"Hendery! Lo pergi?" Teriak Jeno panik, kini napasnya tersengal, mungkin karena pria itu memendam marah.
"Dery! Lo tinggalin gue dimana? Ini dimana?"
Katakanlah bahwa Lee Jeno tidak bisa berpikir jernih. Ia sudah tahu pasti jika Hendery memang meninggalkannya sendirian di tempat yang asing tersebut. Akan tetapi, seperti bersikap bodoh, Jeno masih saja memanggil nama orang yang membawanya kemari.
"Hendery, please! Kalo lo ngumpet, candaan lo ini nggak lucu!" Jeno murka, mengepalkan kedua tangan disisi tubuhnya. "Dery! Lo beneran tinggalin gue? Sendirian di tempat yang nggak gue kenal?" Kemudian mendengus tidak menyangka.
Setiap perkataan yang terlontar dari mulut Jeno, hanya mendapat sahutan dari suara gesekan daun dari pohon yang tertiup angin malam. Merasakan bahwa tempat keberadaannya tidak dihuni satu pun orang, Jeno membuang napas kasar.
Sungguh, pria berjaket coklat tersebut benar-benar emosi dengan perbuatan Hendery.
Jeno yang malang, sama sekali tidak mengerti alasan Hendery mengerjainya seperti ini.
Bersamaan dengan perasaan kesal dan muaknya yang membuncah, Jeno juga sakit hati. Kondisinya sebagai orang berkebutuhan khusus, seolah dihina dan perlakuan yang tidak manusiawi itu membuatnya sedih.
Detik ini, pukul delapan malam, Jeno merasa sendiri. Benar-benar menyiksa saat ia yang tidak bisa melihat dunia, sendirian di tempat asing seperti ini.
Pria jangkung bermarga Lee tersebut, hanya terdiam seribu bahasa. Membiarkan pipi mulusnya dijatuhi tiga tetes air mata yang turun tanpa diperintah.
Tanpa Jeno bisa lihat, di sekitar dirinya saat ini memang lah tidak ada orang. Pohon-pohon rimbun yang menjulang tersirami sinar rembulan, berdiri acak dan tidak beraturan di sana. Tempat yang Jeno pijak, berupa tanah bukan jalanan beraspal. Hanya ada satu tiang lampu yang mengusir gelap di sana, alhasil suasananya temaram.
Di wilayah yang lebih terlihat seperti kebun tersebut, tidak ada satu pun rumah. Benar-benar wilayah yang sama sekali tidak berpenghuni manusia.
Kenyataan yang mau tak mau harus diterima Jeno dengan berat hati, bahwa ia yang malang sendirian di tempat senyap ini.
Jahatnya takdirnya, semenjak ia buta ia juga selalu merasa bahwa ia hidup di dunia seorang diri meski dirinya masih memiliki orang-orang yang peduli dan tulus padanya. Jangan lupakan, bahwa Jeno juga bukan hanya memiliki mereka, melainkan banyak penggemar sebagai akibat bekerja sebagai penyanyi apa adanya di agen.
"Eh! Badak terbang bawa tongkat!!!"
Tidak memungkiri, Jeno refleks mengernyit kala mendengar perkataan yang lebih seperti latah tersebut.
Lantas, pria itu, Lee Jeno, yang tidak membawa tongkatnya, berjalan penuh hati-hati menuju sumber suara.
"Ada orang kah? Siapa di sana?" Tanya Jeno, setengah berteriak.
"Waduh!!! Siapa yang barusan ngomong? Zombie, hantu, arwah, setan, atau siapa???"
Mendapati suara lawan bicaranya berseru panik, kerutan dikening Jeno makin dalam. Diam-diam dalam kegelisahan seorang Lee Jeno, ia bersyukur bila ternyata dirinya memang tidak sendiri di tempat yang baginya asing ini.
"Kakek cangkuuuuul!!!"
Bugh
"Sembarangan lo ngomong! Gue orang, monyet! Nama gue Jeno."
"Eh? Gue kira setan! Syukur lah gue ketemu orang dimari. Gue kesasar njir di sini. Naas banget nasib gue make harus kesasar segala elah! Betewe, nih sepatu lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Open Your Eyes
FanfictionDia buta, pemarah, dan kasar. Namanya Lee Jeno. Seorang pemuda yang tidak sempurna. Hidupnya jauh dari kata bahagia setelah Lee Taeyong memintanya mendonorkan mata untuk Lee Haechan. Lalu bagaimana seorang Lee Jeno menjalani hidupnya yang kelam? Bi...