Menunggu Cahaya Jingga

472 60 2
                                    

"Jenoooo, main kuy!"

Tepat saat Lucas menghentikan sepedanya di depan rumah temannya. Paman keluar dan mengambil duduk di kursi dekat jendela. Pria yang merupakan ayahnya Mark itu tengah menikmati secangkir kopi hangat buatan istrinya pagi ini.

"Bukan anaknya Pak Park?" Paman membuka suara.

"Betul." Lucas mengangkat ibu jarinya ke atas. "Saya anaknya Pak Wong."

"Oh, perasaan kamu udah pernah ke sini deh."

Lucas berdecak pelan, menepuk jidatnya sesaat. "Kan sering, om. Om juga sering liat saya kemaren-kemaren."

"Emang ya?" Paman tampak berpikir.

"Dad, I'm going to college, okay?"

Perhatian dua pria berbeda umur tersebut langsung terarah begitu sosok berkemeja merah, Mark Lee, berseru sambil keluar rumah.

Sembari tersenyum lebar hingga gigi kelincinya terlihat sekali, Lucas melambai pada Mark.

"Yo, Mark!"

"Wow, Lucas!" Mark duduk di motor, memasukan kunci ke dalam lubang kunci. "Take care of my brother, okay! Don't get hurt!"

"Siap, calon penulis!"

"Calon penulis your eyes! Emang udah jadi penulis, dodol!"

"Who?"

"Me."

"Really?"

"Anak ayah udah jadi penulis? Kamu nggak pernah cerita, nak." Paman membuka suara, setelah cukup puas memperhatikan percakapan dua anak muda yang sama-sama duduk di kendaraan roda dua yang saling berhadapan.

"Aku lagi nulis buku buat dicetak. Ya iya lah dicetak, masa dimakan." Mark tertawa kecil.

"Judulnya apa, bro?" Tanya Lucas.

"Rahasia."

"Jangan maen rahasia-rahasiaan gitu lah! Lo kan temen gue, nggak bakal gue sebar ke siapa-siapa." Lucas berseru pasrah.

Mark menghela napas pendek, "Emang judulnya rahasia."

"Ish, yaudah kalo lo gamau ngasih tau. Gue gapapa." Lucas merajuk.

"Kalo gue bilang judulnya kisah cinta antara dugong sama sapi laut, lo percaya?"

Lucas mengangguk.

Mark merotasikan bola matanya, "Hih, emang bener kok judul cerita yang gue tulis tuh rahasia." Ia sempat melotot galak sebelum memakai helm full facenya. "Yah, aku berangkat!"

"Take care, my big baby!" Paman melambaikan tangannya pada Mark.

"Kas, take care of my brother!" Mark siap melajukan motornya.

"Sip. Lo ati-ati sampe kampus!"

"Hooh."

Sepeninggal Mark, paman meletakan secangkir kopinya yang kini tersisa setengah ke atas meja di samping kursinya. Pria berusia kepala empat itu memandang sejenak langit biru nan cerah, kemudian matanya turun memandang Lucas yang asyik melamun.

"Kas,"

"Iya?" Lucas menoleh, memegang gagang kemudi sepedanya.

"Kamu nggak cape anter jemput Jeno setiap hari? Paman yakin, kamu pasti punya kerjaan lebih penting dari pada ngurusin 'beban itu' kan?" Ujar paman.

Lucas mengulum senyum, "Ini kerjaan penting aku, om. Aku harus selalu ada buat sahabatku, Lee Jeno."

Paman mendecih, "Beban kaya dia, ngapain coba kamu temenin? Nggak ada untungnya!"

Open Your Eyes Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang