Lara Baru

500 58 2
                                    

Malam kelam membungkus langit kota Seoul, bintang-bintang menghiasi. Di atas hamparan rerumputan seorang pria bersweater putih duduk memeluk kedua kaki sembari memejamkan matanya. Tongkat miliknya yang sering dibawanya bila keluar rumah, tergeletak disisinya.

Angin sepoi berhembus, meniup anak-anak rambut pria tersebut dan menari-nari kecil didahi.

"Jeno!"

Pria tersebut tidak berkutik.

"Woy, lah! Apaan tuh yang putih-putih! Gue kira setan!"

Taeyong yang baru tiba di samping Jeno, menepuk keras punggung adiknya itu. Seketika Jeno membuka matanya. Dengan sepengetahuan Jeno, Taeyong duduk di sampingnya.

"Lo ngapain malem-malem ngelayap kemari? Mana nggak izin!" Taeyong mengomel. "Laen kali kalo mau pergi tuh bilang dulu! Gue ngeri lo ilang, Jen!"

Tampang lesu Jeno sama sekali tidak terusir dengan kehadiran Taeyong. Alih-alih merespon kakaknya, Jeno menghembuskan napas kasar. Taeyong yang memperhatikannya ikut menghembuskan napas.

"Denger," Taeyong menjatuhkan telapak tangannya ke bahu kiri Jeno.

"Hmm?"

"Adek temen lo koma, itu bukan salah lo."

Jeno mendengus miris.

"Bener kata kakak. Harusnya gue nggak pernah lahir ke dunia ini. Harusnya gue nggak pernah muncul dirahim mama-"

Taeyong mengernyit tak suka, "Kapan gue bilang gitu! Alasan gue ngomong kaya gitu apa coba!" Potongnya dengan suara meninggi.

Jeno berdecak pelan, "Pernah, kak. Kakak pernah bilang." Kata Jeno lemah. "Gue cuma buat masalah di dunia ini ya, kak? Karena gue, orangtua kita meninggal. Karena gue juga, Mi Cha yang masih berhak jalanin masa mudanya koma di rumah sakit. Gue pengacau. Pembawa sial." Suara beratnya gemetar.

"Jeno!" Tegas Taeyong. "Ati-ati kalo ntu mulut nyerocos ya! Lo itu... Lo itu adek gue. Bukan pembawa sial. Musibah yang menimpa keluarga kita dan adeknya temen lo, itu udah takdir. Lo nggak mengacau." Sergahnya sempat meragu, kemudian meyakinkan Jeno.

"Kakak nggak marah?"

"Marah?" Taeyong tertawa kecil, "Marah kenapa?" Cibirnya.

"Udah nggak marah sama gue? Udah nggak benci kaya dulu?"

Sejenak, Taeyong mendongak, menatap langit. Lima detik memejamkan mata, ia meringis. Teringat kesalahannya pada Jeno, membuat perasaannya dihujam pedih.

"Maaf."

Satu kata yang meluncur bebas dari mulut Taeyong, menjadi penyebab Jeno kini memelotot. Taeyong yang mendapati raut kaget adiknya, terkekeh. Menurut pria berjaket mocca itu, wajah Jeno terlihat begitu polos.

"Oh ya, lo belom makan malem. Gue nggak mau kesehatan lo bermasalah. Di deket sini ada yang jualan cumi bakar. Gue beli buat kita berdua ya?"

Suara Taeyong yang bernada riang, membuat Jeno tidak tahan untuk mengulum senyum tipis kemudian mengangguk.

Setelah Taeyong kembali bersama cumi-cumi bakar yang dibelinya, ia menyuapi Jeno makan. Jeno sempat menggerutu, bilang diusianya dua puluh dua tahun sudah tidak pantas dirinya disuapi makan. Akan tetapi, tanpa dosa Taeyong membalas perkataan Jeno dengan santai.

"Mending gue nyuapin lo, dari pada nyebokin Haechan."

Akibat ingin tertawa saat sedang mengunyah, Jeno refleks tersedak dan batuk-batuk kecil.

"Emang pernah?"

"Iya." Jawab Taeyong.

"Kok lo mau sih?"

Open Your Eyes Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang