin, dong. Dia yang punya WO*),"
Agus lantas mencebik, pun kembali membalas. "Egois banget lo,"
Tak mau berlama-lama lagi, Gian lantas melangkah keluar dari kamar kosnya pun mengunci kamarnya setelah mendorong Agus yang berdiri di ambang pintu. "Udah, ah! Gue berangkat dulu,"
Agus lagi-lagi mengangguk, lantas melambaikan tangannya. "Hati-hati," Gian mengangguk, "Kalau kenapa-napa telpon gue aja!"
"Iya, iya. Doain semoga lancar, ya!" balas Gian sembari menutup pintu gerbang kosan mereka.
Pun setelahnya, punggung dengan hoodie hitam itu perlahan-lahan menghilang. Agus yang masih berdiri lantas menghela napas, pun berharap bahwa semua benar-benar akan baik-baik saja.
🌻
Betul kata Agus tentang jalanan yang macet tadi, sebab mereka kini telat beberapa menit dari perjanjian yang seharusnya. Untung saja acaranya belum di mulai dan tak ada protes yang akan mereka dengarkan. Gian menghela napas panjang tatkala melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan itu. Ada sekelebat kenangan mampir yang membuat sesak, tapi Gian mencoba untuk menyembunyikan semuanya sekuat tenaga.
Mereka lantas mengekor pada Adin selaku pemilik WO, pun berbincang-bincang dengan kedua mempelai sebentar, sebelum akhirnya mereka kembali ke posisi masing-masing. Beberapa menit kemudian, satu per satu tamu undangan hadir dan ruangan yang tadinya hanya diisi oleh mereka perlahan ramai. Riuh rendah perbincangan yang tak Gian mengerti, di tambah lagi dengan live music accoustic yang menyanyikan lagu berjudul 'Best Part'.
Ah, lagu ini.
Lamunan Gian lantas pecah tatkala Adin menepuk bahunya, lantas berkata. "Ayuk nggak mau hasilnya jelek, ya, Gi. Kamu tahu sendiri Ayuk gimana,"

KAMU SEDANG MEMBACA
Dua
Romance[M] Nara dan Gian bertemu dalam keadaan sedang sama-sama patah hati. Inginnya saling menyembuhkan, lalu membuat perjanjian untuk saling memanfaatkan sebagai pelarian. Namun pada akhirnya, mereka menyadari bahwa mereka seharusnya sembuh dengan semest...