"Gue nggak tahu salah gue apa, tapi kayaknya Tuhan beneran ngasih gue nasib buruk buat ngehukum gue."
🌻
Sebelas malam, Kota Bengkulu yang gerimis.
Dijam segini, biasanya orang-orang di kosan akan duduk di teras sembari bercengkrama dengan beberapa makanan ringan sampai pagi, kemudian tidur untuk beberapa jam sebagai penghemat tenaga supaya bisa menghadapi hari membosankan dengan kegiatan monoton lainnya.
Namun sekarang, ketujuh penghuni kosan itu hanya terdiam dengan kedua mata sendu. Nara hanya diam dengan sebuah tas dalam genggaman, sedangkan Gian sedang memanaskan mobil miliknya yang sudah terparkir cukup lama di garasi kosan.
Malam ini semuanya terasa begitu berat dan juga suram.
Setelah tadi menerima telepon dari seseorang yang Gian yakini adalah keluarga dari cewek itu dan melihat Nara yang tersedu-sedu untuk beberapa menit, cowok itu malah menemukan Nara yang terdiam dengan tatapan kosong. Seolah-olah di dalam kepalanya dia tengah menyimpan banyak hal menyakitkan yang tidak mampu dia ungkapkan.
Gian kemudian meraih tas di dalam genggaman cewek itu untuk meletakkan benda itu ke dalam bagasi mobil, lantas menghampiri Rio yang sejak tadi diam di dekat mobil sembari fokus menatap Nara yang hanya diam dengan punggung bersandar pada bagian samping mobil tanpa mengatakan apa-apa.
Kabar ini memang terlalu tiba-tiba, ditambah dengan berita dari Deri bahwa kemungkinan besar orangtua Nara adalah mereka yang sedang heboh dibicarakan.
"Nara udah dimintai izin?" tanya Rio pada Gian.
Cowok itu mengangguk, lantas menghela napas sembari berusaha mengulas senyum. "Udah, Bang. Langsung ke temen seruangannya," jawabannya kemudian.
"Ya udah, hati-hati di jalan. Nggak usah ngebut," kata Rio lagi sembari menepuk pundak cowok itu.
Setelah berbicara dengan Gian sebentar, cowok itu kemudian menghampiri Nara dan memeluknya. Dalam diam Nara menerima pelukan yang entah kenapa terasa begitu menyesakkan hati itu, lantas mengelus punggungnya pelan. Setidaknya hanya ini yang bisa Rio berikan.
"Nara, I'm so sorry to hear about your parents. I hope they rest in peace, ya?" kata Rio, kemudian melepas pelukan itu dengan keempat cowok lainnya--yang berdiri dibelakang Rio--mengangguk.
"Sorry juga kita nggak bisa ikut nemenin lo pulang ke Manna," kali ini Ben yang berkata.
Mengulas senyum susah payah, Nara kemudian menjawab. "It's okay, Bang. Thank you in advice," bersama dengan suara yang terdengar begitu sengau.
Gian kemudian membukakan pintu penumpang untuk Nara, lantas menuntun cewek itu untuk duduk di sana. Setelah itu, dia kembali menghampiri kelima anggota kosan lainnya yang menunggu di tempat mereka bersama ekspresi wajah yang terlihat khawatir dan juga sedih.
"Titip kosan, Bang. Kita berangkat dulu!" seru Gian.
Melambaikan tangan dan kalimat berbau doa lainnya agar mereka berdua tiba di tempat tujuan dengan selamat, Gian kemudian mengangguk dan menekan pedal gas untuk melajukan benda itu menuju tempat yang akan mereka tuju.
🌻
Sesuai dengan perkiraan Gian, perjalanan mereka yang akan dilewatkan selama tiga jam lebih ini hanya akan diisi oleh keheningan. Gian mengerti dan tidak mau menuntut cewek itu untuk bersikap baik-baik saja, bahkan dia sekarang jauh lebih khawatir saat melihat bagaimana air mata yang dia harapkan keluar malah tertahan pada pelupuk mata dengan sorot sendu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua
Romance[M] Nara dan Gian bertemu dalam keadaan sedang sama-sama patah hati. Inginnya saling menyembuhkan, lalu membuat perjanjian untuk saling memanfaatkan sebagai pelarian. Namun pada akhirnya, mereka menyadari bahwa mereka seharusnya sembuh dengan semest...