Dear Dream

498 70 7
                                    

Tangisan, isakan, dan raungan dukacita mengisi kediaman keluarga Lee. Rumah sederhana dan minimalis itu disergap kabut yang memburamkan mata. Kenyataan pahit yang tak diduga datang menghantam nestapa, sukses meluluhlantakan asa. Di sana kelam menyelimuti, langit cerah siang hari terasa gelap.

Di luar rumah, tubuh jangkung Jeno yang gemetar berdiri. Tidak ada air muka cerah, wajahnya redup, dibanjiri air mata dan peluh.

Sama seperti orang-orang di dalam rumahnya yang masih menangisi kematian bibi usai pemakaman tadi selesai dilaksanakan, mereka dan Jeno merasakan kepedihan yang sama. Jeno mendapat porsi lebih banyak karena ia dituduh sebagai penyebab bibi meninggal oleh keluarganya sendiri.

Paman, Mark, Taeyong, dan Haechan kini membenci Jeno. Semuanya tidak menyayangi Jeno dan menganggap Jeno pria cacat pembawa malapetaka. Bahkan tampaknya mereka tidak akan ragu mengusir Jeno pergi dari rumah.

Air mata Jeno jatuh semakin deras beriringan dengan rasa sakit yang menyiksa hatinya. Isakannya berbenturan dengan suara semilir angin, terdengar pilu.

"Masih belom cabut juga ya lo!"

Mark tiba-tiba menghampiri Jeno dan membentaknya. Sorot mata pria berkaus gelap itu setajam pedang, dirinya yakin kematian sang ibunda tercinta disebabkan oleh Jeno, orang yang selama ini selalu ia bela dan ia anggap saudara sedarah.

Tak pernah Jeno kira, Mark mencengkram kerah kemejanya. Melayangkan tatapan nyalang yang tidak dapat dilihat Jeno. Rahang wajah pria berdarah Kanada itu mengeras.

"Lo masih belom puas bawa kesialan dalam rumah ini, hah! Abis ini siapa yang bakal lo buat meninggal! Gue? bapak gue? Kak Taeyong? Haechan?" Mark berseru marah.

"Mark..." Lirih Jeno.

Jeno semakin terisak, ia semakin tenggelam dalam pilu hingga rasanya ia kehabisan oksigen dan tidak bisa bernapas.

Jeno merasa tertohok. Baru kali ini ia mendapati seorang Mark Lee kecewa dan marah padanya.

"Kenapa harus mama gue, Jen?" Suara Mark yang memelan, bergetar. Cengkramannya pada kerah kemeja Jeno melonggar. "Karena lo, karena lo buta, lo nggak bisa nyelamatin mama gue yang dalem bahaya." Tanpa diperintah, air mata Mark untuk kesekian kalinya mengalir deras.

"Gue belom sempet buat mama bahagia dan bangga." Terpancar penyesalan dalam nada suara Mark. "Kenapa mama harus pergi secepat ini..."

"Ternyata selama ini Haechan bener, lo itu pembawa sial, pengacau, dan nggak guna! Buat diri sendiri aja nggak bermanfaat apalagi buat orang lain, cuma bisa ngundang derita!"

"Mark..." Tukas Jeno, sudah tidak tahan dengan perih dihatinya. Tidak berselang lama, pria itu bersimpuh di atas tanah, memeluk kaki jenjang saudara yang telah ia buat kecewa.

Mark tidak berbuat banyak selain menatap nyalang Jeno dengan matanya yang tidak berhenti menjatuhkan cairan bening.

"Maaf." Satu kata dari mulut Jeno terkesan sungguh-sungguh.

"Gue sadar, gue salah, gue udah menyusahkan kalian. Maaf cuma jadi pengacau bagi kalian. Maaf..."

Mark mendengus.

"Gue juga sedih, Mark. Gue juga nggak bisa terima kematian wanita yang selama ini sayang sama gue kaya anaknya sendiri. Gue udah anggap ibu lo, ibu kandung gue sendiri. Gue juga terluka atas kepergiannya."

Masih berderai air mata, Mark mendecih sarkas. Sempat mendongak hanya untuk menarik napas panjang.

"Luka itu diciptakan sama lo. Coba inget kejadian malam itu, Jen. Andai lo bisa lindungin mama, mama pasti masih ada sampe sekarang, sama kita, di rumah ini." Mark menoleh, menatap nanar rumahnya.

Open Your Eyes Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang