"Perfect don't mean that it's working."
🌻
Gian lupa kapan terakhir kali dia menginjak kaki ke rumah yang selalu dijadikan sebagai impian oleh semua orang--yang tentu saja tidak tahu perihal kepedihan apa yang ada di dalamnya. Perihal bau koyo yang menyengat hidung, serta bau lavender dari pengharum ruangan yang menyatu bersama bau parfum milik sang mama yang selalu menjadi kesukaan Gian.
Napasnya tersengal, seolah-olah baru saja berlari ribuan kilometer dan dipaksa untuk berbicara tanpa terputus-putus di depan khalayak umum. Entahlah, padahal sosok yang akan dia temui ini adalah papanya sendiri--sosok yang memang tidak seakrab itu dengan dirinya.
Papanya memang workaholic, terlalu fokus pada satu hal hingga lupa bahwa ada beberapa hal yang juga wajib dia beri perhatian. Namun tidak, mereka adalah orang-orang yang memiliki pola pikir kuno mengenai tugas ayah dan ibu yang memang sudah dibagi sejak mereka lahir. Ayah yang bertugas mencari nafkah dan ibu yang bertugas menjaga anak-anaknya serta mengurus keperluan rumah tangga.
Pada akhirnya, kisah klise mengenai sebuah rumah yang tidak sehangat kelihatannya dihadapi oleh Gian dan juga sang adik. Rasa segan terhadap sosok papa yang keras membuat mereka semakin mengikis jarak. Sosok pria yang selalu memikirkan sebuah kesempurnaan hingga lupa bahwa ciptaan Tuhan adalah manusia-manusia dengan beragam kekurangan.
Gian menutup kembali pintu dan menghirup udara hingga bau lavender serta koyo tercium pada hidungnya yang mancung. Cowok itu melangkahkan kaki. Perlahan, tetapi pasti dengan kepala menunduk menatap lantai berbahan keramik berwarna putih yang dia pijaki. Sedangkan sosok yang pucat pasi itu masih menatap sang anak dengan tatapan matanya yang sayu.
Setelah sibuk bertengkar dengan isi kepala perihal apa yang harus dia katakan sebagai kalimat pembuka, Gian malah terdiam dengan tubuh terduduk di atas sebuah kursi yang berada di sebelah ranjang sang papa. Cowok itu malah membiarkan semua kalimat yang sejak tadi dia rangkai tenggelam dalam keheningan yang mencekik lehernya itu, sedangkan jarum jam terus berputar.
Lelaki yang berada di atas ranjang itu menghela napas, "Kamu tahu Papa sakit apa?" tanyanya kemudian.
Gian sontak saja mendongak, kedua matanya menatap sang papa dengan mimik wajah yang terlihat khawatir dan terkejut. Lelaki itu kembali menghela napas, bibirnya yang kering dan pucat mulai bergerak mengatakan kata demi kata yang membuat cowok itu semakin terkejut.
"Papa darah tinggi dan penyebabnya kata dokter itu adalah terlalu banyak pikiran," katanya lagi melanjutkan, "Dan kamu udah pasti tahu siapa yang Papa pikirin, 'kan?"
Inginnya berontak, lalu mengatakan semua isi kepalanya perihal ego yang terus mendidih akan harga dirinya sendiri. Namun lagi, Gian kembali terdiam pada kenyataan bahwa dia memang penyebab dari semua masalah yang datang dan membuat keluarga ini menjadi berantakan.
Lelaki itu berdeham pelan, air mata sudah menumpuk pada pelupuk mata dan siap terjatuh apabila dia berkedip. "Kamu tahu betul gimana Papa, 'kan? Satu-satunya orang yang kamu lihat nggak pernah megang rokok sampai setua ini, nggak pernah begadang, nggak pernah minum, dan tentu aja terus olahraga supaya badannya sehat cuma gara-gara takut mati kayak bapaknya."
Lagi, cowok itu tertampar pada sebuah fakta menyedihkan. Dia ingat betul bagaimana sang papa berusaha mati-matian menjadikan dirinya sebagai seorang anak yang bersih tanpa nikotin atau bahkan alkohol yang tentu saja akan merusak bagian dalam pada tubuhnya. Kenyataan menyesakkan dada yang membuat Gian diam-diam meremat kedua tangannya yang berada di atas paha.
"Tapi sekarang, yang kamu lihat udah bukan papa kamu beberapa tahun yang lalu. Sekarang Papa udah terbaring di ranjang sebagai manusia penyakitan yang tinggal nunggu waktu mati," katanya melanjutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua
Romance[M] Nara dan Gian bertemu dalam keadaan sedang sama-sama patah hati. Inginnya saling menyembuhkan, lalu membuat perjanjian untuk saling memanfaatkan sebagai pelarian. Namun pada akhirnya, mereka menyadari bahwa mereka seharusnya sembuh dengan semest...