"Pada akhirnya, kesempatan itu cuma omong kosong."
🌻
Gian hancur. Seumpama seonggok daging yang tergeletak di sudut kamar, tak berdaya--hanya bernapas sebab masih bernyawa. Kedua bola matanya enggan untuk tertutup, sedangkan kepalanya terus berkeliaran memikirkan semua kesalahan yang membuatnya menyesal setengah mampus. Satu minggu agaknya tidaklah cukup untuk memberinya waktu agar menerima keputusan yang sudah dia ambil.
Ponsel yang ada di atas nakas sebelah ranjang tempatnya berbaring sudah kehabisan daya setelah nyaris dua hari tidak berhenti memperdengarkan notifikasi pesan dan panggilan telepon, yang sama sekali tidak Gian gubris. Gian benar-benar mengabaikan seluruh dunia, bahkan panggilan sang mama dan juga neneknya yang menyuruhnya untuk keluar makan atau menghirup udara segar.
Gian kembali menjadi seperti dua tahun yang lalu.
Kalau orang-orang mendengar kisahnya, barangkali dia akan dimaki dan juga dikatakan bodoh karena sudah menyia-nyiakan cewek seperti Nara. Namun di sisi lain, dia hanya tidak sanggup untuk memeluk bahagia yang barangkali akan dia dapatkan dari cewek itu sedangkan Safira sudah lama tiada.
Entahlah, cowok itu berharap ada satu saja manusia di dunia ini yang bisa memahami isi hatinya.
Saat sedang asyik berkeliaran dengan isi kepalanya yang dipenuhi oleh Nara, tiba-tiba pintu terbuka dan menampilkan sosok wanita paruh baya dengan senyum secerah matahari. Wanita itu terlihat berjalan tertatih-tatih dengan punggung yang sedikit bungkuk, rambutnya sudah memetuhi dengan keriput yang memenuhi wajahnya.
Namun di mata Gian, wanita ini tetaplah sosok yang terlihat cantik dan juga anggun seperti puluhan tahun silam.
"Kenapa kamu nggak balik Bengkulu?" tanya sang nenek, lantas duduk di sisi ranjang sedangkan Gian masih bergeming di tempatnya.
Cowok itu lantas terkekeh pelan, pun menimpali pertanyaan sang nenek barusan. "Nadanya kayak ngusir gitu, padahal Gian masih kangen sama Nenek."
Wanita itu lantas diam beberapa detik, kedua matanya yang teduh menatap sang cucu cukup dalam hingga membuat Gian merasa tidak nyaman dengan posisinya. Entahlah, cowok itu merasa bahwa sang nenek sedang menatapnya kasihan. Seolah-olah tidak sanggup untuk pergi meninggalkan dunia sementara cucunya yang payah ini masih jadi si pecundang yang galau karena masalah percintaan.
"Waktu kamu diusir sama papamu dulu, perasaannya gimana?" tanya wanita itu tiba-tiba, lantas melanjutkan. "Dendam, kah? Atau sedih?"
Kali ini giliran Gian yang terdiam dan membiarkan keheningan menghabiskan waktu di antara mereka. Lantas setelah satu tarikan napas, cowok itu menjawab pelan dan sukses membuat neneknya terpaku melihat sang cucu.
"Dua-duanya sih, Nek."
Namun belum sempat memberikan petuah kuno yang mungkin membosankan untuk didengar anak muda tentang berbakti pada orangtua sekalipun sudah disakiti berulang kali, wanita itu malah mendengar ucapan sang cucu yang membuatnya sedikit merasa tenang.
"Dendam yang bikin Gian jadi semangat buat buktiin kalau Gian bisa jadi pelukis dan penyanyi sekaligus sama Papa, sedihnya karna orang yang Gian pikir bakal ngasih semangat malah ngeremehin gitu."
Setidaknya, kalaupun besok malaikat mau menjemputnya dia bisa pergi ke akhirat dengan perasaan sedikit tenang sudah meninggalkan cucunya yang payah ini dengan sedikit kebijaksanaan yang bisa dia gunakan untuk hidup.
Wanita itu kemudian mengelus pucuk kepala sang cucu, "Wajar dong, dia ngeremehin. Papa kamu itu udah tua, nggak ngerti begituan. Tahunya kamu jadi PNS, polisi, tentara, atau dokter. Mentok-mentok jadi juragan kebon kayak dia," katanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dua
Romance[M] Nara dan Gian bertemu dalam keadaan sedang sama-sama patah hati. Inginnya saling menyembuhkan, lalu membuat perjanjian untuk saling memanfaatkan sebagai pelarian. Namun pada akhirnya, mereka menyadari bahwa mereka seharusnya sembuh dengan semest...