"Jadi intinya, gue jadi orang pertama yang bisa ngajak lo ke sini dan itu berarti gue orang istimewa, 'kan?"
🌻
Mengerti orang lain bukanlah hal mudah, mencoba untuk dimengerti juga sulit. Ketika yang dibutuhkan bukanlah sebuah kalimat sarkas pembanding agar tidak merasa berkecil hati terhadap takdir yang semesta berikan, semua orang malah berpaling dan seolah mencoba untuk tidak perduli.
Masa bodoh, terserah, dan banyak lagi kalimat yang terasa seperti meremat jantung begitu kuat. Terkadang, ada masa di mana hati mencoba untuk memberontak sebab tak lagi kuat untuk menjadi kertas putih yang siap diberikan goresan tinta kelam kisah seseorang. Namun tidak, logika mencekal untuk tetap bertahan dan berbisik lirih; bertahanlah atau orang-orang akan pergi meninggalkanmu sendirian.
Bodoh rasanya ketika masih saja bertahan, tapi siapa pun tak ingin sendirian. Nara kecil mencoba mengerti semua itu, mungkin orang-orang tidak mau mendengarkan kisah menyedihkannya. Jadi, Nara tetap bertahan dan mencoba menerima semuanya. Hanya saja makin ke sini, orang-orang tidak mau berteman dengannya.
Sebab Nara selalu di suruh pulang, belajar, dan belajar. Tidak boleh bermain dengan orang-orang bodoh yang bisa memberikan pengaruh buruk padanya. Jadi, Nara kecil hanya bisa terjebak di dalam rumah bersama Gara--adiknya yang satu tahun lebih muda dari Nara.
Terkadang, mereka sering diam-diam bermain petak umpet seperti anak-anak kecil lainnya. Diam-diam bolos dari kelas tambahan, pergi ke taman hanya untuk merasakan bagaimana sensasi menaiki jungkat-jungkit. Namun semuanya berubah ketika Gara jatuh dari jungkat-jungkit, kepalanya berdarah sebab terbentur semen di bawah mereka. Nara dimarahi, gadis kecil berusia tujuh tahun itu dimarahi habis-habisan tanpa satu pun yang membela. Ibu hanya khawatir pada Gara, khawatir pada sang anak lelaki yang begitu dia banggakan.
Nara itu nakal, Nara itu bodoh, Nara itu jelek. Tidak seperti Gara, dia ganteng dan lucu. Semua orang suka. Nilainya selalu tinggi, dia pintar segalanya. Bahkan, Gara hanya membutuhkan waktu dua hari untuk menghapal diagram perkalian saat berusia empat tahun sementara Nara membutuhkan waktu sekitar seminggu. Ibu tidak suka anak bebal, tidak suka anak yang tidak berguna dengan otak setengah berfungsi seperti dirinya. Hingga pada titik tergila itu, Nara mencoba untuk menjadi seperti apa yang ibu dan ayahnya mau.
Nara tidak mau ibunya marah, Nara tidak mau selalu dibandingkan dengan Gara, Nara menyayangi Gara dan dia tidak bisa membenci adiknya itu. Gadis itu tidak mau dikucilkan oleh ayahnya, Nara tidak mau sang ayah menatapnya jijik seperti biasanya.
Tidak mau, Nara tidak mau. Jadi dia berubah, belajar lebih giat bahkan melupakan semua mimpi yang sempat hadir. Masa bodoh dengan waktu bermain yang dia tidak punya sebab dihabiskan untuk belajar, masa bodoh dengan festival di pusat kota yang selalu dia impikan sebab ingin naik kuda unicorn yang ada di komedi putar, masa bodoh juga dengan gula-gula kapas yang belum pernah dia coba rasanya.
Matahari sudah terbenam, semburat jingga terlihat cantik di upuk Barat sana. Nara menguap sebentar sebelum kembali meluruskan punggungnya dan merenggangkan otot tubuhnya yang terasa kaku.
Prakiraan lagi-lagi salah. Katanya sore nanti akan hujan, tapi Bengkulu tetap saja menjadi kota di pinggir pantai yang panas dengan suhu lebih dari tiga puluh derajat celsius. Tak ada yang bisa diharapkan pada kebenaran di media massa atau bahkan sosial media.
Beberapa menit setelahnya Nara menlirik pada jam tangan yang melingkari tangannya ak terasa, lantas tersenyum sebab waktu untuk pulang sudah tiba. Billa yang duduk di sebelahnya menoleh dan ikut tersenyum, kedua matanya terlihat berbinar. Nara terkekeh, seolah paham dengan isi kepala cewek itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua
Romansa[M] Nara dan Gian bertemu dalam keadaan sedang sama-sama patah hati. Inginnya saling menyembuhkan, lalu membuat perjanjian untuk saling memanfaatkan sebagai pelarian. Namun pada akhirnya, mereka menyadari bahwa mereka seharusnya sembuh dengan semest...