Missunderstood

282 18 0
                                    

"Terkadang, terlepas dari niat yang mau lo lakuin ke orang lain, nggak jarang orang menilainya dengan cara yang berlawanan dengan apa yang mau lo sampaikan."

🌻

"Apa kabar?"

Nara membeku. Kakinya terasa tak berfungsi sebaik sebelumnya untuk menopang tubuhnya yang stagnan. Kedua matanya menatap sosok itu lekat dengan napas yang terputus-putus. Rasanya seperti mengalami sebuah musibah paling menyedihkan, tetapi tidak bisa lari untuk menyelamatkan diri. Di hadapannya ada seekor singa yang kelaparan dan siap melahapnya saat itu juga, sementara di belakanya adalah jurang yang curam dengan bebatuan yang pasti akan menghancurkan tubuhnya seketika.

Namun pada akhirnya, Nara kembali mengumpulkan kesadaran dan keberaniannya yang berserakan tatkala melihat sosok itu. Dunia yang tadi terasa berhenti, mendadak kembali normal. Suara yang hanya terdengar seperti dengungan kini terdengar seperti tadi. Semuanya kembali seperti semula, dengan Nara yang berusaha untuk bersikap biasa saja.

Tersenyum, Nara. Sosok itu tidak mau tahu kalau kamu belum bisa melupakan semua hal tentangnya.

"Sesuai dengan apa yang lo liat sekarang," jawab Nara sembari mengedikkan bahunya mencoba terlihat biasa-biasa saja.

Dia, Kavin namanya, cowok yang pernah menjadi bagian dari memori terburuk yang pernah Nara miliki sepanjang hidupnya. Satu dari sekian banyaknya alasan di mana dia tak pernah melirik para cowok untuk dijadikan teman dekat atau bahkan pacar. Sosok yang mengubah cara pandangnya terhadap percintaan. Sosok yang berhasil memporak-porandakan kehidupannya semasa kuliah.

Di tempatnya, Kavin kini tersenyum. Sebuah senyum yang terlihat menyebalkan dan sarat akan ejekan di mata Nara. Cowok sama sekali tidak berubah, pikirnya. Masih suka memandang orang dengan tatapan merendahkan. Masih suka tersenyum meremehkan. Masih suka menelisik seolah menilai di dalam kepala tentang penampilan seseorang. Sosok yang tidak akan pernah Nara maafkan bagaimanapun caranya untuk memohon maaf darinya.

"Lo kerja di sini, ya? Udah lama?" tanya cowok itu kemudian.

Lagi, Nara mengangguk sembari memeluk tubuhnya sendiri tanpa sadar. "Lumayan, sih. Udah hampir tiga tahun," jawabnya.

Kedua manik lelaki itu terlihat membola, pun bertanya lagi. "Jadi, tamat kuliah langsung lamar ke sini?"

Nara hanya mengangguk sebagai jawaban dan menjadi akhir dari konversasi mereka. Pikirnya, Kavin akan mengakhiri pertemuan mereka dengan sebuah kalimat perpisahan. Nara juga sudah siap untuk memasang wajah dengan senyum sumringah yang hadir bersamaan lambaian tangan yang kuat padanya. Hanya saja sayangnya, cowok itu masih di sana dengan kedua manik menatap lekat padanya. Nara seketika dibuat menoleh dengan kening berkerut.

"Kita udah berapa lama nggak ketemu, ya?" tanya cowok itu tiba-tiba, tatapannya terlihat seperti tengah memancarkan sebuah rasa rindu yang membuat Nara setengah mati menahan rasa mual.

Cewek itu memalingkan wajahnya cepat, pun menjawab dengan intonasi suara yang terdengar dingin. "Nggak tahu," lalu tersenyum, lagi. "Gue duluan, ya? Udah malem juga," lanjutnya memutus konversasi mereka.

Cowok itu terlihat kecewa, pun berakhir menawari Nara tumpangan. "Bareng gue, ya?" lantas mengacungkan telunjuknya ke arah mobil yang berada di pelataran parkir bandara, "Gue bawa mobil soalnya, jadi lo nggak kena angin malam. Lo biasanya pilek kalau kena angin malam, 'kan?"

Bener-bener cowok manipulatif, geram Nara di dalam hati. Cewek itu lantas tersenyum dengan kepala menggeleng pelan sebagai jawaban. Sosok itu terlihat menekuk wajahnya. Dia kesal, padahal sudah berusaha sekuat tenaga untuk bersikap baik. Di dalam hati sedang bergumam sebal. Nara dan sikap sok jual mahalnya masih bertahan ternyata.

DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang