"Kata orang, apa kabar selalu menjadi pertanyaan yang menyesakkan untuk orang-orang yang sudah lama tak bersua dan masih memiliki sesuatu yang tertinggal di dalam sana."
🌻
Jumat siang. Suhu tiga puluh dua derajat celsius. Kota Bengkulu masih menjadi kota panas yang menyebalkan.
Walaupun masih suka melakukan maksiat dan dosa-dosa lainnya, Gian serta Agus tak pernah lupa untuk pergi ke masjid di hari jumat. Kewajiban sebagai seorang laki-laki berstatus muslim di KTP, katanya. Itung-itung sekalian tebar pesona dengan dedek gemes yang biasanya nangkring di warung Mie Ayam Mang Suryo di ujung gang dekat masjid sehabis sekolah.
Setelah pulang dari masjid dengan peci dan kain sarung yang masih menempel pada tubuh, keduanya langsung berlalu masuk ke dalam kamar Gian. Ujang sudah diberi makan tadi sebelum berangkat ke masjid, jadi tinggal tuannya saja yang mengisi perut. Hanya saja sayangnya, saat sedang mau makan suara orang muntah terdengar jelas dari luar sana.
Siapa yang mau makan kalau begini?
Jadilah Gian dan Agus yang terdiam sembari rebahan di atas ranjang, dengan Hero serta sang kakak yang sejak tadi asyik melakukan pengobatan tradisional pada sang adik alias kerok. Punggung cowok itu sudah merah semua, bau minyak goreng bercampur potongan bawang dan balsem semerbak menginvasi kamar Gian yang biasanya harum bunga krisan--harum yang datang dari mesin pewangi udara yang dia sengaja dia beli karena Gian termasuk orang yang sensitif terhadap bau.
Satu hal yang cukup membuat merinding adalah bagaimana sosok Gian yang tidak marah atau mungkin memaki seperti biasanya saat ada orang membawa benda keramat yang paling dia benci di dunia bernama balsem itu. Ditambah dengan kondisi lemari penyimpanannya yang habis dijarah oleh Agus dan Ben, sementara Hero sejak tadi sibuk menahan mual serta berteriak sebal karena sakit.
"Kita adalah remaja jompo Indonesia!" teriak Agus, lantas mengubah posisi tengkurap. "Hidup remaja jompo!" teriaknya lagi, lantas memasukkan satu waffle ke dalam mulut.
Ben yang sedang kesal karena sang adik terus bergerak seketika berdecak dan sukses membuat nyali Agus menciut. "Lo bisa diem, nggak? Kepala gue pusing ini ditambah teriakan lo,"
Agus melipat bibirnya, pun kembali telentang menatap langit-langit kamar milik Gian. Sementara cowok itu masih di tepi ranjang menghadap dinding. Sejak tadi cowok itu tidak bergerak, sesekali cekikikan, lalu menutup wajahnya seperti sedang menahan malu. Agus sebenarnya mau bertanya kenapa, tetapi takut nanti malah diamuk. Jadinya diam saja. Tidak apa-apa, toh dia sudah kenyang karena snack dari Gian.
"Lo juga sih, bisa-bisanya masuk angin gara-gara pergi ke tabot kemaren. Sok sibuk banget jadi orang," gerutu Agus yang tertuju pada Hero.
Hero seketika meringis, pun menatap pada cowok itu. "Menurut lo siapa yang harusnya bertanggung jawab dengan masalah ini, Wahai Tuan Agus? Lo tiba-tiba aja ngajakin gue naik bianglala, komidi puter, ampe kereta buat anak balita!" cecarnya.
Ah, iya. Agus sampai lupa. "Ya, maaf. Sengaja," katanya sembari terkekeh.
Keempat cowok di dalam satu ruangan itu kemudian terdiam. Ben masih asyik dengan kegiatannya. Sepanjang punggung Hero sudah terlihat merah mengarah pada hitam. Cowok ini benar-benar masuk angin. Kalau dibiarkan bisa kenapa-napa. Sedikit menggerutu pada sang bunda yang memang membiasakan cowok ini dikerok, Ben tanpa sadar menggerakkan tangannya terlalu cepat dan kuat.
"Aduh, Kak! Sakit! Jangan dikerok kuat-kuat kayak gitu!" pekik Hero kesakitan.
Satu tamparan seketika cowok itu dapatkan dari Ben. "Cengeng banget lo jadi cowok!" gerutu Ben.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua
Romance[M] Nara dan Gian bertemu dalam keadaan sedang sama-sama patah hati. Inginnya saling menyembuhkan, lalu membuat perjanjian untuk saling memanfaatkan sebagai pelarian. Namun pada akhirnya, mereka menyadari bahwa mereka seharusnya sembuh dengan semest...