The Truth Untold

164 10 6
                                    

"Mungkin, rasa sakit saat mencintai itu nggak seberapa ketimbang rasa sakit akibat ekspektasi perihal dicintai padahal hanya dijadikan tempat untuk lari."

🌻

Pagi yang indah di atas langit desa Kebawetan, Kepahiang. Sebuah tempat yang belum pernah cewek itu pijaki dan lihat dengan kedua mata kepalanya sendiri. Dulu, dia hanya melihat keindahan Kepahiang lewat foto yang tersebar di sosial media. Entah itu dari postingan teman-temannya atau mungkin media lain yang menyebarkan keindahan kota ini. Namun hari ini, dia di sini berdiri tegak di atas pijakan sendiri memperhatikan hamparan kebun teh yang begitu luas.

Sejenak dia terdiam dan tenggelam dalam isi kepala sendiri. Mengabaikan bagaiaman eksistensi manusia yang berdiri di sebelahnya. Mereka sama-sama terdiam. Namun bedanya, Nara terdiam dikarenakan terpaku pada pemandangan di hadapan sana, sedangkan Gian terdiam karena hal lain. Yang tentu saja tidak diketahui oleh sosok cewek yang mendadak mengajaknya untuk keluar dari rumah dan melihat sekeliling.

Konversasi semalam coba diabaikan, walaupun hati remuk mendapati sosok yang diharapkan memberikan sebuah jawaban berupa anggukan malah menghindari dengan mati-matian. Nara mencoba memaklumi. Mereka baru kenal tiga bulan, memangnya apa yang diharapkan dengan pertemuan sesingkat itu terlepas dari status mereka sebagai teman tidur alias friend with benefit--yang sebenarnya nothing benefit she got, sih.

Menghela napas, cewek itu kemudian menoleh dan mendapati Gian yang masih enggan membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu yang mungkin bisa menenangkan hati milik Nara yang sedikit gelisah karena konversasi semalam. Namun setelah lebih dari semenit dia menatap sosok itu, Gian masih bersikukuh untuk terdiam. Nara kembali menghela napas dan mengulas sebuah senyum.

"Gue baru pertama kali ke sini," katanya.

Tersentak kaget akan kalimat yang baru saja dia dengar, Gian kemudian menoleh. "Is it me the first time again, huh?"

Sejenak Nara terdiam mendengar pertanyaan yang baru saja cowok itu ajukan. Hatinya terenyuh entah karena apa. Barangkali karena Gian kembali menjadi orang pertama yang membawanya menelusuri sebuah kota kecil seperti Bengkulu atau karena dia sadar bahwa selama ini dia tidak pernah punya keberanian bahkan kesempatan untuk melihat dunia luar akibat sebuah rasa bersalah.

Pilihannya tidak ada yang bagus, ya?

"Ya, it's you."

Gumaman kecil itu masih dapat Gian dengar. Suaranya yang terdengar sendu membawa cowok itu pada rasa bersalah yang tak terhingga. Perasaan yang selama ini coba dia abaikan, perasaan yang sejauh ini masih mendominasi hatinya yang plin-plan. Gian mendengus pelan, kedua matanya menatap lurus, dan bibirnya kembali terkatup.

"Langitnya emang sering mendung, ya?" lagi, Nara bertanya.

Mengedikkan bahu, Gian lantas mengeratkan jaket yang membalut tubuh akibat suhu yang terasa dingin. "Pegunungan emang kayak gini," jawabnya.

Setelah itu mereka kembali terjebak dalam hening. Kecamuk di dalam kepala lagi-lagi mendominasi. Namun helaan kesekian yang Gian lakukan menjadi sebuah awal dari rasa bersalah miliknya dan juga penyesalan milik Nara. Cowok itu membulatkan tekat dan meyakinkan diri, bahwa semua hal yang dia lakukan harus dihentikan sekarang.

"Nara," panggilnya dan si empunya nama menoleh, "Omongan Nenek kemaren nggak usah didengerin," lanjutnya, "Biasa, orangtua tu suka ngawur kalau ngomong."

Nara menoleh memperhatikan sosok yang mendadak terlihat bersalah. Dari sorot matanya cewek itu tahu bahwa ada sesuatu yang Gian sembunyikan. Cewek itu ingin bertanya, akan tetapi semua kalimat itu tak pernah mampu dia ucapkan. Sedangkan kalimat yang Gian tanyakan tadi sama sekali tidak dia respon.

DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang