Mencintai Diri Sendiri

132 9 2
                                    

"Menurut lo, mencintai diri sendiri itu gimana?"

🌻

Perjalanan dari Bengkulu ke Kepahiang memang tidak sejauh Bengkulu menuju Manna, paling tidak waktu yang dibutuhkan adalah sekitar satu jam atau bahkan kurang--tergantung kecepatan si supir membawa kuda bermesin itu. Sebab yang Nara tahu pagi tadi dia masih berbincang asyik dengan Ben mengenai masalah alternatif universe yang mendadak banyak dijadikan buku, tetapi siang ini dia sudah berada di tempat yang berbeda.

Yang lebih mengejutkan dari apa yang ekspektasi cewek itu bayangkan adalah rumah tempat sosok cowok yang sejak tadi masih terdiam di dalam mobil yang mereka kendarai. Bagaimana tidak, rumah minimalis dengan pagar tinggi dan terbuat dari kayu yang Nara yakini adalah kayu jati itu ada di hadapannya. Berdiri begitu kokoh bersama tumbuhan rambat yang membuatnya semakin indah. Sumpah demi apapun, rumah ini adalah rumah impian yang bahkan tidak berani Nara bayangkan akan dia pijaki apalagi dia miliki.

Sekarang semua teka-teki perihal si pengangguran yang bekerja untuk memenuhi isi perut, tetapi punya motor mahal dan mobil mewah serta printilan yang harganya bukan main di dalam kamarnya itu terjawab sudah. Entahlah, kalau kata Rio si pengangguran ini memang punya pekerjaan sampingan jadi influencer. Namun Nara tidak yakin si influencer yang suka bernyanyi dan melakukan siaran langsung ini punya uang sebanyak itu.

"Gian?" pada akhirnya Nara memecah hening di antara rasa terkejutnya yang tak kunjung habis.

Si empunya nama menoleh, lantas tersentak sebelum akhirnya sebuah senyum terukir. Klakson mobil ditekan, hingga tak lama kemudian gerbang itu terbuka dengan seorang lelaki paruh baya yang mendorongnya bersama sebuah senyum terukir pada wajahnya yang penuh kerutan.

Nara pikir Gian akan jadi si anak manis yang menyapa semua pekerja yang ada di rumahnya, akan tetapi yang dia dapati malahan seorang pria dingin dengan tatapan tajam. Cewek itu lagi-lagi dibuat terkejut dengan semua perubahan yang Gian tunjukkan, seolah-olah hari ini Gian tidak dalam mood yang begitu baik untuk sedikit memperlihatkan senyum seperti biasa dia lakukan.

Setelah turun dan masuk ke dalam rumah yang tak kalah menakjubkan dari tampilan luarnya, kedua anak manusia itu disambut oleh dua perempuan berwibawa dengan tatapan yang memancarkan sebuah kerinduan. Nara menoleh ke arah cowok itu, akan tetapi dia tidak menemukan sebuah tatapan rindu. Gian tertegun dengan tatapan dinginnya.

"Kamu asal mana, Cu?" tanya sosok yang Nara yakini sebagai Nenek dari Gian itu.

Keheningan dan rasa canggung yang tadi mendekap berhasil dicabik, Nara tersenyum ramah kemudian menjawab pelan. "Saya asal Bengkulu Selatan, Nek."

Si nenek mengangguk-angguk paham, pun tersenyum lebar. "Wah, Nenek dulu punya temen tinggal di sana. Kamu tahu Nyi Asi? Dia temen Nenek," katanya.

Jujur, Nara sendiri bingung ingin menjawab pertanyaan itu dengan kalimat yang seperti apa. Bengkulu Selatan bukanlah kabupaten kecil yang bisa dikelilingi satu malam dan dihuni oleh sekitar dua puluh orang yang bisa dihapal di luar kepala. Namun ketimbang mengatakan isi kepala, Nara memilih diam sembari mencoba tersenyum--walaupun berakhir kikuk, sih.

Untungnya si perempuan yang berdiri di sebelahnya tadi menimpali, "Ibu, mereka baru aja nyampe. Disuruh istirahat dulu aja, ya?" dengan suaranya yang lembut, tetapi terkesan tegas dan berwibawa.

Sebuah anggukan kemudian menjadi jawaban, sebelum akhirnya perempuan itu pergi meninggalkan ketiganya dengan tubuh yang sudah dibantu oleh sebuah tongkat. Nara masih diam, ekspresi wajahnya masih terlihat kikuk dan juga canggung.

Perempuan tadi lantas menepuk pundak Gian, pun berkata. "Gian, papa kamu ada di dalam. Temui dia dulu ya, Nak?" yang terdengar seperti sebuah permohonan.

DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang